Tuesday, May 3, 2011

(bukan resensi): Sketsa - Ari Nur

Pernah suatu kali, seorang kawan  mengatakan tentang ketidaksukaannya terhadap sebuah novel yang memaparkan kehidupan sebuah rumah tangga yang awalnya baik-baik saja, kemudian rusak atau terguncang oleh suatu sebab. Entah, saya agak-agak lupa alasannya mengapa ia mempunyai sikap itu. Mungkin karena ia terlalu merasainya, hingga merasa keberatan jika sebuah kebahagiaan yang sudah terpampang itu, meski tergoncangkan. Atau ia merasa itu adalah sebuah stimulus yang tak terlalu positif, hingga menimbulkan kecemasan. Saat itu ia sedang membicarakan novel ‘Dilatasi Memori’ dan ‘Istana Kedua’. Saya sedang menanyainya tentang novel ‘Istana Kedua’ yang baru saja ia pinjam dari saya. Ini adalah kebiasaan lama, menanyai teman yang baru meminjam buku tentang buku yang ia pinjam itu.

Bagi anda pecinta buku pasti paham isi kedua buku itu. Dilatasi Memori menggambarkan sebuah keluarga kecil bahagia dengan satu orang anak yang menjadi goncang dengan kehadiran orang ketiga. Sedang istana kedua, lebih ekstrem lagi, menceritakan kehidupan sebuah keluarga dengan beberapa anak, bahkan boleh dikatakan sebagai keluarga dakwah, yang tiba-tiba terguncang hebat kala sang istri menyadari akan adanya istana lain bagi si suami.

Mendapatkan penjelasan tentang ketaksukaan ini, tentu saja membuat saya berpikir sejenak. Pasalnya, saya sama sekali tak memasukkan unsur itu dalam variabel yang menentukan suka tidaknya saya terhadap sebuah buku. Menurut saya, dilatasi maupun istana adalah buku bagus. Terlepas dengan ceritanya yang bermula dari sebuah kebahagiaan yang tiba-tiba goyah. Toh, pada akhirnya ada penyelesaiannya, atau minimal ada penjelasan baiknya. Mungkin karena saya lebih sering melihat sebuah buku dari bagaimana ceritanya dipaparkan kepada kita.

Tapi memang tak selamanya itu. Saya tak suka terhadap sebuah buku yang menampilkan tokoh utama secara sadar berlaku buruk tanpa ia sesali sekalipun. Bukan sebuah tampilan buruk yang berguna untuk membangun cerita, agar pada akhirnya diambil hikmah. Tapi sebuah kebiasaan buruk, ataulah tak baik, yang ditampilkan si tokoh utama secara vulgar dan sadar, tanpa ada pembahasaan kalau itu sebenarnya tak baik. Ketaksukaan ini, memang tak serta merta membuat saya tak suka secara overall  pada cerita sebuah buku.

Okelah, anda mungkin dapat berkilah bahwa kita adalah pembaca bijak yang sudah tahu mana yang baik mana yang buruk. Bahwa kita memiliki daya saring yang kuat yang mampu menyaring mana yang mesti ditelan, mana tidak.  Tapi bagi saya yang inginnya memiliki semua buku yang saya senangi, hal ini menjadi cerita lain. Sebab nantinya buku-buku itu tak hanya dibaca oleh saya. Tapi juga oleh teman-teman saya, oleh keluarga saya, oleh anak-anak saya. Jika ada ketakbaikan dalam buku itu yang ditangkap si peminjam dan kemudian ia mengimplementasikannya, sedikit banyak saya punya andil dalam ketakbaikan itu.

Maka ketika membaca novel Sketsa karangan Ari Nur Utami ini, ada kernyitan di dahi. Ada rasa ketaksetujuan tentang bagaimana penulis menjadikan si ini begini, si itu begitu, meski itu juga tak mengurangi ketertarikan saya untuk terus melembarinya. Mungkin karena pikiran saya sudah tertutupi oleh sosok Rani dalam serial Diorama, hingga mengharapkan sosok Katarina –tokoh tama dalam novel sketsa ini- tak jauh beda dengannya.

