Friday, September 11, 2009

KESETIMBANGAN (bagian kedua yang sepertinya bakal berlanjut)

Ketaksetimbangan itu menggelisahkan. Maka berkebalikannya, seharusnya kesetimbangan itu menenangkan. Tak heranlah, jika semuanya menginginkannya.

Awalan di atas terasa berlebihan, tapi  begitulah keadaannya. Marilah kembali kita coba tengok kasus jungkat-jungkit di tulisan sebelumnya. Jika sebelumnya saya katakan apabila ada beban 30 kg di satu sisi dan 50 kg di sisi lain, dengan lengan kuasa yang sama panjang, maka akan terjadi ketaksetimbangan, ternyata itu tidak sepenuhnya benar. Kenapa bisa begitu? Karena ternyata ketaksetimbangan itu hanyalah sebuah mula. Selanjutnya, jungkat-jungkit itu secara otomatis akan menyetimbangkan diri. Dalam hitungan sepersekian detik bahkan. Meski tak indah untuk dipandang. Meski perlu variabel pembantu untuk merekayasa terjadinya kesetimbangan. Tapi tetap saja, itu setimbang. Kita kemudian akan melihat kalau sisi yang satu terlihat lebih njomplang dibanding yang lain. Akan terbentuk sudut antara lengan kuasa dengan horisontal. Sudut inilah yang kemudian membantu merekayasa terjadinya kesetimbangan (bagi yang sudah belajar fisika dasar pasti mengerti hal ini). Dalam kehidupan, sudut ini bisa berarti banyak. Sebuah kamuflase yang -- sebenarnya -- menyiksa.

Dalam kasus lain, jika sebuah besi yang panas kita taruh di sebuah lingkungan yang lebih dingin, maka apa yang terjadi? Tak pelak lagi, ia akan meyetimbangkan diri. Besi itu akan mendinginkan diri dengan cara mantransfer panasnya ke lingkungan yang lebih dingin tadi. Hingga muncullah kta-kata keren seperti konveksi, konduksi, ataupun radiasi. Dan semuanya satu tujuan: menyetimbangkan.

Lalu kemudian muncul istilah-istilah lain; diffusi, osmosis, evaporasi, kondensasi, absorbsi, adsorbsi, desorbsi, serta berbagai si yang lain. Tujuannya lagi-lagi tetaplah sama; upaya menyetimbangkan diri. Semuanya meyetimbangkan diri, karena seperti dikemukakan di awal, setimbang itu tenang.

Manusiapun menyetimbangkan diri. Sebab ketaksetimbangan itu menggelisahkan. Tapi kemudian, bagaimana cara ia meyetimbangkanlah yang menjadi pembeda. Pembeda tentang kualitas kesetimbangan itu, juga pembeda tentang kecepatan menuju kesetimbangan itu. Tentang kualitas kesetimbangan, rasanya bisa dilihat bagaimana dua buah contoh jungkat-jungkit mencapai kesetimbangannya, yang benar-benar setimbang dan yang setimbang tapi terlihat njomplang. Sedang yang kedua, tentang kecepatan menuju kesetimbangan, marilah kita lihat analogi di bawah ini:

Jika ada sebuah batangan besi panas bersuhu 100 oC kita celupkan ke dalam air bersuhu 30 oC, dan batangan besi yang lain dengan suhu yang sama tapi dipaparkan dalam udara dengan suhu 30 oC juga, maka contoh yang mana yang akan lebih cepat menyetimbangkan diri? (Anggaplah air ataupun udara yang digunakan berlebih jumlahnya) Mudah sekali jawabannya; besi dalam air. Besi dalam air akan lebih cepat meyetimbangkan diri daripada besi dalam udara. Meski driving force (-dalam hal ini delta temperatur-) di antara keduanya sama. Sebab, tetapannyalah yang berbeda. Tetapan yang kemudian lebih sering menjadi faktor dominan penentu kecepatan kesetimbangan. Dalam kasus di atas, kapasitas panas air lebih besar daripada udara.

Selanjutnya, kita akan menemukan tetapan penentu kecepatan kesetimbangan ini dengan nama yang beraneka; konduktivitas, diffusifitas, emisifitas, kecongkakan, ketamakan, tingkat penerimaan, syukuritas, ikhlasitas, derajat keragu-raguan, serta yang lain. Bagaimana kemudian kita mengelolanyalah masalahnya. Jika kita ingin terjadi kestimbangan panas yang cepat dalam sebuah heat exchanger maka kita akan memilih material yang memiliki konduktivitas panas yang tinggi. Hingga kemudian tak perlulah heat exchanger yang rumit-rumit dengan banyak belokan, cukup memakai PHE yang sekali lewat.

Tetapan di atas tadi pulalah yang kemudian menjadi jawaban mengapa dua orang yang berawal dari keadaan yang sama, memilki penghasilan yang sama, beristri sama-sama satu, dengan tingkat pengeluaran yang hampir sama pula, bisa memiliki ‘kekayaan’ yang berbeda. Bahkan bisa amat sangat berbeda. Ya, syukuritas tadilah pembedanya. Sebab sudah jelas termaktub, bahwa Allah akan menambah nikmat hambaNya yang pandai bersyukur. Dan nikmat itu, bisa saja berupa kesetimbangan tadi. Kesetimbangan yang bermuara kepada ketenangan. Ketenangan yang hanya dimilki orang-orang ‘kaya’. Orang-orang ‘kaya’ yang……. Anda pasti ingin mendapatkannya kan?.

Maka pada akhirnya, mari…mari lihat kembali syukuritas, ikhlasitas, derajat keragu-raguan, dan tingkat penerimaan kita. Jangan-jangan kurang benernya kita mengelola itu semualah yang membuat kita begitu lambat mencapai kesetimbangan itu.

Wallahu a’lam

 

Kecubung 17

 

(sebenarnya, saya malu apabila nulis yang beginian. Entahlah, seperti jauh dari saya. Itulah mengapa saya lebih sering menulis tema-tema seperti ini dengan pendekatan fiksi. Itu membuat saya lebih ‘bebas’. ‘afwan, kalau saya tidak (atau belum) seperti yg saya tulis)

No comments: