Friday, September 4, 2009

KESETIMBANGAN (bagian pertama dari rencana dua tulisan)

“Hidup adalah serangkaian sikap dan gerak menuju  kesetimbangan”, begitulah kira-kira apa yang disampaikan kadept PSDM ketika pertama kali kami diterima oleh departement PSDM, pagi hari ketika malam harinya kami baru saja menjejak tanah bontang. Filosofis, tapi sederhana saja sebenarnya maksudnya.  Kita ke Bontang dan jauh-jauh meninggalkan tanah jawa yg nyaman, lanjut beliau, juga merupakan bagian dari menuju kesetimbangan itu. Sebab kalau tidak –kalau ini pendapat pribadi saya- mana mungkin seseorang rela menuju sebuah tempat terpencil dikelilingi hutan-hutan yang perlahan mulai gundul dan meninggalkan gemerlap tanah jawa yang menawarkan segalanya.

Kesetimbangan. Sadar atau tidak, itulah yang sedang ingin kita dapatkan. Seseorang merantau dari Jawa ke Sumatera, dari Sumatera ke Jakarta, dari Jawa ke Kalimantan, atau bahkan dari Jawa ke ujung Merauke sana, itu merupakan sebentuk upaya mencapai kesetimbangan. Mencoba mencari pekerjaan dan penghidupan yang menjamin tergapainya kesetimbangan. Sebab mungkin di tempat asal, kesetimbangan itu belum tercapai. Atau lebih tepatnya, belum dirasakan tercapai.

Berbicara mengenai kesetimbangan dalam kaitannya dengan pekerjaan, tentu saja bukan semata telah tercapainya  keadaan dimana pendapatan sama dengan pengeluaran. Tentu saja tidak. Karena jika hanya itu saja yang berlaku, mana mungkin ada orang yang pindah pekerjaan justru ketika pendapatan yang ia dapatkan telah melampaui pengeluarannya. Mau melihat lingkungannya, lingkungan pekerjaannya pun sebenarnya  mendukung. Orang-orang di sekitarnya pun enak diajak komunikasi. Tapi mengapa ia (atau mereka) justru berkeras ingin pindah? Karena ternyata, kesetimbangan itu memang tidak hanya masalah pendapatan dan pengeluaran. Ada faktor lain. Yang ternyata cukup dominan menentukan kesetimbangan itu. Untuk sederhanya, marilah kita lihat sebuah ayunan jungkat-jungkit yang banyak berada di taman bermain anak-anak. Jika ada seseorang berbobot 50 kg duduk di satu sisi jungkat-jungkit, dan seseorang  dengan bobot yang sama duduk di sisi yang lain, maka apa yang terjadi? Tak sulit untuk ditebak, jungkat-jungkit itu akan setimbang tak bergerak, atau berkesetimbangan dengan mengayun naik turun secara periodik.  Hal itu terjadi karena titik tumpu jungkat-jungkit itu tepat di tengah papan atau batangan kayu yang digunakan. Lalu cobalah kita geser titik tumpu itu ke sisi yang lain. Misal menjadi 2/3 bagian di sisi kanan, dan 1/3 bagian di sisi kiri, maka apa yang terjadi bila orang yang sama tadi menduduki kedua sisi jungkat-jungkit itu? Benar, keadaan menjadi tak setimbang lagi. Sesorang yang berada di sisi 2/3 bagian tadi akan terlihat  lebih berat. Padahal nyatanya tidak. Keduanya tetaplah sama-sama berbobot 50 kg.

Analogi sederhana di atas, mengajarkan kita, bahwa kesetimbangan bukan semata masalah bobot yang sama-sama 50 kg, juga bukan hanya masalah pendapatan 5 juta dan pengeluarannya 4 juta. Ada hal lain yang juga cukup besar mempengaruhi, bahkan sama besarnya. Hal yang pada kasuss jungkat-jungkit tadi di sebut dengan lengan kuasa, yaitu panjang antara posisi beban dengan titik tumpu (dalam beberapa literatur dibedakan antara lengan kuasa dan lengan beban, tapi untuk kasus ini, sebagai penyederhanaan, semuanya kita sebut dengan lengan kuasa). Jadi jika ada suatu beban yang cuma 30 kg sedangkan di sisi lain mencapai 50 kg, maka keadaan bisa setimbang dengan cara memanjangkan lengan kuasa sisi yang 30 kg tadi. Secara matematis, bila kita mengambil titik acuan pada titik tumpu, maka kesetimbangan itu bisa ditulis:  A*LK = B*LK. Dengan A dan B adalah berat A dan B, sedangkan LK kependekan dari lengan kuasa. 