Bercerita tentang seorang arsitek bernama Katarina yang mendapati karya arsitekturnya dicuri sebuah perusahaan ternama, tak bisa dipungkiri novel ini berhasil mengikat antusiasme saya untuk berusaha segera menyelesaikannya. Dunia arsitektur yang ditawarkan di novel ini adalah sebuah hal yang baru dan segar sehingga cukup memberi stimulus yang baik bagi saya untuk terus membacanya. Istilah-istilah yang baru, latar yang baru, dunia yang baru, adalah kombinasi yang menyegarkan di tengah serbuah novel-novel dengan dunia yang itu-itu saja.

Hanya saja kemudian timbul ketaksetujuan. Satu persatu, sedkit demi sedikit. Tak terlalu tak setuju, sih, memang, tapi cukup memberi gangguan kecil. Berbicara tentang dunia kebanyakan, bukan sebuah lingkungan yang steril, mungkin saya mengharapkan sosok Katarina akan menjadi sosok yang se-imun Rani dalam serial Diorama. Tapi nyatanya tidak. Meski digambarkan kalau Katarina adalah seorang yang alim lewat pembicaraan rekan-rekan kerjanya yang doyan ngerumpi, tetap saja katarina orang kebanyakan  –mungkin ini baik juga, karena jika Katarina menjadi sosok yang begitu imun, cerita ini  bisa saja terkesan melangit. Di novel ini bahkan penulis sepertinya sedikit menyembunyikan tampilan Katarina. Entah karena menyadari kalau novel ini tak seislami novel-novelnya yang sebelumnya, atau entah karena alasan yang lain. Kalau saya tak salah, sepertinya penggambaran kalau Katarina adalah perempuan berjilbab disampaikan secara tak lugas di awal-awal. Di halaman terakhir saja penggambaran itu dinyatakan secara jelas.

Ketaksukaan pertama adalah kala ada bibit suka yang terkesan dipelihara dalam diri Katarina pada  Edwin, sang direktur keuangan muda yang seorang Cina. Pasalnya apa? Sebab ia sudah berkeluarga, sebab ia sudah mempunyai seorang suami. Meski tak terlalu membahagiakan memang pernikahan itu. Meski sosok Andri, suaminya, bukanlah sosok yang seperhatian seperti di awal pernikahan. Tapi, ah, Ya Tuhan, jangan sampai ada cerita si tokoh utama mengakhiri rumah tangganya hanya karena adanya rasa suka pada orang ketiga.

Cinta..cinta..cinta.. Ini kemudian ketaksukaan kedua. Saya sih suka-suka saja asalkan tak berlebihan. Tapi bagi saya di novel ini terasa berlebihan. Sepertinya banyak sekali cerita tentang jatuh cinta. Baik menimpa tokoh utamanya, maupun figuran. Penggambaran tentang bagaimana Katarina merasakan ada sesuatu semacam rasa suka pada Edwin, dan sebaliknya, bagi saya agak berlebihan. Tentang rasa rindu, cemas, dan sejenisnya. Oke, mungkin memang ada rasa cinta semacam itu. Tapi bukankah mereka sudah sama-sama dewasa? Entahlah! Mungkin saya yang kurang pengetahuan tentang hal ini.

Tapi tenang saja, ini novel bagus, kok. Minimal bagi saya. Jarang-jarang saya mau ngelembur  sampai larut malam untuk membaca sebuah novel. Bahkan angka tiga hari untuk menyelesaikan buku setebal 400an halaman ini, bagi saya adalah sebuah rekor baru, minimal untuk dua tahun belakangan ini. Ada rasa penasaran tiap kali menyelesaikan satu bab, menginginkan membaca bab lanjutannya. Konflik bergantian, antara konflik pribadi dengan konflik pekerjaan. Atau bahkan saling menghimpit dan bertindih. Anda akan disuguhi dunia properti dan arsitektur yang mungkin asing bagi kebanyakan.

