Barang kali memang saya terlalu membuat hidup ini berjalan lebih cepat. Membaca tulisan di sini, merenunginya, seolah ada sesuatu dalam diri saya yang terketok-ketok dan melemparkan saya ke kedahuluan. Ada yang berbeda. Sepertinya memang tak banyak waktu lagi yang saya sisakan untuk termenung, melihat kanan-kiri, dan mencoba menikmati yang ada.
Hidup seolah saya buat lebih cepat dan terburu-buru. Tak ada ruang untuk sebuah kontemplasi. Waktu luang yang ada hanyalah waktu lelah dimana digunakan untuk membaca pun hanya menyisakan seseorang yang tertidur di atas sofa dengan buku terjatuh di lantai. Ya, mungkin dorongan ini yang kurang, mungkin kekuatan ini yang lemah. Atau mungkin juga keseriusan ini yang cuma remah-remah. Mungkin itu. Tapi, saya rasa, ada hal lain.
Seperti yang tertulis dalam oase itu, memang hidup sebenarnya melaju dalam waktu yang tetap itu-itu saja. Sehari masihlah dua puluh empat jam. Tak kurang tak lebih. Hanyalah masalah relativitas lah yang kemudian membedakannya. Kita seolah menganggap waktu menyempit maka semuanya perlu dipacu sepacu-pacunya. Memacu motor kencang-kencang untuk selanjutnya mengerem cepat-cepat di perempatan. Terburu-buru mandi untuk kemudian terburu-buru berganti baju. Terburu-buru berangkat. Terburu-buru menglakson mobil bahkan kala baru sedetik lampu kuning menyala. Hingga tak ada jeda bahkan untuk menikmati sekitaran.
Tak ada waktu untuk berintim dengan pikiran-pikiran sendiri. Tak ada kesempatan bahkan untuk menjengkali diri sendiri.
Kecepatan itu, bukan keburu-buruan, mungkin baik-baik saja saat kita memang memerlukannya untuk pemenuhan tugas-tugas hidup yang telah terencanakan. Ada list kerja yang butuh untuk segera tertunaikan dan kecepatanlah salah satunya yang bisa memastikan itu bakal tertunaikan dengan baik. Tapi, bila sebaliknya, saat bahkan kita tak tahu untuk apa kecepatan itu kita lakukan, maka kekosonganlah yang bakal hadir. Serupa seorang pengendara motor yang memacu motornya cepat-cepat di batas kewajaran tapi kemudian hanya bisa terbengong ketika sampai di tujuan. Tak tahu untuk apa ia lakukan itu, sebab tak ada pekerjaan yang ingin segera dilakukan, tak juga kemenangan lomba yang sedang diperebutkan, hanya sebuah kepongahan menguasai jalan raya, atau sensasi merasakan ‘mengalahkan’ waktu. Kosong.
Mungkin –meski tak seekstrim itu- itu terjadi dalam diri saya.
Dan poin dalam tulisan itu yang membangunkan kesadaran saya atas rutinitas dahulu adalah sebuah hal sederhana; berjalan. Ya Allah, betapa aktivitas itu telah begitu melekat dalam keseharian saya. Sejak dulu telah berbilang belasan tahun, hingga satu dua tahun yang lalu. Berjalan yang memberi saya kesempatan untuk mengakrabi diri dan lingkungan, berjalan yang mengajarkan saya senyum lama kepada pejalan lain (jauh-jauh hari sebelum klakson menggantikannya), berjalan yang menyediakan waktu untuk murojaah menyenangkan (-yg sulit digantikan sambil bermotor-), berjalan yang memberikan saya jeda, berjalan yang mau tak mau turut berandil besar menyehatkan.
Maka kemudian, ketika berjalan ini perlahan mulai tercoret dari aktivitas harian, tak ada waktu lagi lah untuk sebuah pemberhentian dari rutinitas yang kerap kali membosankan. Tak ada waktu untuk mempertanyakan, memperbaharui, atau merombak apa-apa yang telah pakem terlaksana. Hingga semuanya mengalir begitu karena telah memang begitu. Tak ada lagi esensi yang tergali. Hingga menjadi lelah. Hingga menjadi tak berasa.
Sebetulnya itu bisa tertutupi oleh ibadah rutin kita. Allah telah berbaik hati menyediakan jeda yang berfungsi lebih dari yang berjalan berikan. Lewat sujud-sujud kita, lewat malam-malam khusuk kita, lewat dzikir bada sholat kita. Namun, menjadi tidak saat itu pun juga dipenuhi oleh keterburu-buruan. Terburu-buru mengakhirkan dzikir, terburu-buru merapalkan doa, terburu-buru memaksa Allah segera menuruti keinginan. Terburu-buru.
Ada banyak kebutuhan ternyata yang telah kita tinggalkan. Menganggapnya sebagai sebuah beban. Seperti berjalan yang dianggap melelahkan dan melambatkan, seperti sholat yang dianggap rutinitas dan kewajiban.
Ah, maha besar Allah yang memberi apa yang menjadi kebutuhan kita. Seperti tiap bus kota yang selalu berterminal, seperti balapan F1 yang ber-pitstop, maka hidup juga butuh pemberhentian. Untuk berhenti sejenak, untuk merenung sejenak, untuk kemudian melesat lebih banyak. Melesat yang tak hanya melesat. Melesat yang punya arti banyak. Melesat oleh suatu sebab rancak.
NB : Selamat I’tikaf, kawan!
10 comments:
setuju banget
kangen momen berjalan...sejak TK hingga kulaih
i'tikaf : tempat pemberhentian yg pas ^^b
yup....mari 'berhenti'!
he..jadi inget, sejak SD sampai SMA jalan kaki minimal 4 km tiap hari, pas kuliah jalan kaki plus naek bis kemana-mana, banyak teman dan saudara yang diperoleh selama di jalan
4 Km?? wah lebih jauh dari saya...
selamat mengejar Laila.. ^___^
'bersolek' biar dihampiri laila
Kau yg harus menghampirinya! ^^
kata mario teguh itu memantaskan diri...
bersolek menunjukkan usaha sebaik mungkin...., sedangkan biar dihampiri menunjukkan kehambaan, ketakberdayaan, bahwa kita hanya bisa berusaha. Hanya itu..
(nggakmaukalahdotcom)
Post a Comment