Friday, November 13, 2009

Mak Ipah (Bukan Cicak vs Buaya)

Mak Ipah namanya. Usianya sudah berbilang setengah abad. Atau mungkin lebih, sebab ia sendiri juga tak tahu pasti kapan ia dilahirkan. Yang ia tahu, dari cerita orang tuanya dulu, usianya sebaya dengan si ini, lebih tua dari si itu, atau lebih muda dari si anu. Tapi bila kalian melihatnya langsung, mungkin kalian akan langsung menganggap ia jauh lebih tua dari usia yang disebutkan di awal tadi. Sebab kerasnya hidup memang lebih dulu menyapanya dari orang-orang kebanyakan. Mendewasakan, atau lebih tepatnya menuakannya, lebih dahulu.

Pagi masih menyisahkan embun di pucuk rerumputan, dan dingin sesekali masih mendera kulit yang mengeriput, tapi ia sudah berangkat. Tak banyak yang ia bawa. Hanya sebuah sarung tangan bekas yang sudah koyak di sana-sini. Itupun bukan sepasang, hanya sebelah saja. Untuk tangan kanannya. Sebenarnya, itu juga sudah lebih baik. Dulu-dulunya, ia memakai sarungtangan dari kaos kaki anaknya yang sudah berlubang lebar dan tak terpakai lagi.

Tujuannya hanya satu: ke hamparan padi menghijau yang belum genap sebulan dari masa tanam. Letaknya di pinggiran kampung yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Di sana, ia akan bertemu dengan perempuan-perempuan sepertinya. Perempuan-perempuan dengan sarung tangan sebelah menghiasi tangan kanannya. Maka kemudian akan berderailah suara mereka, sesekali ada tawa, sesekali terlontar lelucon, sesekali ada teriakan. Seketika riuhlah pagi hari itu. Dan kerja-kerja nyata itupun dimulai.

Jika kalian menganggap padi menghijau tadi adalah milik mak Ipah, ah sayang sekali tidak. Sama seperti perempuan-perempuan lain yang membersamainya itu, kedatangannya ke persawahan itu hanyalah demi sebuah upah penjamin penghidupan. Ia hanyalah buruh tani di tanah subur negeri ini. Sebab untuk setiap cakaran tangan kanannya, untuk setiap rumput yang tercerabut, untuk setiap bungkukan badannya, untuk setiap kaki yang terjerembab dalam lumpur yang dalam itu, untuk setiap itulah rupiah akan mengganti. Dan itu berarti banyak. Bahwa satu hari lagi akan ada asap mengepul dari dapurnya, bahwa masih ada uang saku buat anaknya berangkat sekolah, bahwa akan ada uang tambahan penambah penghasilan suaminya. Nanti, ketika angin sudah mulai semilir membelai tengkuk, mereka akan segera menyudahi pekerjaannya itu. Kembali melangkah pulang sambil tak lupa mencari sayur seadanya sebagai pelengkap memasak siang nanti. Dan tujuh lembar uang ribuan   sudah menanti sebagai upah sepagian tadi. Tujuh lembar yang berarti sesenyum simpul di bibirnya, ‘terima kasih untuk hari ini ya Allah’

Mmmhh… ilusterasi saya di atas, besar kemungkinan berlebihan. Tapi sungguh, di pelosok-pelosok negeri ini, di sebuah kampung yang mungkin didatangi hanya menjelang pemilu, di sebuah dusun yang mungkin satu-satunya akses menuju ke sana harus melalui sebuah jembatan yang hampir runtuh oleh sebab pembangunannya yang tidak memenuhi standar, ada orang-orang yang harus mengais-ngais tanah demi beberapa lembar uang ribuan saja, ada ibu-ibu yang rela berjalan lebih jauh hanya demi untuk membeli keperluan pokok yang murahnya hanya berselisih dua ratus rupiah, juga ada bapak-bapak tua yang mengayuh becak penuh muatan berkilo-kilo meter demi lima ribu rupiah. Maka ketika siaran televisi kini ramai mengabarkan uang ber-MM dihamburkan begitu saja macam mengeluarkan uang untuk membeli kerupuk, akankah pikiran mereka  mampu menjangkau? Seberapakah itu? Bagaimanakah rasa memilikinya? Betapa ringankah menyebutnya? Akankah itu memang benar-benar uang (bukan daun?)? ah, saya tak berani membayangkan tidakkah itu membuat mereka hanya dipenuhi mimpi-mimpi kosong tanpa kerja-kerja nyata mengais-ngais tanah menyingkirkan rerumputan di hamparan padi?

Tapi saya keliru, esok-esok selanjutnya, mak Ipah beserta teman-temannya masih ramai meningkahi pagi. Masih riuh bercerita. Masih tertawa. Tak ada keluh kesah. Tak ada pembicaraan tentang Anggodo, Antasari, Rani, Ari Muladi, Susno, cicak vs buaya, apalagi program sejuta facebooker dukung Bibit Chandra. Bagi mereka, bahasan tentang gula yang naik dua ratus rupiah, tentang toko baru yang menjual kebutuhan pokok dengan harga miring, atau tentang ayam-ayam yang mulai banyak terkena penyakit, jauh lebih menarik untuk diperbincangkan daripada itu semua. Apakah karena mereka memang tak tahu apa yang terjadi? Ah, saya tak tahu. Ataukah karena mereka justru tak mau tahu? Entah juga.  Atau jangan-jangan, sinetron picisan nggak jelas itu lebih menarik daripada siarannya Metro TV sama TV one? Lagi-lagi saya juga tak tahu.  Atau karena mereka tak punya TV? Mungkin ada baiknya kita tanyakan langsung ke Mak Ipah. Dimana? Ah, bukankah banyak sekali Mak Ipah-Mak Ipah di sekitaran kita. Kita saja yang terlalu sibuk bermain di dunia maya hingga tak tahu kalau sebenarnya Mak Ipah sejak dua tahun yang lalu  mendirikan rumah gubuknya di kompleks kita. Sepelemparan batu saja dari rumah megah kita. Sedikit saja kita mau melongok, tubuh kurusnya akan jelas terlihat. Jadi….?? 

 

5 comments:

akuAi Semangka said...

Gubrak! Endingnya ga banget deh om.. Padahal di awal feelnya udah dapet banget.. Apalagi deskripsi ttg mak ipah,, bagus..

"sepelemparan batu saja dari rumah kita.."
pemilihan kata yang sama di novel N5M

koreksi:
menyisahkan >> menyisakan
sarungtangan >> sarung tangan

Lani Imtihani said...

dikota qt skrg pun byk bal,,sdh pernah menyambanginyakah?
Skali mendkt kemereka,bakal terkagum2 dg ghiroh tolabul 'ilmi yg mrk punya ^^

AdiT ^__^ said...

Dibelahan dunia manapun pasti ada orang2 seperti itu..
Semoga kita kuat bertahan.. :)

iqbal latif said...

akuai...>> he he, sengaja memang.. kok kayake om kalo nulis serius banget. Sepelemparan batu itu kayake sdh umum dipake. terimakasih atas koreksinya juga...

keranjanghrpn..>>kota kita yg mana ya mbak??

sakanaa...>>betul betul betul

Lani Imtihani said...

hyaaa,,emangnya,,qt tinggal di kota yg sama manalagi bal??one n only,,bontang ceria ^^