Friday, February 6, 2009

Reuni Delapan Negeri

Tulisan lama. Dibuat beberapa bulan yang lalu. Di sekitaran maghrib, saat berita tentang kelulusan diterima. Saat ancaman ketidaklulusan itu sirna jua. Tapi di lain pihak, juga saat ancaman ketidaklulusan buat dua orang teman akhirnya benar menjadi nyata.
*********************

Malam temaram. Angin punah.Masih!!  Ia  masih saja berjalan. Pelan, teramat berat menyeret langkah. Melewati jalan setapak. Sepi, hanya bunyi jangkrik meningkahi kelam..

Menuju sebuah pertemuan.

Empat tahun yang telah tergelar. Pengajaran-pengajaran. Konsep. Tindakan. Kerja keras. Hasil.

Tak ada hujan, tapi ada yang memercik runtuh. Bukan embun, bukan pula air mata. Karena itu, telah kering dalam malam panjang penghambaan.

Ada yang merembes. Lambat mengalir.....mengurai cita. Deras menerjang.....memburai barisan jiwa. (ah haruskah pertahanan itu goyah?)

Aha, tidak! Ia masih melangkah. Teguh. Berniat menghadapi ini semua. Pertemuan ini harus terlaksana. Harus.  Ia harus hadir. Dengan wajahnya sendiri. Dengan senyum teduh yang dulu. Masih sama. Ini tak akan mengubah apapun. Janji empat tahun lalu itu harus terlaksana.

Tanah lapang itu semakin jelas terlihat. Di depan. Sepelemparan batu. Sementara malam beranjak menua.

Maka ia pun tiba. Beberapa orang sudah datang. Mengambil posisinya masing-masing. Beberapa tertunduk, beberapa tegap menantang malam. Beraneka rupa. Tapi kesemuanya tak berani saling menatap. Tak ada bayangan yang tertangkap oleh retina mata . Menerawang. Hmmm.... inilah aturannya.

Malam ini malam besar. Malam inilah yang digagas empat tahun lalu. Dalam sebuah seremonial kecil. Di tempat ini juga. Dalam malam seperti ini juga. Sebelum pada akhirnya semuanya melangkah. Ke delapan penjuru mata angin. Dengan dada membusung, kedelapan pemuda itu siap menjalankan misi masing-masing. Mengukir sejarah. Berharap empat tahun kemudian ada berita besar yang akan diceritakan.

Suara beduk menggema. Delapan kali. Inilah tanda mula semuanya. (tadi ia begitu tegar, sepanjang perjalanan tadi ia sudah membulatkan tekat. Tapi lihatlah, demi mendengar beduk tadi, demi mengetahui bahwa itu akan segera dimulai, ia tertunduk dalam. Gentar. Menyeka keringat dingin yang tiba-tiba menderas. Ah, apakah yang harus ia katakan nanti).

Seseorang maju. Bertubuh gemuk. Berat menyeret langkah. Tapi pandangannya pasti. Tajam. Memulai berkata, ”empat tahun yang meyenangkan. Penuh perjuangan. Teman-teman yang hebat”. Tersenyum. Menghela nafas, ”Ah berat sebenarnya mengakhirinya. Aku cinta dunia ini. Tapi.....siapakah gerangan yang tak ingin menyelesaikan sebuah tahap dan melanjutkan tahap baru. Maka begitu pula aku kawan! Empat tahun itu telah terselesaikan, tapi bukan akhir dari perjalanan. Aku akan meneruskannya. Bukan di sini, atau di negeri tetangga. Tapi di negeri jauh. Jauh”.
Semua (atau mungkin kebanyakan) menarik napas lega. Tapi tak ada reaksi. Tak ada yang menimpali. Tanpa ucapan-ucapan. Karena begitu jugalah aturannya. Sebelum semuanya tersampaikan.

