Monday, February 28, 2011

-surat buat bapak-

Pak, bolehkan aku buka surat panjangku ini dengan sebuah kalimata tanya. Tak terlalu sulit. ‘bagaimanakah mengetahui bentuk cinta seorang ayah?’. Ah, tidak, Pak! Tidak! Sama sekali bukan karena aku meragukan rasa cintamu. Orang-orang , bahkan aku, yakin sekali kalau kalian, termasuk kau, memiliki sebuah rasa cinta tersendiri, yang unik. Hanya, karena tak berbentuk, lebih sering tak kentara, dan diam-diam itu lah membuatku terkadang sulit memahami, atau tak terlalu merasakan kehadirannya, atau bahkan meniadakannya.

Berbeda dengan seorang ibu, Pak! Pada seorang ibu, aku akan dengan mudah menemukan rasa cinta itu mewujud dalam bentuk-bentuk yang bisa kuindera. Pada pegangan tangannya kala aku menjabat dan mencium tangannya, pada tatapan khasnya, serta pada ekpresi tubuh lain yang akan dengan mudah aku sadari kalau itu adalah sebentuk cinta. Aku juga menangkap rasa cinta itu mewujud lewat rasa gusarnya kala kami tak jua datang ke rumah kala hujan berpetir menderas-menggelegar di luaran. Atau lewat bagaimana ia mulai mempersiapkan masakan teristimewa di hari kepulanganku yang jarang. Tapi kau, Pak? Aku masih harus meraba-raba dengan cara paling teliti untuk menemukan dimanakah rasa cinta itu terselip pada tatapan datarmu padaku bahkan di detik pertama kita bertukar pandang setelah berbulan-bulan. Sebab, seperti yang kusebut dengan datar tadi, tak kutemukan gurat wajah yang ekspresif, atau rasa rindu yang mencuat terlampiaskan, atau sebuah kalimat khas yang panjang beranak pinak karena telah berbulan-bulan tergumpalkan dalam benak.

Apa yang salah? Tentu saja tak ada yang salah, Pak. Karena tiap manusia itu unik, sungguh tak adil untuk membandingkanmu dengan ibu. Bahkan juga tetap tak adil untuk membandingkanmu dengan ayah-ayah yang lain. Kau adalah dirimu sendiri yang berbeda dengan siapapun di dunia ini. Kau adalah kau. Maka aku harus bisa memahamimu, Pak, sebagai dirimu sendiri. Bukan sebagai orang lain, bukan sebagai ayah orang lain. Sebuah usaha yang aku upayakan terus berlangsung, yang aku harapkan menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa kau mencintai kami dengan caramu sendiri. Dengan cara yang mungkin paling rahasia. Yang karena begitu rahasianya itu, hanya kau sendiri yang mungkin mengerti betul lewat bentuk apakah itu mewujud. Maka aku mungkin pernah mengeluh, karena kekurangtahuan itu. Mengeluh atas sikapmu yang bagiku terasa mengekang. Padahal, bisa saja itu adalah caramu membahasakan cinta.

Aku jadi berpikir, Pak. Apakah memang selalu begitu cara lelaki menjadi orang tua? Seperti itu kah gambaran ayah pada umumnya. Tentu saja aku sedang berbicara tentang ayah-ayah seusia Bapak, atau sedikit lebih muda dari bapak. Sebab aku sering membaca, Pak. Aku kerap kali membaca tentang anak yang bercerita tentang ayahnya. Dan, yang membuat aku begitu dekat dengan cerita itu, gambaran ayah yang diceritakan sungguh mirip dengan gambaranmu. Seorang ayah yang tak terlalu hangat, seorang ayah yang tidak banyak kata, seorang ayah yang terlihat datar. Tapi, Pak, yang membuat aku bahagia, anak-anak yang bercerita tentang bapaknya yang terkesan kaku itu, mengaku kalau mereka mencintai apa-adanya bapaknya itu. Ah, aku ingin seperti itu, Pak. Biarpun perasaan itu mungkin datang terlambat, biarpun perasan itu baru benderang muncul kala aku telah membesar. Sebab kesadaran itu juga lambat, atau bahkan teramat terlambat. Dulu, di masa kecilku, mungkin bukan kau yang kupanggil dulu ketika aku sakit. Bukan kau! Tapi, ah, aku baru menyadari, mungkin kau yang kemudian pontang-panting membelikan ini itu terkait sakitku itu.

