Saturday, March 22, 2008

Cerita Seorang Kenek


Cerita ini terjadi tiga mingguan yang lalu. Saat itu saya pulang kampung, sebuah rutinitas yang jarang sekali saya lakukan di semester akhir perkuliahan. Sibuk dengan tugas akhir. Tapi saat itu saya harus pulang, karena pada akhir pekan itu kebetulan keluarga besar saya janjian untuk berkumpul. Dan ini momen yang mulai jarang ditemukan.

Kampungku lumayan pedalaman, walaupun tidak pedalaman-pedalaman amat. Untuk menjangkaunya harus naik sebuah angkutan umum kelas bawah yang oleh orang-orang biasa disebut colt. Disebut demikian karena pada mulanya mobil yang digunakan untuk angkutan umum ini adalah merk colt.

Saat itu minggu sore, sehabis sholat ashar saya diantarkan kakak naik motor ke jalan raya untuk menunggu colt tadi. Saya sudah harus balik ke Surabaya lagi hari itu. Masih banyak tugas yang menumpuk untuk saya selesaikan di sana. Langit mendung dan saya sudah sampai di pinggir jalan menunggu colt tadi. Jalanan tidak terlalu ramai karena memang hanya sebuah jalan kecamatan. Kebanyakan hanya orang-orang bermotor, yang terlihat baru pulang dari menghabiskan akhir pekan di Banyu Biru, sebuah objek wisata satu-satunya yang ada di sekitar daerah saya.

Lama ditunggu akhirnya yang ditunggu dating juga. Angkutan itu berhenti tepat di depan saya, dan saya masuk. Saya sedikit terkaget karena untuk range waktu yang cukup lama menunggu ternyata colt tadi hanya berisi dua orang, tiga sama saya. Di masa yang serba sulit begini tak banyak orang desa yang bepergian. Mobilitas penduduk sangat rendah, kalaupun harus bepergian lebih banyak memakai motor yang memang sangat luat biasa banyaknya memenuhi jalanan, terutama di pagi hari.

Kenek angkutan tersebut adalah seorang yang sudah sangat familiar bagi saya karena sejak saya masih sekolah dimana tiap hari harus naik colt untuk menjangkau sekolah, ia sudah menjadi kenek colt. Pelajaran yang bisa saya ambil adalah di saat semua sepertinya telah berubah ternyata masih banyak hal yang masih sama seperti dulu. Ada banyak kenek yang saya kenal waktu sekolah dulu yang kini sudah naik pangkat jadi sopir, namun tak sedikit yang masih setia dengan posisi lamanya. Dan pak kenek ini, adalah salah satu kenek favorit saya sewaktu sekolah dulu karena ia adalah satu dari sedikit kenek yang cukup baik kepada anak-anak sekolah. Ia selalu memberi tarif  buat saya di bawah tarif rata-rata.

Sepanjang perjalanan tak banyak penumpang yang bisa diangkut oleh colt tadi. .Ada sinar mata yang sulit saya artikan dari tatapan pak kenek tadi tiap kali ada seseorang yang mirip calon penumpang sedang berdiri di pinggir jalan. Sepanjang perjalanan tak banyak percakapan antara sopir dan kenek seperti kebiasaan orang-orang seperti mereka sebelumnya. Sampai kemudian di separuh perjalanan, ketika colt benar-benar melompong dan tinggal menyisakan saya terjungkal-jungkal oleh jalan yang berlubang, si sopir angkat bicara. Tentu saja ia bicara dengan keneknya. Isinya jelas sekali tertangkap oleh telinga saya, sebuah keluhan khas orang-orang kecil. Ia mengeluhkan penumpang yang sepi, yang sampai sesore itu uang setoran belum ia dapat. “masih mending kemarin, masih bisa dapat uang setoran. Sedang sekarang?”, begitulah kurang lebih gumaman si sopir. Saya hanya bisa terdiam di antara percakapan dua orang itu. Ada hati saya sakit tapi tak tahu apa yang bisa saya lakukan untuk ini. Tidak dapat uang setoran adalah kata lain dari rugi, dan siapakah orang yang mau bekerja untuk rugi. Ekonomi sedang sepi. Sempat tercetus di pikiran saya untuk membayar lebih untuk ongkos saya yang tiga ribu rupiah

Tapi kemudian ada satu orang penumpang masuk. Saya ikut bahagia. Sungguh jarang sekali saya ikut bahagia untuk sunggingan senyum si kenek. Lima ratusan meter kemudian tiga orang penumpang masuk. Si kenek mulai terlihat sumringah wajahnya. Tiga orang penumpang adalah jumlah yang cukup berarti untuk menutupi kejaran uang setoran. Penumpang yang baru masuk itu kelihatannya bukanlah orang sini terbukti ia harus bertanya pada sopir dimana ia seharusnya berhenti untuk ganti naik bus ke Surabaya. Salah seorang dari tiga penumpang itu kemudian terlihat akrab dengan sopir. Mengobrol. Saya sesekali ikut menikmati obrolan mereka. Sampai seorang yang akrab dengan sopir tadi menanyakan tariff. “ berapa pak tiga orang?”, ia tidak menyebutkan tujuannya karena si kenek pastilah sudah tahu tujuan dia dari pertanyaan yang pertama tadi. Sejenak kenek terdiam mendapat pertanyaan itu. Adalah suatu yang sangat tidak biasa bagi si kenek untuk berpikir dulu berapa tarif yang harus dibayar penumpang mengingat ia sudah menjalani profesinya hampir satu dasa warsa. Saya menduga pasti ada perang batin pada diri sang kenek. Penumpang yang bertanya berapa tarif yang harus dibayar adalah orang yang tidak tahu berapa patokan harga naik colt. Colt adalah salah satu jenis angkutan yang tarifnya bergantung pada jarak tempuh.

Dan jawaban si kenek betul-betul mengagetkan saya, “enam ribu pak”. Saya kaget. Duh hilang sudah simpati buat si kenek itu. Saya tahu, tahu dengan pasti bahwa ongkos untuk jarak segitu hanya seribu rupiah perorang.

Sungguh ia telah kalah dengan terpaan hidup yang mungkin begitu keras menggerogotinya.  

Dan hati saya tambah ngilu membayangkan betapa dulu ia adalah kenek yang suka menerapkan tarif yang rendah buat pelajar.

 

 

 

No comments: