Friday, May 13, 2011

titik-titik rawan

Harusnya memang bukan titik. Sebab yang namanya titik itu sa'tul saja. Sesaat. Hingga sulit untuk tercapai dengan tepat. Tapi periode! Sebab dalam periode ada sebuah rentang waktu, sehingga lebih masuk akal untuk bisa tercapai, atau terasakan.

Periode-periode rawan. Saya mengenal bahasan ini bertahun yang lalu ketika belum satupun yang dibahas di situ menimpa saya. Di sebuah milis organisasi kajian jurusan. Waktu itu, mengangguk-angguk membenarkan meski belum meyakini betul. Tidak diri sendiri yang merasai, sering kali memang membuat orang tidak benar-benar mengerti.

Rawan, adalah sebuah kondisi yang tidak aman. Atau paling tidak, mudah sekali mendapat gangguan. Jika di sebuah tikungan ada tulisan ‘hati hati, rawan kecelakaan’, pastinya memang tikungan itu adalah tikungan yang dianggap berbahaya oleh sebab banyaknya kecelakaan. Maka, jika ada pengendara yang melintasinya, dengan tak berhati-hati sesuai himbauan dalam tulisan itu, boleh jadi ia akan celaka. Selip, jatuh, atau amblas masuk jurang.

Begitulah! Tak terlalu analog. Tapi rawan yang dimaksud dalam tulisan ini boleh jadi seperti itu. Sebuah periode yang berbahaya, yang apabila kita tak berhati-hati, akan menyebabkan ‘celaka’. Stabilitas yang boleh jadi telah lama dibangun, amat mungkin menjadi roboh tak berbekas.

Baiklah, inilah periode-periode rawan itu:

1.    Lepas dari amanah-amanah formal.

Entah di kampus lain bagaimana, meski tak semuanya,  di kampus saya dulu, apabila mendekati tingkat empat perkuliahan, amanah-amanah di organisasi waktunya diletakkan untuk dilanjutkan penerus-penerus yang lebih muda. Ada yang kemudian mencari amanah-amanah lain di luar, tapi tak sedikit pula yang memilih tak mencarinya dengan dalih mengonsentrasikan diri menjemput tugas akhir. Yang pertama mungkin tak apa, sebab atomosfer yang sama masih setia menasehatinya. Tapi yang kedua, boleh jadi berbahaya. Ketika tak ada lagi sebuah amanah resmi yang mewajibkannya untuk syuro-- yang mengharuskannya bertemu dengan orang-orang yang dengan memandangnya saja membuatnya malu dengan tumpukan dosa, ketika pikiran tak lagi dipenuhi oleh strategi-strategi gemilang demi sebuah kebangkitan, ah, jalan menuju arah kebalikannya amat mungkin justru yang membuka lebar. Maka jangan kaget, ketika dulu kau lihat seorang yang begitu sibuk dengan agenda-agenda perbaikan, tiba-tiba terlihat cangkruan tak karuan. Boleh jadi ia adalah sebuah gelas yang belum sepenuhnya kokoh, yang terlalu lama terisi dengan air panas, tiba-tiba dengan tergesa diisi air dingin membekukan. Retaklah kemudian yang ada.

2.    Menyelesaikan Tugas Akhir

Semakin sibuk kita dengan aktivitas non-ruhiyah, maka harusnya semakin digenjotlah amal harian kita. Itu adalah nasehat yang dulu sering kali mampir di telinga. Satu hal yang berat, sebab logika dangkalnya memang tak begitu; bukankah semakin sibuknya seseorang, maka sedikit waktu untuk hal lain yang masih tersisa? Ya, memang, ketika menuruti kesibukan, bukankah waktu yang tersisa harusnya untuk istirahat, untuk melepaskan diri sejenak dari kesibukan. Jadi wajarlah jika amal harian menjadi berkurang, atau minimal stagnan. Tapi, ternyata, tidak begitu lahyang seharusnya! Ketika pekerjaan-pekerjaan datang silih berganti, ketika tuntutan-tuntutan seolah berkejaran tiada henti, maka di situlah sebenarnya kita akan mudah sekali kehilangan esensi. Ruhiyah menjadi kering, dan hanya menunggu waktu sampai ini terjadi; kematian hati. Maka jelas, yang diperlukan adalah menggenjot amalan harian. Sebab perlu usaha lebih untuk mengisi kembali ruhiyah yang kerontang akibat badai kesibukan.