Semuanya tentang kesadaran, Pak. Untuk mengetahui cinta seorang ibu, aku tinggal menangkapnya. Perasaannya terpapar begitu gamblang hingga tak perlu berumit-rumit untuk mengetahui kalau itu adalah rasa cinta. Tapi tentang perasanmu, Pak, ternyata butuh waktu yang lama untuk memahamkanku bahwa yang kau lakukan adalah keluarbiasaan lain yang tak kalah mengagumkan dengan yang dilakukan ibu. Aku ingat. Aku ingat kau yang marah ketika aku memutuskan berhenti dari sekolah madrasah dulu. Bukan inginku sebenarnya. Waktu itu aku sakit hingga keterusan tak masuk sekolah. Aku masih ingat perkataanmu dengan suara sedikit keras: “mau jadi apa keluar dari madrasah?”. Ah, itu mungkin marahmu yang pertama yang begitu besar aku terima. Aku mengkeret, mungkin merutuki kemarahanmu. Tapi hari ini, aku bersyukur kau melakukan itu. Kau mungkin tak memilki ilmu psikologi perkembangan anak hingga kurang begitu paham bagaimana hal terbaik yang bisa dilakukan saat menghadapi kebandelan anak. Tapi aku sadar, itu lah hal terbaik dalam pikiranmu untuk mengatasi keadaan itu. Aku sadar, Pak. Aku sadar apa yang membayang di pikiranmu kala anak laki-laki kelimamu ini, anak yang telah dititipkan Allah untuk kau didik, memutuskan untuk berhenti dari belajar agama. Maka ‘mau jadi apa’ yang kau pertanyakan adalah sebuah ketakutan yang menghantuimu tentang akan jadi apa anaknya ini. Akan amanah yang terlanggar, akan tanggungjawab yang terhempas. Aku membayangkan kini, bagaimana bergetarnya seorang ayah kala di satu sisi sebenarnya ia ingin menggendong-membelai, tapi di sisi lain ia harus bertindak tegas untuk menegakkan disiplin. Mungkin begitulah kau kala itu, Pak. Mungkin.

Ah, aku hanya menduga-duga, Pak. Sebab, sampai saat ini, rasa-rasanya kita tak pernah berbicara yang murni dari hati ke hati. Kita memang dekat, tapi kita bukanlah dua pribadi yang melekat. Kita memang sering duduk bersama tak berjarak, tapi rasa-rasanya tak pernah ada momen aku bergelanjutan manja di pundakmu. Itu yang kuingat. Entah ketika aku masih kecil di mana memoriku sudah tak mampu lagi melacaknya. Tapi aku tak pernah mempermasalahkannya. Tidak juga dulu. Sebab memang lingkungan waktu itu lebih banyak begitu. Kelak, ketika aku mengetahui lebih banyak hal, tentang gambaran ayah ideal yang dipaparkan dalam buku-buku, ketika aku melihat ayah-ayah lain yang terlihat begitu luar biasa, aku telah berhenti pada taraf ‘aku akan menjadi seperti itu’, bukan ‘seandainya bapak dulu seperti itu’. Aku telah menerima atas semua yang kau persembahkan. Dan aku tahu, sebuah penerimaan akan membukakan mataku tentang taburan-taburan kebaikanmu yang selama ini terkaburkan.

Maka di sinilah aku, Pak. Jika Ikal mampu berseru lantang kalau ayahnya adalah ayah juara satu seluruh dunia, maka aku juga ingin berseru hal yang sama; “Bapakku, bapak juara satu sedunia”. Terserah! Terserah bila mereka mengatakan kalau kau bukanlah bapak yang romantis, tapi aku tahu, kau adalah bapak yang siap ketika kami membutuhkan ketangguhanmu. Kau memang tak mengantarkanku tidur dengan dongeng-dongeng atau belaian mesra di punggung, tapi kau adalah bapak yang diam-diam siap mengayuh sepeda tuamu ketika kami merengek minta dibelikan buku. Kau memang tak menemaniku mengerjakan PR seraya menanyaiku persoalan pribadi, tapi kau seringkali menjadi orang tua pertama yang menghadiri pengambilan raporku. Kau memang tak melakukan yang ayah ideal lain lakukan, tapi kau, aku tahu, melakukan yang terbaik yang mampu kau lakukan.

Cukup ini dulu, Pak. Aku tahu Bapak tak akan pernah membacanya, tapi aku berharap, Allah membisikkanya ke telinga Bapak dengan caraNya sendiri. Dengan cara yang lembut. Dengan cara yang santun.


37 comments:

Lolly aja said...

Belajar dari Bapak, besok kalo udah jadi Bapak, jangan bikin anak lelakinya bertanya seperti ini lagi yaaa...:)

akuAi Semangka said...

akan jadi berbeda kalau yang menulis surat ini adalah seorang putri untuk bapaknya.

