Monday, April 28, 2008

Mas, Saya Mentoringnya Sama Mas Aja Ya?

Saat itu saya sedang ngasisteni di lab KA. Sibuk, lelah, resah semua bercampur kala itu. Ternyata menjadi asisten tidaklah seenak kelihatannya.

Lalu ada SMS masuk. Dari nomor yang saya kenal. Teman satu kos (atau mungkin lebih tepatnya adek satu kos). Untuk lebih enaknya sebutlah namanya Halim.

”Mas, lagi ada dimana. Aku lagi suntuk nih . Pusing”.

Saya segera membalas.

”Lagi ngasisteni. Ada apa? Kalau lagi suntuk naik aja ke lantai empat. Duduk di atas tandon air. Memandang jauh. Dan bertafakurlah”

SMS terkirim.

Kami memang mempunyai kegemaran yang sama mengenai masalah ini. Berlama-lama di atas tandon air jurusan. Tempatnya bikin sejuk.

“Aku nggak mau yang gitu-gitu. Aku nggak mau yang mikir. Aku ingin bebas”.

Saya terkaget. Ada apa? Adek kos saya yang satu ini memang unik. Kadang memang pikirannya aneh-aneh. Sulit sekali ditebak. Suatu saat ia terlihat nyanyi-nyanyi sendiri. Dan di saat lain ia terlihat merenung sendiri saja. Tidak bicara. Ia mengakui dirinya sendiri sebagai seorang yang melankolis sempurna. Walaupun saya sendiri tidak yakin begitu.

Saya kemudian membalas SMS-nya dengan beberapa nasehat yang mungkin saja  dapat mengurangi beban yang sedang menumpuk di hatinya.

Ia membalas: ” Aku pingin ke rumah kakakku di Blitar. Tidur-tiduran, bermanja-manjaan. Pokoknya bersenang-senang saja”.

Lagi-lagi ia mengagetkanku. Yang benar saja? Ini sudah memasuki minggu-minggu sibuk perkuliahan. Mana mungkin ia bisa seenaknya meninggalkan perkuliahan ini. Seriuskah dia?

Kami selanjutnya ber-SMS ria. Dan topik mulai menggeser dari perbincangan awal tadi. Saya berharap semoga saja ia sudah lupa dengan perasaannya tadi.

Saling SMS berhenti tatkala saya tak lagi membalasnya. Selain ada yang harus saya lakukan di lab, saya pun harus bijak memakai SMS. Saya kemudian tenggelam dalam laporan-laporan praktikan saya  yang memang harus segera saya koreksi. Meneliti kata demi kata dalam setiap laporan adalah pekerjaan yang benar-benar membosankan (bagaiman tidak membosankan kalau sering kali saya harus ngoreksi laporan yang sama yang seringkali dengan redaksional yang sama. Sama plek). Belum lagi kalau tulisannya sulit untuk dibaca. Butuh kerja dua kali. Sedangkan tumpukan laporan yang harus saya koreksi semakin hari memang semakin menumpuk.

Hingga kemudian SMS itu masuk. Dari Halim.

”Mas, saya mentoringnya sama mas Iqbal saja ya?”.

Duh hati saya langsung melumer seketika itu. Ada apa gerangan? Kenapa sampai ia membuat keputusan itu. Saya dan Halim boleh dikatakan dekat. Kami berbeda dua tingkat, tapi itu tak menghalangi kami untuk jalan berdua. Kami sering kali curhat bahkan untuk hal yang pribadi sekalipun. Termasuk masalah mentoring ini. Halim termasuk tipe yang pilih-pilih dalm hal siapa mentornya. Sejak pertama kali ia mengenal mentoring. Ia sering kali bercerita mengenai mentor-mentornya, tentang mas ini yang seru, tentang mas ini yang nggak enak, yang pendiam. Ada saja. Ia memang kadang terlihat kekanakan dalaam masalah seperti ini.

Sampai kemudian ia pernah ngomong tak ingin mentoring lagi. Saya tergugu kala itu. Bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan padanya tentang urgensi pembinaan.

Saya tak pernah berhasil. Saya tak pernah mampu menyampaikannya dalam bahasanya, dalam perspektif yang dekat dengan dia. Bahkan hingga hubungan kami agak sedikit merenggang. Bukan secara fisik, tapi lebih secara emosional. Kami mulai jarang sekali berbagi masalah.

Hal inilah yang kemudian saya sesali. Saat itulah saya mulai melihat amal yauminya mulai terlihat kendor (ah semoga saja penilaian saya ini keliru). Saat itu ia mulai terlihat begitu dekat dengan seorang adek angkatan saya, kakak angkatannya. Tapi ia tidak satu kontrakan dengan kami. Mereka terlihat sering ngegame bersama (kebersamaan yang tak saya sukai). Akrab sekali. Terlihat seperti adik-kakak.

Hingga satu setengah bulanan yang lalu hubungan mereka mengalami sedikit goncangan. Saya tak tahu kenapa. Halim pun tak mau menceritakan penyebabnya. Ia bungkam. Baru kali ini. Dulu ia begitu ringannya untuk berbagi tentang dirinya, tentang segala hal yang mengganjal hatinya. Bahkan hal-hal kecil sekalipun.

Saya hanya bisa menduga-duganya. Mencoba mencari penyebabnya sendiri.  

Sehari setelah saya tahu hubungan mereka renggang saya kemudian SMS Halim. Isinya seperti ini : ”Saudaraku, kita sering kali kehilangan seorang teman bukan karena ia telah beranjak secara fisik, tapi saat kita sadari bahwa tak lagi kita temukan dia pada dirinya yang saat ini”.

