Thursday, June 19, 2008

Pejalan Sunyi : tulisan g jelas yg melebar keman-mana

Pejalan Sunyi. Saya suka sekali mengunakan kata ini. Terserah mau dikatakan  sok romatis, sok puitis, atau sok melankolis, tapi yang penting enak saja saya mendengarnya. Beberapa akun di dunia maya saya pakai kata ini. Terakhir, saya memakai kata ini untuk nama yang ditulis pada pin yang saya pesan baru-baru saja, juga rencana nama yang akan tertera pada jaket laboratorium yang bakal dibuat.

Apakah saya memang pejalan yang kesunyian? Oh, mungkin saja  iya. Dalam beberapa kasus saya lebih suka berjalan. Sendirian. Sunyi. Dulu, selama hampir 12 tahun, berjalan adalah rutinitas keseharian saya. Tidak pagi, siang , ataupun malam, saya berjalan. Melewati jalan yang sama. Menyusuri delapan ratus meter yang itu-itu saja, pemandangan yang itu-itu pula.  Tapi aneh, tak pernah sekalipun membosankan, tak pernah ada keluhan. Itulah jalan yang menghubungkan antara rumah dan jalan raya. Jalan yang harus saya lewati tiapa kali akan berangkat sekolah. Kaki-kaki saya ini mungkin saksi hidup metamorfosa jalan itu mulai dari jalam berdebu bila kemarau dan becek jika datang hujan, sampai kemudian diaspal dengan kualitas ala kadarnya, hingga akhirnya rusak lagi dan berlubang disana-sini.

Orang mungkin sering kali kecapekan saat berjalan, tapi saya selalu menikmati saat-saat tiap kali berjalan. Tapi itu  tadi syaratnya: sendiri. Ada banyak hal yang bisa saya lakukan saat berjalan . Sesuatu yang hanya bisa dilakukan saat sendiri.  Murojaah hafalan, merenung, memandang pucuk-pucuk tebu, menyapa pencari rumput yang datang berduyun-duyun dengan sepeda kebonya, mengingat-ngingat hasil belajar yang bakal diujikan, meringis menatap matahari di timur jauh, atau : membuat puisi (*dulu pas SMA saya produktif sekali nulis puisi*). Maka dulu saya memang sempurna seorang pejalan sunyi. Apalagi pas SMA, pulang pergi sekolah selalu sendiri (*tak banyak memang yang sekolah sampai SMA di desa saya dulu*), berjalan sendiri. Kadang kala saya terlihat aneh juga, di malam hari menjelang isyak saya berjalan seorang diri , berseragam sekolah, dalam remang-remang, melintasi orang-orang yang sudah rapi dengan sarungnya. Pastinya sudah mandi. (*kebetulan kelas satu SMA saya masuk siang*)

Kini, ketika kuliah, kadang kala saya merindukan momen-momen seperti dulu itu. Saya memang masih berjalan ke kampus, tapi saya tak pernah sampai dalam taraf pejalan sunyi seperti saat SMA dulu. Banyak hal yang membuat itu tak pernah tercapai. Yang pertama ramai, ah tak ada jalan di keputih ini yang bebas dari erungan motor, membuat pejalan harus ekstra hati-hati. Semua orang bermotor, kemana saja bermotor, tidak dekat tidak jauh, tidak penting tidak gak penting, tidak mendesak tidak tak. Lihatlah! apakah kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap penggunaan motor, apakah kenaikan itu membuat orang jadi bijak menggunakan BBM. Saya yakin jawabannya sebagian besar tidak

Berjalan menjadi suatu hal yang aneh. Sekali lagi: ANEH. Dan itu cukup untuk tidak membuat nyaman aktivitas berjalan, apalagi sendiri.