(sementara yang tidak diketahui, seraut wajah tetunduk menatap bumi)

Orang kedua maju. Bertubuh kerempeng. Kontras dengan orang pertama. Ringan melangkah. Mantap. Mengedarkan senyum. Ini sudah menjadi ciri khasnya. “Alhamdulillah semuanya baik-baik saja. Empat tahun yang sangat luar biasa. Ah, mungkin ada sedikit ganjalan di akhir empat tahun itu. Sedikit. Tapi...pada akhirnya toh semuanya baik-baik saja. Teramat baik. Bukankah kita harus menapaki tanjakan, sebelum merasakan indahnya turunan. Tanpa ayunan”. Berhenti. Kembali mengedarkan senyum kocaknya, “Sebentar lagi aku akan pergi kawan. Memainkan peran baru. Tapi jangan khawatir! Aku akan datang ke sini empat tahun lagi. Menceritakan karya besarku. Tawaran ini mungkin tak terlalu memikat bagi sebagian orang. Remeh-temeh. Tapi tidak bagiku, separuh mimpiku sudah tertancap di sana. Aku melihat masa depan di sana”.

Kedelapan wajah menahan senyum. Geli.Mungkin pikiran semuanya sama-sama bersenandung: sejak kapan ia bisa merangkai kata seperti itu?.
Orang ketiga maju. Orang keempat. Disusul orang kelima. Lalu orang keenam. Ragu-ragu maju. Selalu begini. Memandang lurus. Mengitari lingkaran itu dengan matanya. Menatap satu persatu wajah. Mengambil napas. Dalam. ”entah dengan apa harus merangkum empat tahun ini. Terlalu beraneka. Betapa saya bersyukur dipertemukan dengan semua itu. Keadaan empat tahun ini. Memainkan berbagai peran. Mencerna makna. Memetik hikmah. Uigh, hebat sekali. Di setiap jengkal perjalanannya selalu memberikan pelajaran. Bahkan hingga di ujung itu....cobaan datang. Teramat berat mulanya, entah bagaimana harus menahannya. Sakit. Berbagai bayangan sudah muncul. Bayangan buruk. Tapi, pada akhirnya hal ngeri itupun tak terjadi. Sayapun bisa menyelesaikannya.”.

Kembali hening. Giliran orang ketujuh. Tapi belum ada tanda-tanda bakal ada yang maju. Lima menit berlalu. Semuanya berharap cemas. Sibuk bertanya dalam hatinya masing-masing : ada apakah gerangan?

Lalu kaki itupun pada akhirnya melangkah. Pelan. Persis di tengah lingkaran berhenti. Masih menunduk. Beberapa jenak. Lalu menatap bintang. Mendongak. Hingga kembali menatap lurus. Memulai menyampaikan berita berat ini, ”Maaf kawan.”. kembali menunduk,”maaf, aku gagal. Aku nggak berhasil menyelesaikannya. Sekarang. Aku gagal. Aku tak berhasil memungkasi kepercayaan yang kalian berikan”.

”TIDAK!!”. Seseorang memotong. Melanggar aturan itu. Sesorang mesti terselamatkan.”Tak boleh dari kita yang merasa gagal. Begitupun tak boleh ada yang merasa lebih berhasil dari yang lain. Bagaimanapun juga empat tahun ini adalah karya kita, perjuangan kita, tetes keringat kita. Biarlah yang paling berhak menilai yang bakal menilainya. Biarlah!! Kita sudah memberi apa yang terbaik yang kita punya”.

”Tapi......”. Masih saja dengan menunduk. ”Ah, teramat mudah memang sekedar mengatakannya. Amat mudah. Bagaimanakah jika kalian di posisiku. Merasakan apa yang aku rasakan”.