Dan itu yang boleh jadi terjadi di waktu menyelesaikan tugas akhir ini. Ketika kesibukan meningkat, ketika tuntutan-tuntutan untuk cepat lulus itu datang bertubi-tubi, ketika waktu menjadi begitu berharga, maka berhati-hatilah! Sebab ada yang memaklumkan untuk tak lagi sholat berjamaah, mengurangi tilawah, dan menenggelamkan diri dalam aktivitas laboratorium yang tak kenal waktu. Sebuah kombinasi yang  ada itu justru mengarahkan diri pada satu hal; kebangkrutan hati.

3.    Lulus dan Sedang Mencari Kerja

Ini tak kalah penting. Inilah alasan mengapa kita mesti sudah tahu betul apa yang mesti kita lakukan saat lulus. Tentang perusahaan apa yang ingin dimasuki, tentang wirausaha apa yang ingin digeluti. Sebab tekanannya memang sungguh berat. Saat bulan-bulan telah berlalu, dan belum ada pekerjaan yang pas yang kau temu, segala hal yang seyogyanya biasa-biasa saja, tiba-tiba menjadi begitu sensitif dan menekan. Saat kepulangan yang harusnya menyenangkan, tiba-tiba menjadi berat oleh kekhawatiran bisik-bisik tetangga; “itu, tuh, S1 masih nganggur”. Bertemu adik tingkat pun begitu. Apalagi bertemu adik kelas yang rada-rada nggak sensitif; “sekarang ada dimana, mas?”. Belum lagi harapan-harapan keluarga.Belum lagi lulusan baru yang kembali menyerbu dunia pencari kerja.

Maka yang terjadi, jika tak benar-benar punya prinsip kokoh, menjadi serampangan lah kita. Idealisme luntur, perusahaan apapun dimasuki. Apapun dilakui. Bagi perempuan, ada tantangan tersendiri. Telah banyak kasus seorang akhwat yang dulu jilbabnya begitu lebar, setelah bekerja mengalami kenaikan yang drastis –dari selebar taplak menjadi sesempit sapu tangan. Tak jarang pula, seorang akhwat yang dulu kemana-mana bergamis, setelah bekerja harus menyamankan diri memakai wearpack dan memanjat-manjat tangga monyet di kebisingan pabrik.

4.    Mencari Pasangan Hidup

Aih, berat untuk membahas ini.


Begitulah, periode-periode rawan itu. Dan akan jauh lebih berbahaya ketika periode-periode itu berimpit atau saling menindih. Jadi, waspadalah!


#btw, kamu ada di periode mana?

36 comments:

iqbal latif said...

aduh, kayake aku jarang2 mbahas tema begini

Sukma Danti said...

Hahah, keempat2nya! :">

iqbal latif said...

wah..statuse berarti amat sangat gawat

;D

Sukma Danti said...

Hahah, ho'o kiy... *Btw quote-ny panjang amat... :D

iqbal latif said...

sudah nggak, tuh!

Sukma Danti said...

Iyela... Diedit... --"

iqbal latif said...

he he

yasir burhani said...

haha dah lewat...
eh mksd sy ada sebagian titik sy tidk lewati .
bkn mntan org kampusan :D

iqbal latif said...

baguslah ;)

bagaimana Bontangnya? tal jadi?

yasir burhani said...

Qadarullah maa sya-a fa'ala.
Ga jadi, mudah2an di lain kesempatan. :)

iqbal latif said...

oke, mudah2an keputusan yg memang tepat ;)

HayaNajma SPS said...

:D ga ada pilihannya

iqbal latif said...

Ha? Beneran? :D

HayaNajma SPS said...

lulus Sarjana udah, tapi dibilang nyari kerja juga engga.. bingung kan?

iqbal latif said...

Yg trakhr g?
Eh, nggak, ding. Haya msh kcl :)

HayaNajma SPS said...

*seneng dibilang kecil*

iqbal latif said...

