Tiba-tiba ingin berbicara tentang harapan. Tentang sebuah atau sesuatu yang bakal tertemui, atau terlaksanakan, atau teraktualisasi. Tentang sebuah titik nun jauh di depan : tujuan.
Malam itu kelam. Larut pula. Rintik hujan mulai menitik-nitik, mendingin, meski tak juga segera melebat. Dan sepi. Tak menyenangkan sekali rasanya sendirian menembus jalanan berbatu itu. Ditambah isu-isu yang kian merebak tentang kawanan perampok jalanan yang sering berkeliaran di tengah malam, maka lengkaplah sudah kolaborasinya untuk menciutkan nyali siapa saja yang hendak atau sedang sendiri melintasi jalan itu. Lebih mudah untuk mengurungkannya daripada memaksakannya. Lebih aman. Tapi, hei! Ternyata itu tak berlaku buat bapak itu. Lihatlah, ia sendiri saja. Tak ada sama sekali yang membersamainya. Dengan berjalan kaki pula. Tapi dengan sekali melihatnya, sungguh kau akan segera tahu kalau itu bukan langkah tergesa sebab takut. Langkah yang mencepat itu, yang seolah beradu dengan rintik hujan yang kian menghunjami tanah, sama sekali bukanlah sebuah reaksi atas kekhawatiran atas dinginnya malam, atau atas desas-desus kekejamana perampok, atau atas sunyi yang membangkitkan bulu roma. Lihatlah matanya! Lihatlah binar di wajahnya! Maka yang akan kau temukan bukanlah wajah pucat pasi khas seorang penakut, tapi lebih kepada sebuah optimisme, wajah merindu, serta selaksa harap yang ingin segera tertuntaskan. Hingga, beberapa saat setelah itu, saat kaki beralas sandal jepit karet itu memasuki sebuah halaman rumah mungil di pojok desa, akan segera terkuaklah jawaban dari semuanya. Dua orang di mulut pintu itulah jawabnya. Seorang perempuan berwajah rembulan, dan seorang gadis mungil bermata menawan.
Di sudut lain, seorang pemuda menekuri layar komputer di depannya. Usianya baru berbilang awal 20an. Sedang muda-mudanya. Sedang suka hura-huranya. Kau mungkin akan mengira ia sedang main game hingga selarut ini –kau tahu, kan, kalau jarum jam di ruangan pemuda itu telah menunjukkan pukul dua malam?-. Tidak! Ia telah benar-benar meninggalkan kebiasaan buruk itu. Mata yang kini berkantung tebal itu sempurna menuju ke satu topik. Ke satu bahasan yang sebulan ini menyita seluruh energinya. Ke sebuah rangkaian penelitian yang bakal menentukan lulus tidaknya ia dalam studi ini ; skripsi. Ia tak tertekan, tentu saja. Ini berat, juga tentu saja. Kau pasti sudah mengerti kalau beda jauh antara tertekan dan berat. Seorang yang tertekan akan terlihat seperti pesakitan yang murung di ruang pengadilan, tapi sebuah tahapan-tahapan seberat apapun tak jarang masih menyisakan senyum simpul di wajah pelakunya. Maka pemuda kita ini, lihatlah, tetap saja ada binar bahagia di mata ngantuknya. Ya, ia memang lelah, tapi lelah yang memperkaya jiwa –kau tahu maksudku, kan?-. Tentu saja, apa yang terbayang di imaji lah jawabnya. Di situ, di sebuang ruang tak kasat mata yang ia ciptakan sendiri, di sebuah tempat dimana ia kerap kali sejenak menyerap energi, ada senyum orangtua nya yang nampak sumringah mengiringi prosesi wisudanya, ada juga kelebatan figur-figur masa depan yang akan direngkuh setelah tahapan-tahapan terencana, ada juga potret-potret kemanfaatan lebih yang bakal segera diraih pasca wisuda . Maka, itu sudah lebih dari cukup. Cukup untuk menggerakkan segalanya, cukup untuk menerabas semua kendala. Cukupuntuk menahan kantuknya!
Lalu, seorang lagi… Belum berpredikat bapak, tak juga berstatus mahasiswa. Di sebuah hari yang awalnya nampak biasa-biasa saja, tiba-tiba saja menjadi berbeda. Tokoh kita, ya, tokoh kita. Bahkan dengan melihat penampakannya saja kau akan mampu menerka kalau ia sedang bahagia. Benar, tak ada tawa, tak ada gerakan berlebihan khas seseorang yang sedang dilanda suka. Tapi aura yang tersembul keluar itulah indikasinya. Ia akan pulang. Pulang untuk sebuah proyek kembali, pulang untuk sebuah kenangan, pulang untuk sebuah pemenuhan rindu. Dalam beberapa hari ke depan. Ya, beberapa hari lagi. Beberapa hari yang bakal ia hitung mundur untuk ia senyumi ujungnya. Maka, duhai, sungguh hari-hari menjadi lebih berwarna, suara-suara menjadi begitu merdu menyanyikan lagu ‘yogyakarta’nya Katon Bagaskara. Tak ada yang menghitam, tak ada lagi yang menjengkelkan. Semuanya hanyalah remeh temeh ujian. Semuanya hanyalah laksana kerikil-kerikil kecil yang mesti disusuri untuk sebuah pencapaian tujuan : kepulangan. Semuanya jadi indah.
+++++
Kawan, saya tak pernah menganggap cerita di atas sebagai rekaan belaka. Sebab jika memang tak benar persis, orang-orang macam tiga orang di atas sesungguhnya banyak bertebaran dimana-mana. Di sini, di sana, atau bahkan di diri kita. Coba kita tengok sebentar. Lihatlah, kawan! Lihatlah bagaimana sebuah tujuan mampu menjadi pembeda. Lihatlah bagaimana sebuah kendala menjadi tak berarti apa-apa. Lihatlah!
Tujuan-tujuan itu hanyalah renik-renik dunia. Hanya tentang senyum perempuan-perempuan pendamping kita, tentang kilatan cerlang mata anak-anak kita, tentang capaian-capaian dunia, tentang rindu, tentang keinginan. Tapi lihatlah efeknya! Lihatlah bagaimana itu bisa mengubah. Lihatlah bagaimana itu begitu dasyat bekerja. Lalu, cobalah membayangkan! Cobalah bayangkan bagaimanakah jadinya jika tujuan itu lebih dari itu. Lebih besar dari itu. Sebuah tujuan yang agung, yang memang tak terindra lahiriyah kita, tapi bisa jadi begitu dalam terinternalisasi. Tentang sebuah pertemuan agung. Tentang kehidupan yang selama. Tentang janji Sang pencipta.
Sudahkah tujuan itu ada dalam hati-hati kita? Sebab boleh jadi keluh kesah ini, gerutuan ini, ketakbersemangatan ini, kemalasan ini, keragu-raguan ini, itu karena tak begitu dalamnya tujuan itu merasuki diri kita. Atau bahkan tak ada. Naudzubillah.
Bontang!
(apa tujuanmu, Bal??)
No comments:
Post a Comment