Monday, February 21, 2011

menikmati proses

SD-nya di SD wonojati. Berada di pojokan antara jalan kecamatan yang sudah beraspal, dengan sebuah jalan desa yang berdebu. Delapan ratus meter dari SD itu, bila terus menelusuri jalan desa berdebu tadi, di sanalah rumahnya berada. Jarak yang harus ia tempuh tiap harinya. Tapi tentu, sekarang, jalan itu teraspal ala kadarnya.

SMP-nya SMP Gondang Wetan 1. Bila Wonojati tadi adalah nama desa, maka Gondang Wetan ini nama kecamatan untuk desa wonojati tadi. Sedang 1, ah kau pasti tahu kalau itu berarti SMP negeri pertama yang berdiri. Di daerah-daerah memang begitu, nomor menunjukkan ketuaan suatu sekolah. Jaraknya, mmmm...bila kita tarik garis lurus dari SD wonojati tadi, mungkin sekitar 3-4 km. Atau bahkan lebih. Entahlah, tak pernah ia memastikan dengan pasti angka itu. Hanya saja, bedanya dengan waktu SD tadi, ada angkutan umum yang bisa mengantarkannya ke SMP itu. Colt, biasanya orang-orang menyebutnya. Sebab awalnya memang jenis mobil itu yang sering dipakai. Ia perlu menghadangnya di depan SD tadi, dengan ongkos seratus rupiah di awal ia kelas satu, hingga dua ratus di kala ia menjelang lulus. Atau kadang kala ia menempuhnya dengan berboncengan sepeda dengan temannya. Sebuah alternatif yang dapat mengurangi biaya harian.

Lalu SMA 1 Pasuruan. Kau pasti mengerti kalau pasuruan itu nama kota. Ya, setelah SD di desa, SMP di kecamatan, maka SMA di kota. Tentu saja jangan bayangkan kota yang kumaksud layaknya kota-kota besar. Seperti halnya kota-kota pinggiran lain, ia boleh dibilang ramai bila dibandingkan desanya, tapi tak cukup ramai untuk sebuah kota dalam gambaran umum. Tapi sudahlah, apapun itu, ia menyebutnya kota. Sebab memang ada kabupaten ada kota (-semuanya harusnya sudah mengerti kalu istilah kotamadya berubah jadi kota saja-). Dan SMA-nya ini ada di kota. Untuk itu lah, untuk dia yang berasal dari kabupaten, perlu prosedur khusus untuk sekolah di sana. Dari SDnya tadi, dengan naik angkutan yang sama, ia perlu mengeluarkan ongkos 500 rupiah di awal sekolah, hingga seribu rupiah di akhir sekolah. Lima ratus itulah inflasi selama tiga tahun itu.

Maka setelah desa, kecamatan, dan kabupaten, fase selanjutnya adalah propinsi. Dan benar saja. Sebuah perguruan tinggi negeri di kota propinsi kemudian menjadi labuhannya. Adalah Institut Teknologi Sepuluh Nopember (-ingat! Bukan Institut Teknologi Surabaya-) perguruan tinggi itu. Butuh empat tahun lamanya sampai ia keluar dari sana. Saat bayangan jakarta mulai nampak untuk dunia kerja, mengingat harusnya ibu kota negara lah yang menjadi tujuan untuk menggenapi tahap-tahap itu, Allah menentukan hal lain. Sebuah lompatan lain. Tak hanya masalah jarak yang kian bertambah, tapi keterpisahan fisik yang lebih. Sebab ada fase lain sebagai pemisah. Adalah lautan. Maka di pulau seberang ini lah kemudian ia berkarya lanjut.

+++

Itu tentang saya. Bahkan sampai sekarang saya masih merenungi ini. Sebuah perjalanan yang unik. Masa SD enam tahun saya saya habiskan di kampung kelahiran saya, dimana hanya perlu berjalan kaki untuk menempuhnya. Kemudian masa SMP tiga tahun di desa kecamatan. Kemudian masa SMA tiga tahun di kota. Kemudian masa kuliah empat tahun di kota propinsi. Dan, pada akhirnya, menjelang dua tahun kerja di pulau seberang. Ini beberapa kali masih saya renungi sebab ternyata ini membawa implikasi banyak. Jika saya bertemu teman lama di kampung, itu kemungkinan teman main atau teman SD/madrasah. Jika bertemu di desa lain namun sekecamatan, itu mungkin teman SMP. Jika di kecamatan lain, atau kota lain, bisa jadi adalah teman SMA. Begitu seterusnya. Sebab begini: tak lebih dari lima orang teman SD saya yang kemudian satu SMP dengan saya, tak lebih dari tiga orang teman SMP yang kemudian satu SMA dengan saya, selanjutnya tak lebih dari empat orang teman SMA saya yang satu kuliahan dengan saya. Hingga, saya tak punya teman yang menjadi teman sejak SD sampai SMA. Tapi kemudian saya bersyukur, saya memiliki teman dengan penyebaran daerah yang merata.