Kumpulkan surat2 yglain, jadikan buku lalu hadiahkan utk bapakmu..

iqbal latif said...

he he..oke.

ntar sering2 diajak diskusi :)

iqbal latif said...

bedanya bagaimana, ai?
nah, mungkin dirimu bisa membuatnya

akuAi Semangka said...

ini sotoy2-anku aja sih. tapi sepertinya, anak perempuan mudah untuk memunculkan kedekatan dengan ayahnya. ayah yang jarang di rumah sedang dengan ibu (yang berprofesi sbg IRT) lebih sering bertemu.. jadi, ketika ayah pulang kerja, maka menjadi terlunasi rindu yg berlipat2 itu. tak sungkan untuk memeluknya, bermanja2 padanya..

ayah selalu lebih disuka oleh anak putrinya, terutama karena biasanya ia lebih loyal untuk ngasih jajan, beliin baju. hehe.. beda dengan ibu yang harus mikir2, hitung sana sini kalau mau membelanjakan uangnya..

tapi kalo diamati, perlakuan ayah ke abang2ku juga mirip2 seperti dirimu. lebih kaku. seolah ada jarak. mungkin terkait karakter yang ingin dibangun untuk anaknya kelak. lelaki itu harus mandiri. lelaki itu harus kuat. *sotoy lagi. hee..

kurasa, ini hanya masalah peran ayah dan ibu yang perlu juga dimengerti oleh anaknya. agar tak menyesal ketika besar nanti. :D

akuAi Semangka said...

weleh, jadi panjang gini...

oya, aku ga jago bikin surat2an gitu. 100 kata ayah pun belum dilanjutkan..

Zoy Sutedja Arum said...

Aku baru baca judulnya aja koq..

sf.lussy dwiutami said...

Berbahagialah atas segala cerita yang terhimpun hasil interaksi dengan ayah, apapun itu rasanya.

*karena saya tidak pernah sempat untuk merasakannya

HayaNajma SPS said...

bapakku mah keliatan kalo sayang :D

Sukma Danti said...

duh panjangnyaa... *kriyip2*

iqbal latif said...

mungkin sih.. Secara kami semua lakilaki..ha ha

btw, sepertinya ini komen terpanjangmu di postinganku..

iqbal latif said...

100 kata ayah itu apa? program apa lagi itu?

iqbal latif said...

besokbesok isnya ya? :)

iqbal latif said...

he he...ya ya ya..sip!

iqbal latif said...

kelihatan dimana?

:p

iqbal latif said...

sdh nulisnya pendek2, eh sukanya mbaca yg pendek2 pula.. :p

rifi zahra said...

Apa mas iqbal pernah bilang cinta/sayang ke bapak?

rifi zahra said...

Eh, maaf ya mas klo pertanyaannya kurang berkenan...

Sukma Danti said...

Ssstt... jangan buka kartu di sini :'> :'> :'>

*tpi iyae, aku suka baca tulisan2 pendek yg to the point, soalnya ak orangnya agak susah diajak ngomong "muter-muter". hhehe curcol :))

iqbal latif said...

pernah tak tulis nggak ini, ya? tapi kayake sdh tersirat dih tulisan ini deh..he he

(jawaban yg mengajak penanya berpikir juga )

iqbal latif said...

nggak bisa! pokoknya rifi kudu tanggung jawab

:D

(aduh, biasa saja, kok!)

iqbal latif said...

aku nggak suka main kartu, kok...

jadi ntar kalau punya suami sukanya yg gini, ya:

"lapar, nih. ambilkan makan,ya!"
"hari ini pulang terlambat. ada meeting. Ada pertanyaan?"

Sukma Danti said...

wahahaha... cool amat!! :D :D :D

maksudku, gak gtu kali :D
kan orang kadang klo nomong langsung gak enak tuh, makana diputer2 dulu mnkn biar akunya bs nerima, padahal aku lbih suka omongan 2 de point, jelas.

iqbal latif said...

kalo ngomong beda lah sama tulisan...

tapi harusnya sih memang perlu pendahuluan apaapa itu...

Teguh Rasyid said...

kangen bapak jadinya.. :)

iqbal latif said...

semoga dapat tertuntaskan segera rindunya

Sukma Danti said...

Oh gitukah, yowes manut... :D

bedo persepsi mesthi nek lanang ro wadhon :D

Teguh Rasyid said...

dengan doa.. :)

iqbal latif said...

he he...baguslah!

HayaNajma SPS said...

kayak yang di sini http://berry89.multiply.com/journal/item/274/Kenapa_Ibu_Galak_Sekali

Pemikir Ulung said...

:D

iqbal latif said...

Tawa kemenanganmu sdh kutunggu

Pemikir Ulung said...

sungguh asisten yang baik, menunggu tawa bosnya, haha

iqbal latif said...

Kalo bgtu waktunya gajian dong..

Pemikir Ulung said...

belom ada kerja sehari bal..asisten macam apa ini :p

iqbal latif said...

Jangan tunggu keringatnya mengering, di.

Pemikir Ulung said...

akadnya belom jelas nih, di tempat lain aja kamu belum mengakui ko