Friday, September 25, 2009

Cerita Orang2 g mudik

“Kapan kita ke rumah nenek, pak? Kapan kita pulang?”
“mungkin lebaran tahun depan nak”

Tono ingat, sudah lima tahun lewat sejak pertama kalinya anaknya menanyakan pertanyaan itu. Dan ia juga ingat, jawaban itu pulalah yang dulu ia kemukakan.  Jawaban yang nyatanya masih harus terucap di tahun-tahun berikutnya. Hingga sekarang.

Dulu, ia selalu kerepotan menghadapi pertanyaan lanjutan anaknya itu. “mengapa harus tahun depan, pak”, atau ‘mengapa tidak sekarang?”. Ia selalu menghela nafas panjang kala mendapat pertanyaan lanjutan itu. Menerawang. Lalu menatap lembut anaknya. Berharap sebuah pengertian dari logika sederhana anaknya. Tapi dua tahun belakangan ini, tak pernah lagi ada pertanyaan lanjutan itu. Anaknya hanya bisa ber-oh kala ia menjawab pertanyaan itu dengan jawaban sakti ‘mungkin tahun depan’. Tak ada lagi komentar. Tak ada lagi pertanyaan tambahan yang menyelidik. Anaknya telah ‘mengerti’, dalam usianya yang masih kanak-kanak. Tapi justru itulah yang kian mencekik.

Sungguh, ia pun ingin pulang. Ia ingin kembali. Ia ingin membaui harum tanah kampung halamannya. Menciumi wewangi bunga cengkeh yang baru bermekaran. Telah sepuluh tahun lewat. Dan belum sekalipun ia kembali. Untuk sekedar menengok. Ibu kota telah sempurna menjebaknya.

Rindu itu pun menumpuk-numpuk. Tapi apalah daya, tak cukup tersedia rupiah yang tersisa di kantong kumalnya. Apalagi kala pengembaraan hidup di belantara ibu kota mengantarkannya menemukan labuhan hati tempat berbagi resah. Hingga si kecil lahir untuk  menggenapkannya. Maka sudahlah, keinginan itu tinggal menjadi keinginan. Kini butuh tiga tiket untuk menyeberangkannya pulang ke pulang seberang. Nun jauh di sana.. Entahlah, kapan kiranya tiga tiket itu bakal tergenggam. Mungkin lagi-lagi, ‘mungkin tahun depan’
++++++++++++
Lain lagi dengan Jono. Pemuda tanggung usia 25 tahun. Hari-hari belakangan ini, pertanyaan yang paling ia hindari adalah sebuah pertanyaan sederhana berbunyi :“nggak mudik jon?”.  Hanya sebuah jawaban singkat sebenarnya untuk menjawabnya; ya atau tidak. Tapi baginya, pertanyaan itu justru akan membawanya kembali menyusuri lekuk-lekuk hidupnya yang sudah seperempat abad. Teringat. Dan..ah, sebenarnya ia sudah berdamai dengan masa lalu itu.

Tak ada tempat kembali, hanya itu yang ia mengerti. Yang ia tahu, satu-satunya tempat kembali hanya sebuah rumah singgah di pinggiran kota yang sayangnya sudah lima tahun ini dibongkar paksa aparat. Tempat dulu ia dibesarkan bersama puluhan yg lain dalam keterbatasan. Dalam celoteh banyak anak-anak lain yang sayangnya justru membuatnya seperti terasing. Tempat ia dititpkan oleh seseorang. Seseorang yg entah.

Maka ia mencoba menganggap, segala tempat yang ia singgahi adalah kampung halamannya. Semua orang yang ia jumpai, yang bersama-sama ia bisa tertawa, ngobrol, atau menyungging senyum, itulah keluarganya. Dan ketika idul fitri itu untuk kesekian kalinya kembali datang, tak banyak yang bisa ia lakukan. Tak ada sungkeman. Tak ada acara telepon berlama-lama hanya untuk sekedar bilang ‘maaf bu, Jono nggak bisa pulang’.  Tak ada. Ia kemudian mencukupkan diri dengan menjadi panitia penertib jamaah sholat ied di masjid dekat kosan sempitnya. Tapi kemudian ia bahagia. Bahagia saat melihat serombongan keluarga besar berjalan beriringan menuju masjid. Bahagia saat memandang sebuah keluarga muda membimbing putrinya yang masih berumur tiga tahunan. Juga bahagia bercampur gelii saat menatap gadis kecil dengan pakaian barunya menarik-narik gamis umminya sambil merajuk, ‘ummi…ummi…tunggu!’. Ia kemudian seolah menemukan apa-apa yang tak pernah ia miliki.