Begitulah. Pendidikan saya yang bertahap secara daerah ini, boleh jadi baik untuk perkembangan. Entahlah, saya tak punya dasar untuk ini. Ketika saya sudah SMA, mungkin memang sudah waktu yang tepat untuk saya bergaul dengan anak-anak kota dengan budaya yang berbeda, dengan tingkat ekonomi yang lebih, dengan hal-hal lain yang boleh jadi jika saya jumpai lebih awal akan membuat saya terkagok-kagok dan gagap. Kenyataan ini mungkin membuat saya memang terlambat mengenal moderenitas, tapi tak apa sebab itu toh bisa saya pelajari untuk kemudian menyamai mereka-mereka semua. Tapi untuk sebuah nilai-nilai kedesaan, tentang kedaerahan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, akan sulit saya raup jika saya sudah terlanjur tercebur dengan moderenitas.

Begini, tulisan ini hanya ingin menekankan ini: proses. Tahap demi tahap. Mungkin contoh di atas tak cukup tepat, tapi itulah yang paling dekat dengan saya dan lebih mudah saya ceritakan. Segalanya itu butuh proses, dan menikmati tahap demi tahapnya itu terkadang begitu penting. Bukan melulu tujuannya. Ini boleh jadi tak berlaku umum, tapi sebagian besar barangkali harus begini. Saya kerap kali sedih kala melihat anak-anak yang sepertinya masih seusia SD itu sudah meraung-raung di jalan raya memamerkan motornya. Ah, anak seusia itu harusnya masih menikmati naik sepeda. Beradu cepat dengan temannya dengan kekuatannya sendiri, dengan tenaga kayuhnya sendiri. Bukan malah beradu motor dengan tenaga bensin hasil minta dibelikan orang tua. Ini bukan masalah orang tua yang berada hingga mudah saja membelikan motor, tapi ini masalah proses. Seseorang yang dengan baik melewati proses-prosesnya, akan cenderung arif menikmati suatu tahapan. Tak lagi terlibat euforia berlebihan merayakan tahapan itu.

Jadi biarkanlah! Biarkanlah semua pada prosesnya. Nikmati tiap prosesnya dan maknailah tiap tahapan itu. Kau mungkin seringkali melihat bagaimana orang kaya baru itu tak sanggup menghadapi tahapan barunya sebab ia tak melalui tahapan-tahapan yang benar. Sebab ia hanyalah orang kaya karbitan. Dan buah yang matang karena karbitan, pastinya kalah jauh kulaitasnya dengan yang ranum sejak dari dahannya. Itu saja.

16 comments:

yasir burhani said...

sip...
Proses. Ya proses.

HayaNajma SPS said...

omku juga di IT 10 Nov.

iqbal latif said...

oke..sip balik..

iqbal latif said...

sudah lama? jurusan apa?

oramg purwokerto lumayan banyak di ITS... sekontrakan dulu ada

HayaNajma SPS said...

lamaa udah tuwa tapi belom nikah2 *Sewot

teknik sipil kalo ga salah sih

iqbal latif said...

belum nikah? ngapain pula disampaikan di sini..he he.. Dicarikan, lah! jangan sewot melulu..

HayaNajma SPS said...

hehe.. udah ada kok :D abisnya dia anak eyang satu2nya yang belum nikah.. kan kesian eyang :D

muslimah cerenz said...

"menikmati tahap demi tahapnya itu terkadang begitu penting"
kadang tidak semua orang mampu menikmati tahapan itu, bahkan cenderung kurang bersyukur

iqbal latif said...

@berberr...baguslah kalo begitu :)
@utizz...iya iya...kalau tak mampu melakukan itu, ia tak akan menjadi orang yg lebih saat berada di tahapan berikutnya

HayaNajma SPS said...

ya ampun, ternyata aku salah...amppuuun... :D om-ku kan di malang ;p aku keingetnya stiker yang di kamar eyang, hehe.. maap yaak :D

iqbal latif said...

jiah... dmn? ub?

la yg d its sapa?

HayaNajma SPS said...

itenas kayaknya :D nggak tau juga :D nggak pernah nanya, hihi, maap, maap... :D

al fajr "fajar" said...

lagi sma juga aku gi ning jogja......

ga mbayangke ning cilik ning kutho.. ra iso penekan..hahaha

iqbal latif said...

penekan? isolah! penekan nang bus...ha ha

khaleeda killuminati said...

*menikmati proses

iqbal latif said...

baru inputan? apa sudah mw outputan?

ho ho