Monday, November 2, 2009

Sejenak Menjadi Bapak

Salah satu bagian yang cukup menarik masuk shift , yang mana kesehariannya bergaul dengan bapak-bapak  operator yang kebanyakan sudah beranak dan bahkan sudah memiliki anak yang sebaya dengan saya, adalah saat bapak-bapak itu mulai bercerita tentang anak-anak mereka. Tak terlalu sering memang mereka melakukannya, tapi saat mereka mulai bercerita, yang sebagian di antaranya melalui sebuah pencingan, saya akan selalu serius menyimak. Dan bila mereka telah memulai, akan sulitlah untuk berhenti.

Benar memang, bahwa orang tua akan selalu berseri-seri saat menceritakan anak-anak mereka. Semangat, dan sepertinya tak hirau lagi apakah itu bakal menarik bagi si pendengar atau tidak. Hingga merasa berdosalah saya, jika tidak membalas binar-binar bahagia di mata mereka saat bercerita itu dengan sebuah antusiasme. Antusiasme yang saya yakin amat dibutuhkan mereka. Sebab antusiasme itu, mungkin  sebagai bentuk pengakuan atas kebapakan mereka. Dan seorang bapak, tentu saja akan selalu bahagia jika dianggap telah benar-benar menjadi bapak bagi anak-anak mereka.

Cerita-serita itu sederhana saja. Masalaha keseharian anak, masalah pendidikan, atau masalah cita-citanya. Tapi saya yakin, tidak ada yang sederhana bagi seorang bapak jika itu sudah menyangkut anak-anaknya. Itu akan menjadi cerita yang lebih, tak biasa, dan tentu saja perlu pemikiran yang matang.

Suatu ketika, saya dengan jelas menangkap kebahagiaan dan kebanggan dari seorang bapak yang bercerita tentang anak gadisnya. “Ia tomboy banget. Suka memakai celana pendek. Pengennya jadi lelaki”, demikian seorang bapak itu bercerita. Ia kemudian tentu saja bingung. Nasehat sepertinya sudah tak terlalu dihiraukan. Untunglah kemudian ia masih berpikir jernih. Lepas dari SD, Ia putuskan mengirim anaknya itu ke sebuah SMP IT nun jauh di seberang pulau. Di Malang tepatnya. Tak ada paksaan kala itu, demikian bapak ini menambahkan. Sebab, masih kata beliau, banyak juga teman-temannya yang ikut bersekolah di sana.

Maka kemudian, ia bersyukur, kala pulang saat liburan, anak perempuannya itu sepertinya berubah. Anak perempuannya itu kini berjilbab, berrok, dan terlihat santun, bahkan saat di rumah selama liburan, yang mana tak ada aturan untuk itu selayaknya di sekolahnya. Telah hilang kelelakiannya yang mana dulu begitu jelas mendominasi. “sekarang ia rajin sholat dhuha, rajin baca al-qur’an, bisa ngingetin kakaknya”, demikian tambah si Bapak yang saya tahu sedang diselimuti bahagia. Saya termenung, andai semua bapak lebih berbangga tentang anaknya untuk capain-capaian seperti ini.

Lain lagi tentang seorang bapak yang lain. Ia bercerita tentang anaknya dengan rasa sedikit mengeluh dan berbagga hati. Dua perasaan yang janggal sekali datang untuk berkolaborasi. Tapi begitulah nyatanya. Ternyata, anak pertama bapak tadi dengan tegas bercita-cita ingin menjadi musisi. Hmmm, saya tahu, tak terlalu banyak orang tua yang mau menerima cita-cita seperti itu, amat berbeda mungkin sikapnya  jika cita-cita itu profesi semacam dokter atau hakim. Tak umum, demikian bapak ini menyebut, menyiratkan keraguan. Tapi kemudian saya heran, ia dengan rasa bangga bercerita tentang anak pertamanya yang menjadi pemusik pengiring saat direksi dan jajarannya mengadakan semacam acara gathering selepas upacara 17an. Sepertinya bapak ini ‘merestui’ jika musik itu hanya sekedar hobi, bukan jalan hidup bagi anak pertamanya itu.

Pembicaraan tentang anaknya itu sepertinya akan berakhir ketika si Bapak bertanya, “kalau mas Iqbal dulu belajarnya gimana?”. Hmm..saya seringkali berhati-hati jika mendapat pertanyaan ini. Takut salah. Sampai saya lulus kuliah, sepertinya tak sekalipun orang tua saya menyuruh saya belajar. Bahkan ketika SD dulu, mungkin porsi bermain saya jauh-jauh lebih banyak. Hanya saja PR selalu dikerjakan, hanya saja selalu belajar bila menjelang ulangan.

“wah kalau saya nggak pernah disuruh-suruh belajar sih pak sama orang tua. Kalau ingin belajar ya belajar. PR dikerjain, mau ulangan belajar.”

“kesadaran berarti?”

Saya berhenti sebentar. Tersenyum, “mmh..ya nggak tahu juga sih. Mungkin. Memang puteranya nggak mau belajar ya, pak?”

“iya nih. Main saja pekerjaannya”

“tapi PR dikerjakan kan??”

“dikerjakan. Tapi seringkali terburu-buru. Menjelang berangkat malah kadang ngerjainnya”

“(bla bla bla)”, dengan hati-hati akhirnya saya mengutarakan pendapat. Boleh dibilang tak terlalu lama saya lepas dari masa-masa anak si Bapak ini. Sedikit banyak mengerti dunia mereka.