Yang kedua tak ada jalan di keputih ini yang mendukung untuk saya bisa menikmati momen berjalan. Ya , karena yang saya temui di jalan hanyalah wajah-wajah itu saja. Wajah para mahasiswa..... , mahasiswi......, mahasiwa lagi....., mahasiswi lagi. Homogen. Tak ada lagi wajah beragam yang dulu saya temui tiap kali berangkat sekolah. Ada wajah pak tua pencari rumput yang terlihat tak kokoh lagi mengayuh sepedanya (tapi tetap ramah menyapa), ada wajah anak-anak SD yang sudah berangkat sekolah sepagi itu (mungkin berpikir akan banyak waktu untuk bermain-main dulu dengan teman-teman), ada wajah ibu-ibu yang pulang dari menjual dagangannya di pasar (kadang sumringah, kadang tak), atau wajah penduduk yang berangkat ke sawah, ada wajah ini wajah itu, wajah begini wajah begitu. Banyak sekali. Beraneka senyum, bermacam ekspresi. Warna warni. Dan sekarang.....mungkin ekspresi orang yang saya temui beraneka, lebih banyak lagi, tapi saya tak melihat kebeningan ekspresi yang dulu saya lihat dari orang-orang desa nan lugu itu. Apanya yang berbeda? Saya juga bingung menjawabnya.

Yang ketiga: tak ada lagi pucuk-pucuk tebu yang bisa dipandang, tak ada pula jajaran gunung kokoh membiru di kejauhan yang bisa ditatap, tak sempat lagi menatap matahari (mungkin kita tak pernah lagi merasa perlu menatap matahari barang sekali dalam sehari). Langkah harus selalu tergesa.

Hingga..... ketika saya sadar tak lagi bisa menjadi seorang pejalan sunyi, saya menemukan pejalan-pejalan sunyi dalam bentuk lain. Pejalan yang begitu santun menyusuri jalan. Tak terusik tan tin tun sepeda motor. Runduk menatap tanah, tapi akan  selalu menyediakan senyum untuk orang-orang yang menyapa. Tak tersentuh panas matahari. Pejalan...., yang pada akhirnya memunculkan kosakata itu untuk pertama kali dalam pikiran ini. Dalam sebuah cerpen.

 

8 comments:

poetry sari said...

saya tunggu cerpennya :)

iqbal latif said...

cerpen? cerpen pjalan sunyi....wah itu sih sudah jaman dahulu kala saya buat

Akhi Dirman Al-Amin said...

jalan2 memang asyik ya. mau sendiri or rame2 juga tetap asyik...

AdiT ^__^ said...

Hehe..saya juga kadang punya kbiasaan kayak mas. Tapi alhamdulillah di kampus saya--IPB--suasananya mmg cocok bgt buat aktifitas yg satu tadi.
Keputih itu dimana?
Bener..sendiri atw barengan sama asiknya, namun seperti ust.Anis Mata bilang dlm buku2nya: kesendirian itu juga perlu.

iqbal latif said...

ya juga sih, Pas rame pingin sendiri, ehhhh... giliran terlalu sering sendiri malah pingin ada temennya....

iqbal latif said...

itu perkampungan dekat kampus saya mas.....ITS

fifi hasyim said...

-->Tak ada lagi wajah beragam yang dulu saya temui tiap kali berangkat sekolah. Ada wajah pak tua pencari rumput yang terlihat tak kokoh lagi mengayuh sepedanya (tapi tetap ramah menyapa), ada wajah anak-anak SD...............ada wajah ibu-ibu ...........................

--------------------

pernah k perpus (ya iyaLaah)? di halaman perpus ada pak tua Lho yang nyabutin rumput......meski gak pke sepeda. pas lewat hal perpus ma teman2 dia-lah yg kita cari2 wajahnya (he3x....)........wajahnya .....tulus, trus ibu2 yg suka ngambilin sampah plastik d teKkim (sy suka wa2ncara dy, jawabannya ju2r), anak2 kecil penjual koran (sy suka tanya mreka kelas brapa, he). bnyk org berkesan yg da d ITS..............tekKim. jaLan2 aja dL d ITS sbLm Lu2s.......he2....

iqbal latif said...

iya deh...
kalau saya tuh dulu seringnya liat bapak tua yang nanem sawi deket material. tp kayaknya akhir2 ini jarang nampak