”Saya pernah merasakannya!”. Seorang lagi menyahut. Pemuda yang maju urutan keenam tadi. Memandang tajam.”Saya pernah berada di posisi antum. Sempat pernah merasakan bagaimana menyakitkannya itu. Betapa ngilunya kenyataan itu. Tapi, bukankah antum sendiri yang dulu pernah berucap ’ Allah tahu yang terbaik bagi kita. Pasti ada rahasia dibalik skenarionya. Kadang kita harus mengalah dengan kondisi yang memberatkan kita karena Allah hendak memberikan sesuatu yang lebih’. Masih ingatkah antum?”.

Masih menunduk. Hening. Dua menit berlalu tanpa kata-kata. Hingga, ”Ternyata aku tak sekuat itu akh...”

”Tidak. Antum kuat. Saya tahu benar kapasitas jiwa antum. Jiwa antum seluas telaga, bukan segelas air. Lalu apalah artinya sejumput garam itu. Itu tak memberi arti apa-apa.”

Sejumput garam? Segelas air? Telaga? . Ah, perumpamaan itu, betapa sudah teramat sering ia dengar, ia baca. Dan bahkan —ironisnya-- , ia sampaikan.
tiga puluh detik berlalu dengan hening. Hingga pada akhirnya lelaki di tengah lingkaran itu mendongak. Menatap lekat wajah temannya itu.

“Tetaplah hidup akh! Bukankah tak bisa menyelesaikan sekarang bukan berarti antum tak akan bisa menyelesaikannya. Masih ada waktu. Bukankah itu artinya antum diberi kesempatan untuk memperdalam segalanya. Bukankah itu juga bisa berarti antum memang belum siap, atau belum tepat untuk beralih ke tahap selanjutnya. Bukankah itupun juga bisa berarti antum masih teramat dibutuhkan dalam tahapan yang antum jalani sekarang ini. Dan, bukankah antum juga yang dulu bilang: ’jika kau diberi waktu tujuh jam untuk menebang pohon, gunakanlah enam jam untuk mengasah kapak!’. Mungkin kapak antum belum begitu tajam, dan mungkin kapak antum masih terlalu mudah berkarat terdera hujan”.

Kali ini wajah itu mengeras. Menatap tajam ketujuh wajah. Ah, jika kau bisa melihat wajah itu, kau akan menangkap sebuah tekat. Optimisme. Wajah yang kini bahkan lebih bersinar. Semuanyapun tersenyum.

Tapi hei! Tidak. Tidak semuanya tersenyum. Ada satu orang yang sejak tadi terdiam. Tapi tak menunduk. Orang kedelapan. Ia melangkah tegap. Bergerak ke tengah. ”Maaf kawan, ane juga belum bisa menyelesaikannya. Tapi itu bukanlah masalah besar kan? Beberapa bulan lagi, ya beberapa bulan lagi...semuanya kan tak tertahankan. Ledakannya kan maha dasyat. Tak ada besaran yang akan sanggup mencatat daya ledaknya. InsyaAllah. InsyaAllah, dengan do’a antum semua.”

”ALLAHUAKBAR!!!”. Entahlah, siapa yang memekik lebih dulu. Tapi yang pasti, seketika lengkingan takbirpun bergema bersahutan. Membentur pepohonan. Tertabrak ngarai. Memecah sepi. Seluruh alam semesta pun bertasbih.

(Kedelapan oraang itupun berpelukan. Melepaskan rindu. Saling mentransfer energi jiwa. Esok, di tempat ini juga, seperti malam ini juga, mereka harus berkumpul lagi. Mengutarakan janji : pertemuan empat tahun lagi)


6 comments:

muslimah cerenz said...

keren tapi masak cerita ndak disebutin tokohnya

iqbal latif said...

suka2 yg nulis donk...he he

ladies me said...

teman yang baik memang harus bisa saling mendukung,saling mengingatkan,saling menolong,saling berbagi dan masih banyak slaing-saling yang lainnya..hehe

iqbal latif said...

satu lagi: saling minta traktir

ladies me said...

yeeeee..dasarrrr..hahaha

sofia kurniati said...

mencerahkan ... butuh energi luar biasa untuk bertahan menghadapi kemenangan yg tertunda..