Lain bapak pertama, lain bapak kedua, lain pula  bapak ketiga. Semalam saja kejadiannya saat bepak ini bercerita. Entah bagaimana mulanya ketika ia bercerita tentang anaknya yang minta diantar kesekolah. Tak biasanya anaknya yang masih kelas 2 SD itu minta diantar. Sebab memang sudah ada mobil jemputan yang sehari-hari mengantarjemput dia dan teman-temannya.

“tak bisa nak, papa masuk pagi. Ntar telat gimana?”. Memang bapak ini sedang masuk shift pagi

“kalau gitu nggak mau sekolah!”

“Lo!”, dengan berat hati dan beresiko telat tiba di pabrik ia akhirnya berangkat juga mengantarkan anak pertamanya itu.

Hari berikutnya, hal yang dikhawatirkan bapak ini terjadi. Si anak minta di antar lagi. “ini pasti ada apa-apa”, demikian pikir bapak ini. Pasti ada sesuatu yang membuat anaknya enggan naik mobil jemputan. Sesuatu yang akan ia cari tahu. Untunglah waktu itu ia masuk sore, hingga punya banyak keluangan di pagi itu.

Yang pertama ia tuju adalah sopir mobil jemputan. Ialah yang bertanggung jawab. Sedikit banyak pasti ia mengerti.

“Bang, sampean apakan anakku kok nggak mau naik mobil jemputan lagi?”, demikian si Bapak memulai. Ia memang sudah kenal sama sopir tersebut.

Agak lama sopir menjawab, sampai…“waduh, anak sampean nakal banget. Masak mobil ini distarter sendiri, untung saja nggak jalan. Kalau jalan, wah…(bla bla bla). Ya saya marahilah dia”

Ting! Persolan tertemukan akarnya. Segeralah ia temui kembali anaknya. Mendekat. Menjelaskan…

“kakak nyalain mobilnya ya? Nggak boleh nak! Kalau mobilnya jalan gimana? Kalau nabrak temennya gimana? Kakak mau kalau temennya meninggal? Kakak mau kalau dipenjara? Kalau papa yang jadi om yang nyetir juga bakal marah sama kakak. Ayo sekarang minta maaf ke om dan janji nggak bakal ngulangi”

Selesai. Berakhir indah. Hari-hari berikutnya si anak mulai naik mobil jemputan lagi.


Demikianlah, pembicaraan tentang anak, selain ketiga cerita di atas,  sering terjadi. Dan selalu, saya akan serius berbicara tentang ini. Mereka adalah pelaku, orang-orang yang telah menjalaninya sendiri bagaimana menjadi bapak itu. Saya belum.  Si belum seharusnya belajar pada si telah. Sayapun harus melakukannya. Bukan sekedar mengadopsi, atau membuat sebuah kesimpulan pasti. Hanya mengumpulkan cerita-cerita dan rasa-rasa yang berkelebatan, yang semoga saja dapat memperkaya batin. Suatu saat saya yakin akan berguna. Suatu saat. InsyaAllah..



16 comments:

akuAi Semangka said...

Hwaa.. Tfs!
Smakin mengerti kenapa ayah sering bercerita ke teman2nya. Mereka ingin anaknya jadi kebanggaan..

Btw, para pria kalo punya moment curhat pasti bakal banyak cerita. Iya ga?

iqbal latif said...

kata siapa ai?? bener nggak yah...kayaknya..mmmhh...

akuAi Semangka said...

Soalnya yg sering curhat itu kan kaum ibu2. Kalo ketemu, pasti bisa langsung cerita *hal2 yg personal, terutama..
Tapi kebanyakan pria butuh moment utk bisa blak2an menceritakan permasalahannya..
Hmm.. Iya ga yaa?
Hanya sedikit mengamati,, maklumlah, bukan dari dunia itu. Hehe..

iqbal latif said...

mungkin saja... nggak terlalu ngerti juga..
tapi kayake lelaki nggak terlalu mudah curhat

Chifrul S said...

ckckck...meski caranya begitu, nyatanya ente adalah cumlauder. Selamat-selamat! ^__^

Lani Imtihani said...

Nice,,,
menarik,,,
banyak belajar berarti ya bal,,ga hanya ilmu pabrik,,tapi juga parenting heheh ^^v

akuAi Semangka said...

Hwaa.. Manstab!
Iman tak dapat diwarisi, begitu pula dengan kepintaran..
Omnya pinter, tapi keponakannya engga u_u
*apalagi kalo gada warisan genetiknya gini :D

Lani Imtihani said...

salut bal,,jarang lo yang bisa gini,,, :))
menjadi pendengar yang baik,,,

AKP Yudi Randa said...

bener banget bro.. orang tua selalu akan berbinar2 menceritakan tentang anak2nya.
ngerasain sendiri saat harus menjadi "bapak" bagi adik bungsuku :D

Chifrul S said...

Cerita teruss..kapan kerjanya??? (komennya mas Arif di FB). hehehe

iqbal latif said...

aih..aih..ngapain nyinggung ini

iqbal latif said...

malah ilmu pabriknya yg kurang..he he

iqbal latif said...

kata siapa ai nggak pinter? kata siapa??

*om nya marah nih

iqbal latif said...

ah nggak segitunya kok mbak....
pasti psikolog jauh lebih bagus untuk hal beginian

iqbal latif said...

bagi2 dong bro rasanya gimana?? he he

iqbal latif said...

siapa nih yang dimaksud??
aku apa bapak2 operator