Jadi novel ini bercerita tentang apa? Jawabannya pastinya bukan tentang dunia arsitektur, sebab itu hanyalah latarnya. Yang benar, versi saya, ini novel tentang Katarina dan Edwin. Tentang seorang arsitek dari sebuah biro kecil  yang mendapati karya arsitekturnya dicuri perusahaan ternama  dan tiba-tiba sudah berdiri megah dan mendapatkan penghargaan. Lalu, memutuskan untuk masuk dalam perusahaan itu, berniat untuk menyelidiki, berniat untuk menghancurkan dari dalam. Lalu bertemulah ia dengan Edwin. Lalu akan banyak kemungkinan dari sana.

Tertarik? Silakan langsung hubungi penulisnya. 69 ribu saja, langsung terkirim ke seluruh indonesia. (aturan ini benar-benar menguntungkan bagi orang pedalaman macam saya)

41 comments:

AtieQ Savitri said...

Jd berlatar perselingkuhan gt?

APRILLIA EKASARI said...

belum baca bukunya...
kasi foto donk mbak :D

APRILLIA EKASARI said...

hihi aku kasi "mbak"
sorry sorry mas ^_^V
jelas-jelas namanya Iqbal hahaha

iqbal latif said...

@atik... G seperti it, kok (dan sy tak mengatakan seperti it, bkn?). Meski tak sebaik rani, katarina d novel ini seorang yg punya prinsip kok

iqbal latif said...

Eh, td buru2. Kburu pulang. Jd blm ngasih foto. Lg pula d google msh jarang

Leila Niwanda said...

Beberapa kali dapat promonya lewat hp.... tapi belum jadi beli.

Yang jelas, buat saya ada yang berbeda ketika penulis sudah (pernah) mencitrakan diri sebagai penghasil tulisan islami lalu di buku berikutnya terkesan terlalu jauh berbeda. Lain lagi kasusnya kalau dari awal memang, ngng.... sekuler? (habis baca novel di mana tokohnya rajin berdoa tapi saat merayakan sesuatu minumnya wine)

iqbal latif said...

Iya, memang, ya. Terasa beda. D novel ini memang orangnya dibuat kbnyakan. Dunia profesional orang2 jakarta. Meski, mb ari nur menyisipkan nilai2 islami dalam narasinya. Satu dua juga tersisipkan lewat dialog tokohnya. Jd kayak gmana gt saat membca ada fragmen saat tokoh perempuannya sekamar dg tokoh pria..

Beli saja! Hehe. It sdh tmasuk ongkir

shofie syamwiel said...

apik ta bal? aku kok belum tertarik buat hunting bukune ari nur maneh ya? lagi tergila-gila sama tereliye...:D

iqbal latif said...

Nggak perlu dihunting. Tinggal dipesan. Tere ly wes komplit

rifi zahra said...

Can't wait to read...

iqbal latif said...

Sudah pesan kah, rifi?

Tlsn ini bs jd untk janji yg kmarin, kan?

rifi zahra said...

Sudah, tinggal menunggu paketnya.
Ya, terima kasih mas.

Oia, apa mas pernah baca novelnya mba ifa afianty?

iqbal latif said...

Kayake pernah. Skali saja. Terlalu ringan, sih, menurutku. Gtw yg baru2

iqbal latif said...

Knp, rif?

rifi zahra said...

Gpp...pengen tau aja pendapat mas iq.
Aku sudah perkirakan pendapat mas akan sprti itu :D

HayaNajma SPS said...

mmm... prioritasnya turun..

iqbal latif said...

@rifi...kalau gsalah bukunya mb ifa yg sdh kubca it judule 'alena'. Makanya g terlalu tertarik sm buku2 mb ifa yg lain stelah it.. Sy tipe pembc yg kalo sdh cocok dg seorang pnulis, akan cendrung memburu buku2nya

iqbal latif said...

@berber..knp? Bgz, kok

rifi zahra said...

Ya, alena memang kurang menarik menurutku juga

antung apriana said...

jujur selama membaca novel ini saya merasa kayak orang buta, mengingat tak pernah dijelaskan secara detail tentang fisik dari si katrin ini. entah usianya atau penampilan sehari-harinya. jadinya ga bisa benar-benar masuk ke ceritanya

iqbal latif said...

@rifi...kalo nvlnya yg baru2 memang bgamana, rif?
@yana...iya. Sepertinya memang tak pernah ada deskripsi tentang katarina. Tentang fisiknya, tentang pakaiannya. Ptama tw kalo dia pakai jilbb lewat perckpn orang2 kntrnya, itu pun nggantung: 'eh, dia, kan, pakai...'

