Monday, September 14, 2009

Ia dan Perempuan Itu

Dulu, sewaktu masih kecil, ketika ia baru saja resmi terdaftar menjadi seorang siswa taman kanak-kanak, tiap kali ia bangun tidur, ia menyadari bahwa perempuan itu sudah tak ada lagi di sekitarnya. Ia sudah pergi. Di pagi buta, bahkan ketika suara orang melafalkan asmaul Husna masih sayup-sayup terdengar dari pengeras suara masjid. Entahlah, tapi tak pernah sedikitpun dalam pikirannya, dulupun tidak, bahwa perempuan itu tak pernah mengurusinya. Jelas, karena saat ia menyadari bahwa perempuan itu sudah tak ada lagi di rumah, matanya akan segera tertumbuk pada lipatan baju rapi yang sudah perempuan itu siapkan tak jauh dari tempat tidurnya. Pakaian seragam. Terlipat rapi, bertumpuk dua, yang atas baju, yang bawah celana pendek. Hingga ia tak perlu mengobrak-abrik isi lemari untuk mencarinya lagi. Dulu mungkin ia anggap itu biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan ia sadar bahwa apa yg dilakukan perempuan itu semata hanya demi sebuah kata; cinta. Atas kesadaran : jika aku tak bisa menemanimu untuk memakaikan baju, mungkin aku masih sempat untuk menyiapkannya.

Perempuan itu selalu meletakkan uang receh di meja tengah. Uang saku sekolah. Ia masih ingat, seratus rupiah untuknya yang masih kecil, dan lebih untuk kakaknya yang lebih besar. Uang yang mungkin saat akan meletakkannya, perempuan itu masih harus berhitung dulu : cukupkah?  Cukupkah untuk mereka dan cukupkah untuk ia sendiri, meski pertimbangan yang terakhir, ia yakini, tak seberat yang pertama. Maka, saat-saat melihat uang receh di meja itulah saat-saat mendebarkan baginya, saat apakah permintaan semalam itu akan direalisasikan, saat apakah perempuan itu akan meletakkan uang lebih di situ, apakah hari ini jadi untuk membayar SPP sekolah.

Perempuan itu harus pergi di subuh hari, tapi ia tak pernah membiarkan mereka  mengawali hari tanpa sarapan pagi. Di dapur, masih belum diangkat dari wajan, akan selalu ada nasi goreng special. Bumbunya sih biasa, bahkan mungkin tak memadai untuk nasi yang sebanyak itu, tapi kekuatan yang mengerakkannya untuk melakukannya itulah yang membuat itu teramat istimewa. Kekuatan yang memaksanya untuk melakukannya bahkan sebelum subuh menyapa. Mereka harus makan, sesederhana apapun itu, ah itu kiranya yang ada di benaknya. Dan, jika ada uang receh sedikit berlebih di atas meja tadi, itu artinya uang untuk beli krupuk lauk makan nasi goreng itu. Pas sudah, awali hari (-cukup-) dengan karbohidrat tinggi.

(jika ada yang bertanya mengapa sekarang ia suka sekali membuat nasi goreng, suka sekali makan nasi goreng, maka sudah tentu ia jawab dengan keras : Perempuan itulah penyebabnya. Karena ketika ia sudah mulai beranjak besar, ia sendirilah yang sudah harus menggoreng sisa nasi semalam itu)

14 comments:

AKP Yudi Randa said...

nah kan enakan bacanya :D

iqbal latif said...

kalo di FB kecil2 yah??

AKP Yudi Randa said...

bangeeeeet

Wayan Lessy said...

ini juga keliatan kecil2..(oh..ini sih krn masih ngantuk yah hehhe)..
wah..jadi pengen bikin nasi goreng juga...tapi udah mau imsak..:P

Lani Imtihani said...

iqbal suka banget bikin kangen rumah,,,ato ini juga karena suasana hati yang nulis lagi kangen rumah yaaa?????^^

khaleeda killuminati said...

T_T tulisan antum mengingatkan ana pada perempuan itu...
tepat hari ini, 25 ramadhan 5 tahun yang lalu, perempuan yang membuatkanku sarapan tiap pagi itu pergi ...

iqbal latif said...

wah kalau sahur jangan nasi goreng...bikin haus nanti

iqbal latif said...

he he..mungkin! makanya kalo kanen nulis! selamat menjelang bertemu orang2 rumah mbak!

iqbal latif said...

ikutan sedih...semoga sarapan pagi itu telah mampu mengenergi orang2 yg memakannya menuju kebaikan...

akuAi Semangka said...

Suka dengan gaya tulisan om jauh..! Unik n_n

iqbal latif said...

keponakan muncul juga akhirnya...

Lani Imtihani said...

waa,,iya bal,,jumat pagi otw ke jogja,,,antum ndak pulang yah???mau nitip buku??? :D

akuAi Semangka said...

Karena empe begitu menggoda om, hiks..

iqbal latif said...

kalau sempet ke toko buku nitip "negeri lima menara"..he he