Sunday, April 6, 2008

Apa jadinya jika yang kita anggap terjadi bukan karena kita, justru terjadi karena kita?

Pernahkah kita, sengaja memarkir mobil kita di rumah. Atau pernahkah, sekali tempo kita kandangkan motor kita. Kemudian melangkah ke jalan. Kita memutuskan tak memakai kendaraan pribadi kita. Lalu kita mencegat angkot yang lewat. Memasukinya.Mungkin panas, mungkin berdesakan, atau mungkin tidak nyaman. Kotor. Tapi itu, akan menjadi penawar lelah sopir yang sampai seharian belum dapat setoran.

Pernahkan kita memutuskan tak makan di warung langganan yang sudah ramai. Kita coba warung baru. Warung yang tak jauh dari warung langganan kita. Yang selalu sepi pengunjung. Yang penjualnya bahkan terlihat kebosanan menunggu pembeli datang.Kita putuskan makan di sana. Mungkin rasanya tak enak, mungkin harganya lebih mahal. Tapi coba lihatlah dampaknya, rasakanlah. Mungkin saja, kunjungan kita itulah yang menjadi sebab keluarnya kalimat tahmid dari mulut pemilik warung. Mungkin uang yang kita bayarkan itulah yang menjadi harapan bagi pemilik warung bahwa esok masih ada. Bahwa Tuhan masih adil.

Saya terlalu berlebihan ya? tapi entah mengapa perasaan itu mengganggu pikiran saya beberapa hari yang lalu. Saat itu pagi hari, setengah tujuan. Jalanan ramai. Berbagai macam kendaraan dengan berbagai merek berseliweran di jalan. Berkecepatan tinggi. Terlihat terburu. Saya hanya duduk saja kala itu. Karena saya sedang menunggu angkot. Sudah cukup lama. Tapi belum ada angkot yang setujuan dengan saya yang lewat. Aneh, di jam-jam sibuk seperti ini.

Lalu, angkot yang saya tunggu itupun muncul. Saya kaget, di jam-jam sibuk saat itu, dan jedah antara angkot itu dengan yang sebelumnya juga cukup lama, angkot itu ternyata baru terisi beberapa orang saja. Kenapa? Padahal di jalan mobilitas orang begitu tinggi. Padahal banyak orang yang hendak bepergian.Pak Sopir kemudian hanya bisa melambatkan laju angkotnya, mungkin dengan itu  kesempatan untuk mendapat penumpang yang lebih banyak kian terbuka.

Maka, apa jadinya jika Pak Sopir itu tak dapat uang setoran? apa jadinya jika kemudian ia tak membawa selembar uangpun untuk keluarganya? Apa jadinya jika kemudian ia tak tahan, ia mulai berpikiran macam-macam?

Dan apa jadinya, jika itu semua terjadi, karena kita yang tak pernah mau menaiki angkotnya?