Wednesday, April 2, 2008

Apakah Saya Memang Perusak?

Bagaimankah jika Anda telah melakukan tindakan-tindakan kepahlawanan, telah mengerahkan segala daya yang Anda punya, telah memeras keringat tersisa, namun Anda masih disebut sebagai  pecundang? Bagaimanakah jika Anda telah melakukan kerja yang lebih dari tugas Anda tapi Anda tetap dianggap tak berkontribusi? Bagimanakah jika anda sudah berupaya membangun suatu tatanan yang amburadul tapi malah Anda disebut sebagai pengacau?

Beberapa orang mungkin menganggap itu tak masalah. Beberapa mungkin menganggap itu sebagai renik-renik perjuangan.Bahwa pejuang adalah orang-orang yang harus siap kesepian. Pejuang adalah orang-orang yang adanya kadang tak dianggap, kadang dilupakan, atau bahkan dihinakan. Pejuang tak butuh pengakuan.

Tapi bagi saya itu kadangkala begitu menyakitkan.

Saya tak ingin menamakan diri saya pejuang. Itu terlalu agung untuk saya sandang. Lupakanlah apa yang saya tulis di depan tadi. Ceritanya adalah tadi pagi. Ketika saya selesai mandi. Dua hari ini ada penghuni baru di kontrakan kami. Sudah bukan mahasiswa .Sudah lulus. Dua tingkat di atas saya. Seperti biasa orang baru selalu mempunyai semangat baru, pandangan baru. Dan hari itu, ia membuat gebrakan baru. Pagi itu ia merenovasi ruang tengah kami yang memang berantakan, membersihkan total barang-barang yang berserakan di sana. Merapikan apa-apa yang masih berguna.

Sepintas baik-baik saja. Tak ada masalah. Sampai percakapan itu terdengar saya.

“Malu nih kalau ada tamu, dikira kita cinta kekotoran”. Mas Pam, orang baru itu, membuka percakapan.

“Sebenarnya dulu udah ada jadwal piketnya sih mas, gara-gara mas Iqbal nih nggak jalan lagi”.

Astaghfirullah. Ungkapan itu singkat saja. Bahkan nadanya datar-datar saja. Tapi saya yakin itu bukan gurauan. Itu seperti ungkapan apa adanya. Menusuk.

Dan sekelebat ada rasa tersayat dalam diri. Menyakitkan. Saya coba untuk istighfar berkali-kali. Sambil menanggapinya dengan sedikit gurauan. Ini bukan hanya karena saya seorang yang melankolis, ini soal lain.

Uigh, entah logika apa yang dipakai teman sekontrakan tadi untuk menilai saya perusak system itu. Entah apa yang dilihat oleh teman saya itu selama ini. Bukankah(*sebenarnya saya benci untuk mengatakannya*) saya yang selalu membuang sampah yang kerap menumpuk, bahkan meluber, di tempat sampah. Memindahkannya ke tempat sampah luar. Bukankah saya pula yang selalu memunguti sampah-sampah yang bertebaran di ruang parker. Dan kalau boleh juga saya sebut bukankah saya juga yang terakhir kali merapikan ruang tengah itu.

Saya memang tak pernah mengatakannya. Saya juga berupaya untuk tidak menggerutu kenapa dari lima belas orang di kontrakan harus selalu saya yang paling sering membuang sampah dari tiga tempat sampah di kontrakan. Karena saya yakin, itu akan menghilangkan nilai indah dari suatu kebaikan. Biarlah yang melihat ya melihat. Biarlah yang tergerak hatinya kemudian bergerak.Karena memang hanya itu yang bisa saya perbuat.

Tapi mengapa kemudian sekonyong-konyong vonis itu bisa keluar.

Ternyata saya memang bukanlah Fahri yang bisa tetap tabah atas tuduhan Noura. Dan ternyata saya juga bukanlah Delisa yang bisa tetap tersenyum setelah malapetaka yang begitu datang bertubi-tubi. Ternyata saya memang manusia kebanyakan, yang kadang kala butuh sedikit apresiasi (atau minimal asal tidak dicela) atas sedikit kebaikan yang saya lakukan.

Dan sekarang.................saya jadi bertanya-tanya, masihkah kita dengan mudahnya menyebut seseorang pecundang, tak berkontribusi, atau pelemah system. Karena jika tuduhan itu tak berdasar, bisa saja itu akan mematikan potensi kebaikan pada orang yang tertuduh itu.

 

 

**Saya tak ingin menuliskan ini sebenarnya (*karena dengan menuliskannya besar kemungkinan akan merusak semua nilai kebaikan yang telah saya tanam*), tapi entah mengapa seperti ada yang mendesak saya untuk menuliskannya. Biarlah yang lain menilai. InsyaAllah perasaan yang saya tulis tadi Cuma sebentar saja. Dan sekarang sayapun baik-baik saja.**

 

No comments: