Monday, February 14, 2011

pergi, tapi tak kemana-mana

“kau mau kemana?”, aku lupa apakah aku mengatakan pernyataan itu saat kau menjawab dengan kalimat singkat ini: “tak kemana-mana, hanya pergi”. Tak ada emosi, tapi aku masih aneh saja dengan pernyataanmu itu, sebab pada kata pergi, aku membayangkan akan ada ransel yang penuh bawaan, ada langkah-langkah menjauh, mungkin juga ada seseorang lain yang berdiri terpaku di beranda sambil menatap objek yang menjauh itu, lalu masih saja terpaku dengan menggigit bibir kala yang dipandang telah menghilang di sebuah tikungan. Tapi kata ‘tak kemana-mana’ menyertai kata ‘pergi’ adalah hal baru. Hal baru yang mungkin tak terlalu cepat aku serap lewat otakku yang mungkin kian melambat. “Kau perlu sesekali main sudoku, Kawan”, demikian katamu dulu sambil menepuk bahuku.

“Tapi kemana?”. Aku terkaget juga dengan kalimat tanyaku itu. Aku memang seringkali mengulang kalimat yang sama kala belum mampu memahami sesuatu. Itu juga yang sering kau katakan dulu. Tapi kau diam. Menatapku, tapi tak mengeluarkan kalimat yang sama untuk pertanyaan samaku itu. Saat seperti ini, harusnya aku mengganti pertanyaan itu dengan pertanyaan lain seperti saat Hajar mengganti pertanyaannya kala Ibrahim tak juga berkata-kata dengan sebuah jawaban untuk pertanyaan awal. Tapi aku masih kesulitan mencari pengganti ‘apakah ini perintah Allah?’ seperti redaksional Hajar pada Ibrahim. Beberapa waktu membisu, sampai kata-kata itu mencuat dengan sendirinya: “apakah ini untuk kebaikan—mu”. Tak jelek-jelek amat pertanyaan itu, meski aku ragu menyematkan ‘mu’ di akhirnya. Seperti peristiwa bersejarah ribuan lampau itu, aku tentunya mengharap kata ‘iya’ pada pertanyaanku itu. Tapi, harapku tak benar-benar tepat. “semoga”, sebab demikian lah katamu kemudian. Sama-sama satu kata, tak bersesuai dengan harapku, tapi ajaibnya membuatku lebih menyukai pilihan katamu. Kau memang selalu selangkah lebih maju dalam memilih kata yang sesuai. Kata ‘semoga’, aku tahu melingkupi keinginan dan kepasrahan. Kolaborasi yang mau tak mau memaksaku menyukainya . Ah, dalam hal ini, kau memang kerap memaksaku menyukai pikiran-pikiranmu. Keterpaksaan, yang ajaibnya, sekali lagi, terasa menyenangkan.

“tapi monumen-monumen kenangan, tempat aku membekukan waktu, tak akan aku bubarkan. Mungkin juga tak akan pernah. Kau tak perlu mematok nisan di sana. Meski boleh saja kalau hanya sekedar ingin mengelap debu yang melekatinya”. Sekali lagi, sepertinya aku belum benar-benar selesai dengan kalimatmu sebelumnya, dan kau telah menyodorinya dengan yang baru. Dahiku berkerut, mencoba memamah kata-katamu. Sudah bertahun-tahu aku mengenalmu, tapi tetap saja aku masih menemukan hal baru meluncur darimu. Keadaan yang menimbulkan kesadaran, bahwa akan perlu sepanjang usia periode perkenalan itu. Pembohong orang yang mengatakan kalau ia telah mengenal seseorang dengan baik. Segalanya.Sebab nyatanya, ia hanya memaklumi, atau memberi sebuah ruang penerimaan yang lapang, atau menyediakan bertakhingga stok pemahaman, untuk tiap kejutan dari orang yang ia pikir ia kenali betul itu. itu lah mungkin yang juga aku coba terapkan padamu, juga kau padaku. Maka aku tak heran kala kau menyambung katamu-katamu yang bersayap itu.

“tapi jangan khawatir, --meski aku tak berbicara tentang sebuah kepastian-- aku akan kembali. Meski aku tak kemana-mana, tapi aku akan kembali. Memastikan apakah kau benar-benar membersihkan debu itu. Ataukah membiarkan tiap-tiap lapisnya menandai usia ‘tak kemana-mana’-ku itu”. Ya, seperti yang dulu-dulu, kau akan segera meneruskan kalimatmu, kala melihat aku sudah tak tak mampu menyamai frekuensimu. Yang diperlukan sekarang hanyalah mendengar. Mendengar kau berkata-kata. Kadang yang diperlukan memang hanya mendengar, tak harus mengerti, sambil sesekali mencatat. Catatan yang misterinya kadang terpecahkan waktu. Aku sering tersenyum sendiri kala kesadaran itu muncul.

“Sebab untuk menjernihkan air yang keruh, ada dua cara. Yang pertama kau diamkan saja hingga mengendap. Yang kedua kau alirkan saja. Lebih baik lambat. Lalu biarkan tiap tikungannya, tiap benturannya, satu demi satu, menggagalkan tersuspensinya padatan, lalu tertinggal-----. Seseorang seringkali memilih salah satunya, tapi aku, memilih keduanya, kawan!”

“tidak! Kau masih bisa menyaringnya, kau masih bisa menguapkannya,” ajaibnya aku, aku selalu nyambung saat kau ajak berdiskusi yang ilmiah.
Kau menggeleng. Dua kali ke kanan, dua kali ke kiri. “tidak, itu terlalu instan.” Lalu diam, aku diam.


mungkin lebih baik kita berpisah sementara, sejenak saja
menjadi kepompong dan menyendiri
berdiri malam-malam, bersujud dalam-dalam
bertafakur bersama iman yang menerangi hati
hingga tiba waktunya menjadi kupu-kupu yang terbang menari
melantun di antara bunga, memberi keindahan pada dunia

lalu dengan rindu kita kembali ke dalam dekapan ukhuwah
mengambil cinta dari langit dan menebarkannya di bumi
dgn persaudaraan suci; sebening prasangka; selembut nurani,
sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji
(DDU)


9 comments:

desi puspitasari said...

Aku nggak suka jurnal ini

*manjat genteng, membik-membik

anas isnaeni said...

bagian tentang DDU itu memang mencerahkan... mungkin memang perlu saatnya jadi kepompong.... karena kita terlalu bermindset untuk selalu dekat, padahal dekat tak selamanya menjadi bermakna...

BoLung Udung said...

Aku sering melakukan ini...
Dan kini, aku ingin melakukannya kembali...

Salman Rafan Ghazi said...

ini apa sih, Bal?

Sukma Danti said...

Memangny mau pergi kemana sih?

emilf f said...

pergi kemana aja deh yuk....

akuAi Semangka said...

kemana atau ke mana? :D

hmm.. terkadang (atau seringkali?), yang instant itu memang nggak baik yaa..

Lani Imtihani said...

bertakhingga..agak ganjil dg pilihan kata ini.
..

Heu..diawal agak membingungkan,tp belakangan mulai bs mengikuti..

muhamad jumhur said...

dalam sekali makna nya...