Jiahh..
Tp orange kayake g kecil :)

HayaNajma SPS said...

T_T'''

desi puspitasari said...

Kemarin memutuskan untuk enggak menjalani nomor 2 dan 3. Nomor 4--hm, gimana eeaaa ..

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

menyimak periode-periode ... he he he ...

iqbal latif said...

@mlmblnbr..ow. Aq br ngerti. G usah 4 langsng 5, piye?
@hwwibntanto.. Silakan disimak.

akuAi Semangka said...

bikin tulisan kayak gini, berarti kemajuan atau kemunduran, om? :D

menurut Salim A Fillah, titik rawan itu masih akan terus berlanjut. bukan hanya sampai pada mencari pasangan hidup, menikah. setelah itu pun ada titik rawan kelima, kenam, dst. anak, harta.. itu bisa jadi titik21 yng kemudian akan dihadapi.

btw, penjelasan di point keempat yang tak diteruskan boleh jadi menunjukkan kegalauan penulis terkait hal itu. haha....

fifi hasyim said...

kematian hati.. kebangkrutan hati (point 2), dalem.. JFS, :)

iqbal latif said...

@ai...la menurut pembc ini kemajuan apa tidak? Apakah ada yg aneh?

Oh ya, masih ada titik2 rawan lain. Bolehlah ini disebut sbg 4 titik rawan pertama. Yg lain, bg yg merantau, mungkn masa bekerja d lain kota kala tak ada orang lain d daerah situ yg mengetahui sjarah kita, it jg tmasuk titik rawan lain
(tnyata bnr, yg no4 lah yg sering dbhas)

iqbal latif said...

@ayyu...lama g muncul? Aktif lg, ya?
Sesuai dg kndisi saat ini? Hati2!

fifi hasyim said...

bosen fesbukan, haha.. mw-nya aktif lagi tp kayaknya sy sudah kalah jauh nih.. :D
sepertinya tahapan2nya pas, menuju yg ketiga selalu membuat semua mhsw tingkat akhir galau, sampai2 adik kelas komentar, "Tenang mbak.. ga usah galau,". tp bener juga kalau ada yg bilang titik rawan akan masih berlanjut walau telah melewati no 4..
sukses! :)

iqbal latif said...

Ow.. Apanya yg ktinggalan? Biasa2 saja.. Sy fb buat mengetahui perkembngan teman2 saja..

fifi hasyim said...

wah, kayaknya sy pake kata 'kalah' dan bukan 'ketinggalan' deh.. hhe, tp mungkin maknanya sama..
hmm, melihat blog sy yg jarang keisi, sepertinya jauh sekali dr blog ini.. ckckck, semoga selalu diberi kemudahan untuk semua urusannya.. :))
*tulisannya bgs2, bener.. salut

akuAi Semangka said...

ga aneh. hanya berbeda.

iqbal latif said...

Apakah it kbr baik?

akuAi Semangka said...

kabar baik? entahlah. kabar baiknya seringkali diikuti oleh perasaan senang, bahagia. tapi aku biasa aja tuh :D
tulisanmu ini, selain mengangkat tema yg agak lugas, juga agak emosional. *sotoy.com

iqbal latif said...

Lugas? Emosional? Knpa pula it?

akuAi Semangka said...

gimana yaa? mungkin diksinya kurang tepat.
intinya gini, biasanya dirimu kalo bikin tulisan tuh senang beranalogi, samar2 menjelaskan suatu perkara. atau mungkin terlalu umum gambarannya. tapi yang ini bahasanya lebih membumi. hoho..
ketika memposting tulisan ini sudah mengalami pengeditan belum? ceritanya mengalir, tapi seperti ada emosi yang meluap-luap dari sang penulis untuk menceritakannya. yang kadang tak memperhatikan apakah pembaca mengerti atau tidak. kata mba sinta: writer design

iqbal latif said...

Writer design?
Blakangan ini aku nulis tanpa diendapkan langsng publsh. Ngedit pas nvlis saja..
Iya, ini trasa lugas. Kalo emsional? Entahlah!

akuAi Semangka said...

writing design, ding. Baca di blog/note fb-nya mba sinta yudisia. Bagus.

iqbal latif said...

terbaca--