        ++++++++++++++++

Dan bila melesat jauh, menembus batas negara, ada Toni yang sedang terduduk sendiri. Seorang eksekutif muda sukses. Lajang, matang, mapan. Sabtu malam ahad, ia berdiam diri saja melepas penat yang sayangnya belum juga bersedia beranjak. Matanya masih awas menyaksikan TV streaming di layar laptop mahalnya. Masih juga memantau sidang itsbat yang tengah berlangsung di jakarta itu. “ya Allah…kumohon, jangan besok”, hanya itu sesorean tadi doa yang ia panjatkan. Sebuah pengharapan yang tipis sekali kelihatannya bakal terwujud…

Harapannya sebenarnya cuma satu: berlebaran di rumah. Sudah tiga kali berturut-turut, lebaran ia lalui di negeri orang. Jauh dari orang-orang terdekat. Sibuk dengan transaksi-transaksi. Tenggelam dalam urusan-urusan bisnis. Dan lihatlah, malam ini, ketika sebuah ormas islam besar telah mengumumkan bahwa esok harinya adalah idul fitri 1430 H, ia masih terduduk di sebuah kamar hotel ternama di jantung kota singapore. Merutuki kenapa pertemuan itu harus dilakukan esok hari. Menarik napas panjang…
=================================
Tono, jono, ataupun Toni, barangkali adalah cerminan beberapa diantara kita. Tapi yang pasti itu murni karangan saya. Tak tahu ada atau tidak dalam dunia nyata. Saya kemudian hanya berpikir, mungkin indah apabila tiap saat kita bisa mengarang begini. Tentunya mengarang yang baik. Jika ada seorang yang bersedih yang tak bisa mudik lebaran, maka pikirannya serta merta mengarang, ada Jono yang bahkan tak punya tempat untuk mudik, ada si X yang punya kampung halaman tapi tak pernah berani untuk kembali. Hingga kemudian hanya syukurlah yang tercipta.

Mari, mari mengarang! Jika kita mulai mengeluh gaji yang masih segitu-segitu saja, mulailah mengarang, ada pak fulan dengan lima orang anak yang masih kecil dengan penghasilan 20ribu perhari, ada pak x yang mesti bergelut dengan lumpur dalam panggangan terik matahari demi 15ribu tiap harinya. Maka semoga  kemudian kita bersyukur, setidaknya kita masih kerja di ruang ber-AC, masih bisa makan tiga kali sehari dengan penghasilan itu, masih bisa menabung… masih dan masih.
 
Kecubung 17
(tulisan seorang yang tak ‘berhasil’ mudik)

 

19 comments:

khaleeda killuminati said...

Gak mudik ya? sama. Tempat kita ketuker ^_^

haitami bin masrani said...

Assalamu'alaikum warrahmatullahi....

perkenalkan Mas, nama saya haitami. Hanya saja dalam cerita ini Mas menempatkan kata Jono untuk nama saya. Tak mengapa lah, karena 'Jono'nya mas juga tidak persis sama dengan saya bila bercerita tentang lebaran dan kampung halaman yang entah, meskipun relatif mendekat pada 'nasib' saya.

:) terima kasih, senang mengetahui ada kawan yang berbagi cerita seperti ini.

AKP Yudi Randa said...

tossssssss
enak tho?? :p

iqbal latif said...

kata temen2 yg mudik kemarin, sepinggan kayak pasar

iqbal latif said...

'alaykumsalam...
he he..maaf. Senang bisa berkenalan

iqbal latif said...

ha ha..enak yud.

AKP Yudi Randa said...

hahaha nah daku udah ngerasain sampai 4 kali bro :D
klo tahun depan masih dijakarta juga,.wassalam deh :))

akuAi Semangka said...

Ada lagi seorang gadis bernama Tini, yang setiap tahunnya tidak pernah merasakan mudik, hanya bisa mendengarkan teman2nya pulang kampung atau minta oleh2 saat mereka kembali. Mungkin suatu hari nanti dia akan mudik.. Hmm..

iqbal latif said...

la wong memang tini g punya kampung....

akuAi Semangka said...

Hwehehe,,tapi kan tini pengen juga ngerasain mudik, om :D

ilalang hijau said...

nyesss....karangan yang bagus saudaraku.
Getirnya terasa pada mereka yg tak bisa mudik lebaran. Empat kali 'Iedul Fitri hanya bisa melamunkan keriaan wajah-wajah berusia senja di tanah air..., mendengar celoteh mereka lewat sambungan udara dan mengusap kali kecil di pipi. Hhhh...smg di lain waktu ada peluang pulang di Ramadhan atau Syawal.

iqbal latif said...

mudik ke rumah suami ntar... He he

iqbal latif said...

wuihhh...saya yang baru sekali ini saja sdh g karuan rasanya....
bagaimana yg empat kali?? mmmhh... Smoga tahun depan mbak!

akuAi Semangka said...

Semoga *loh? :p

akuAi Semangka said...

Semoga *loh? :p

Lani Imtihani said...

:))
Banyak hikmah ni kayaknya menjadi "penjaga" PC,,,,
pisss Bal ^^v

iqbal latif said...

banyaK! BANYAK! bisa numpang makan di tetangga....,, gratis lagi, Njagain monyet2, dst dst

Fauzi anwaR said...

perlu "pelepasan" bal, biar ga meledak...
dlu sempat pengen keluar pulau, tpi skr nyoba yang deket'2 aja dulu:)

iqbal latif said...

kenapa??