Ia langsung membalas SMS saya itu seketika: ”Dia tetap seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Aku saja yang bodoh. Terlalu bodoh, terlalu cepat menganggapnya sebagai saudara. Terlalu percaya. Tapi, sekarang aku mengerti. Sangat mengerti. Saya tidak akan peduli lagi. Pada siapapun. Terserahlah dia mau ngapain saja. Masih banyak yang harus aku pedulikan”.

 Ini bukan main-main.Gawat, pikir saya kala itu. Apa yang harus saya balaskan. Mungkin harus saya konfirmasikan langsung.

Dan, suatu hal yang baru saya sadari di kemudian hari, SMS saya itulah yang kemudian menjadi tonggak mendekatnya kembali hubungan kami. Sejak saat itu kami saling berkirim SMS. Bertukar kalimat indah. Saling memberi inspirasi. Serta, yang cukup menggembirakan ia sudah lupa dengan masalahnya itu.

Kami dekat kembali.

Hingga kemudian ia mengirim SMS itu: ”Mas, aku mentoringnya sama mas Iqbal saja ya?”.

Saya bingung bagaimana harus membalasnya. Bukannya saya tak ingin menggenapkan hubungan kami menjadi sebuah hubungan murobbi dan mutarobbi. Hanya saja hubungan kami adalah hubungan yang unik, yang bahkan sulit saya jelaskan sendiri. Yang berjalan dalam rel berbeda. Saya ingin menyertainya dalam segi yang lain saja, dengan getar  yang hanya kami berdua saja yang mampu memahami.

Kemudian saya putuskan untuk menanyainya saja setiba di kontrakan. Sore harinya. Saya harus bicara langsung.

Dan, saat kami akhirnya ketemuan secara fisik, kalimat pertama yang ia tanyakan adalah : ”Gimana, kapan mas mentoringnya?”.

”Kalau kelompok saya sih biasanya malam kamis”. Jawab saya cepat sebelum saya sambung: ”Benar kamu mau mentoringnya sama saya”.

”eh......terserah deh. Sekarang saya nggak mau pilih-pilih. Yang penting harus baru. Bukan yang sudah-sudah”.

Saya tambah terkejut lagi. Sebelumnya saya menduga kalau ia ingin mentoring dengan saya karena ia memang merasa dekat dengan saya. Ia nyaman. Tapi sekarang? Sekarang lebih itu. Ia bahkan percaya apapun yang saya putuskan. Ia berjanji tidak akan pilih-pilih lagi padahal? Ah ternyata saya belum juga bisa memahami alur berpikirnya. Tentang apa yang ia ingini dan tidak ingini.

”Nantilah saya bicarakan dengan teman-teman”. Hanya itu kalimat yang bisa saya sampaikan. Memang saya harus membicarakannya dengan teman-teman. Kalau perlu disyuro’kan.

Ia hanya manggut-manggut.

********

Saat tulisan ini saya buat, akhirnya Halim mentoringnya sama Chifrul, salah satu teman saya. Senang sekali melihat ia antusias dengan mentoring. Dulu, ia sering kali tidak hadir mentoring karena suatu alasan yang sangat tidak syar’i : malas. Dan sekarang, ah semoga ia istiqomah atas keputusan yang ia ambil sendiri.

Selamat Berjuang Akhi. Masih banyak hal indah yang tengah menantimu.

 

 

 

 

 

10 comments:

Duddy RS said...

perjalanan eksistensial yang indah. hmmmm!

Budi Setiawan said...

teringat masa laluku...:P

Chifrul S said...

Kyaaakkk...ini nulisnya tadi malam ya? pantesan nanya2 ttg "dia". Alhamdulillah dia orangnya semangat...dan paling rajin diantara yang laen. Modal yang tidak mudah untuk mengumpulkannya. Tetap saling mengingatkan ya...and Syukron atas SMS yang tadi Nt kirimkan. Alhamdulillah udah aq clearkan.

khaleeda killuminati said...

dulu, waktu masih baru mengenal tarbiyah, pernah terbersit untuk minta ganti Murobbiyah, mungkin karena lebih enjoy di MR pertama. tapi setelah ane pikir kembali, itu adalah hal bodoh yang pernah ane pikirkan, karena setiap Murobbi pasti memiliki hal lain yang tak dimiliki oleh MR yang lain...
semua punya kelebihan, punya kekurangan...ambil ibrohnya saja...
nice story ^__^

abdul halim said...

sepert termodinamika, dari sebuah pengamatan dibawa ke bentuk persamaan. selalu saja ada deviasi, faktor koreksi, atau syarat perlakunya suatu persamaan. begitu juga dengan kehidupan. ada syarat agar suatu pendapat berlaku. baik bagimu atau bagiku. suatu hal bodoh baginya, bisa terbaik bagiku. adalah hal paling bodoh jika menggunakan persamaan van der wall untuk suatu liquid. atau persamaan gas ideal untuk gas nyata.

iqbal latif said...

tapi, untuk menyelesaikan sebuah persoalan gas nyata, akan selalu kita selesaikan dulu dalam gas ideal, baru kita bawa lagi dalam keadaan nyata.

tia aurora said...

itu harusnya ditaruh di diary, kok diliatin ke org bnyk
ini alamatnya anang a_fakhrudin@yahoo.com, kie2_claire@yahoo.com

desti . said...

ini ya. hmm.

desti . said...

dulu kayaknya pernah mampir baca. tapi ndak komen. sekarang baru komen.
sekarang gimana ya kabar Halim?

iqbal latif said...

halimnya baik-baik saja.... Sudah lebih matang.. he he