HayaNajma SPS said...

bagus, tapi kalau budget minim kan harus memilih yang paling menarik di antara yang menarik...

karena ternyata arsitekturnya nggak menonjol

iqbal latif said...

Kok tw kalo tak menonjol?

HayaNajma SPS said...

lah katanya hanya latar..

iqbal latif said...

Lah emang. Tp bkn berarti tak menonjol, kan?

akuAi Semangka said...

gaya berceritanya Ari Nur dan Ifa Avianty tuh menurutku mirip. Mengalir. Meski ceritanya kadang agak2 sinetron, tapi membuat pembacanya ingin menuntaskannya. Kalo ga sibuk, mungkin bisa tuntas dibaca sekali duduk.

rifi zahra said...

@ ai : hehehe...mirip ya ai? Aku suka novel2nya mba ifa yg ringan, enak dibaca kalau lagi senggang dan ngga pengen baca yg berat2. Kmrn aku ngabisin FriendLoveShip-nya mba ifa +- 400hlm kurang dr 24 jam.

@ mas iq : yg jelas bukan tipe tulisannya mas iqbal :D

akuAi Semangka said...

sebenernya itu kesimpulan dr data yg minim banget. :D
Cuma baca karya Ari Nur yg Diorama Sepasang Albana. Trus kubandingkan dgn FOL-nya mba ifa. Mirip dalam hal mampu mengikat pembaca untuk nggak meninggalkan buku itu.

Aku baca FOL cuma 3,5jam. Hoho.. FriendLoveShip blum baca. Malah baca kumcer lamanya mba ifa..

iqbal latif said...

masak? aku bc alena ringan banget.... nyinetron (aku gpp sih meski nyinetron asal penuturannya oke)... karena kesan pertama yg kurang it makanya g terterik nyari tulisannya yg lain

iqbal latif said...

nah, it...aku bc alena it memang pas senggng... Selingan...
novel ringan tuh kesan yg didapat kurang, pas mengkhatamkannya...

berbeda kayak 9 dr nadira atau rahasa meede

iqbal latif said...

uow..mirip dlm hal ini...
bkn gaya penceritaan, kan?

ada memang novel yg tak terlalu suka tp ceritanya tetap bikin penasaran...


coba bc bukunya mb afra yg de liefde atau mb sinta, it jg bikin penasaran... tp lbh oke

akuAi Semangka said...

bukan. Hanya mengalir aja. Utk gaya bercerita jelas beda. Kayaknya cuma baca bukunya afifah afra yg jadul, lupa juga gimana gayanya. Kalo buku sinta yg terakhir dibaca itu existere. Detail banget. Tapi emang bikin penasaran sih.

iqbal latif said...

Kalo bc yg dulu beda kayake. Mb afra skrg smakin matang. Hoho..
Diksinya oke..

iqbal latif said...

Kalo bc yg dulu beda kayake. Mb afra skrg smakin matang. Hoho..
Diksinya oke..

rifi zahra said...

Terakhir baca bukunya mba afra yg de winst, ga terlalu berkesan... Tapi diksinya emang bagus, mas.

iqbal latif said...

lanjutannya itu ada de liefde.. menurutku lbh bagus dr yg pertama..

suka sama kaver de winste...

Lani Imtihani said...

Haha..aku juga ga terlalu suka dua novel yg disebut di awal.. :D

iqbal latif said...

Aku sukasuka saja

wafa syahidah said...

novelnya kereeeen bangeeet....

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

Setuju sama komentarnya mba Leila, Mba Yana, dan Mas Iqbal. Sempat saya heran setelah membaca novel ini. Saya katakan sangat berbeda, tapi rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Mungkin karena saya terlalu berkaca pada novel diorama dan dilatasi. Tapi rasa-rasanya, seolah ada sesuatu tidak konsisten.

Oya, salam kenal sebelumnya.. Silakan kalau mau mampir blog saya.. Kritik dan saran selalu saya tunggu.. ^_^

pandanwangi156.wordpress.com