Begitu juga masalah pekerjaan. Begitu juga masalah pendapatan dan pengeluaran. Pendapatan yang mungkin saja secara kuantitatif terlihat kecil akan mampu berkesetimbangan dengan pengeluaran yang  begitu besar dengan cara memanjangkan lengan kuasa sisi pendapatan. Bagaimana caranya? Tiap orang pasti memiliki cara tersendiri yang unik. Tapi kalau boleh menambahkan, syukur, sikap hidup untuk merasa cukup dengan apa yang diterima, serta ikhlas menjalankan setiap apa yang dikerjakan, mungkin bisa dimasukkan dalam daftar cara-cara memperbesar lengan kuasa guna mencapai kesetimbangan tadi.

Maka itulah jawabannya, mengapa orang-orang kampung itu, yang berprofesi sebagai buruh tani dengan penghasilan tak lebih dari lima belas ribu perhari, mampu bertahan hidup dalam tuntutan kehidupan yang kian mencekik. Dan itu pulalah jawabannya, mengapa orang-orang keren itu, dengan penghasilan berpuluh juta perbulan, masih mengeluhkan gajinya yang tak mampu mengimbangi pengeluarannya. Benar, memang pengeluaran di antara keduanya pastiilah berbeda. Si orang keren tadi pasti memiliki pengeluaran yang jauh lebih besar dari pada si buruh tani. Tapi tetap saja, lengan kuasa sisi pendapatan tadilah intinya. Si buruh tani tadi memilki lengan kuasa yang lebih panjang dari pada si orang keren. Karena bila kita lihat --jika kita kembali memakai analogi jungkat-jungkit-- kayu atau papan yang digunakan sebenarnya tetaplah segitu panjangnya. Tak berubah. Tinggal bagaimana kita menggeser titik tumpunya. Manakah yang ingin kita panjangkan lengan kuasanya. Jika kita memanjangkan lengan kuasa sisi pendapatan, maka secara otomatis memperpendek lengan kuasa sisi pengeluaran. Maka menjadi seolah begitu beratlah pendapatan yang sedikit tadi. Maka menjadi tidak relevan lagilah pengeluaran yang begitu berat tadi. Maka setimbanglah yang terjadi.

Tapi tentu saja, segalanya mesti dalam batas-batasnya. Terus-terusan memperpanjang lengan kuasa sisi pendapatan tanpa ada perubahan dalam variabel yang lain, juga akan menciptakan ketidakseimbangan itu sendiri. Sisi pendapatan akan terlihat jauh lebih berat. Dan jika ini yang terjadi, untuk mencapai kesetimbangan lagi, tentu saja bukan dengan cara memendekkan kembali lengan kuasa yang sudah terlanjur panjang. Jangan sama sekali! Itulah saat dimana kita diingatkan kalau pendapatan kita sudah terlalu besar untuk pengeluran kecil kita. Itulah saat kita diingatkan untuk memperbesar infak kita. Maka kemudian kita berdoa, semoga kita menjadi seperti Abu Bakar ra, yang memilki lengan kuasa tak berhingga panjangnya, hingga mudah saja menginfakkan seluruh hartanya di jalan dakwah. Yang mencukupkan Allah dan Rosul di hatinya. Indahnya!

Wallahu a’lam

(Tulisan ngaco dari seorang yg mencoba menjadi setimbang. Ada yang protes?)

5 comments:

sf.lussy dwiutami said...

Lg gak pengen protes ah...

Oiya, ada satu pos yg berpotensi menjadikan lengan kuasa td menjadi tidak imbang dan pos itu bernama biaya gaul

iqbal latif said...

kalo biaya gaul itu menambah beban pengeluaran sepertine..he he

sf.lussy dwiutami said...

Nggeh mas... Krn klo itu tdk bisa dikendalikan brapapun pendptannya bakal gak imbang2 jg, kecuali ada yang bantuin ngatrol... Hehehe

Rizky Rahmany said...

Like this post!

Lani Imtihani said...

udah komen tentang isinya di FB,,komen lagi ahh,,
kekecilan fontnya mas!! ^^v