Sunday, June 1, 2008

Catatan Akhir Asisten (Bagian I : BLT saya cair)

Ternyata rizki datangnya memang sering kali tak diduga-duga. Hari itu saya tak ada firasat apa-apa, mimpipun semalam tidak. Biasa saja, seperti hari-hari yang lain, malah lebih sibuk karena saya sudah harus konsen seratus persen ke Tugas Akhir yang sudah mulai memasuki masa-masa akhir. Hanya saja, pas pagi harinya kok saya masih sempat-sempatnya menanyakan proses pencairan BLT di desa saya ke kakak saya. Apakah lancar atau terlihat ada penyelewengan, begitu kiranya pertanyaan dalam SMS saya. Saya patut khawatir karena saya sudah terlalu sering dikabari hal-hal semacam itu saat saya pulang kampung. Kurangnya transparansi, pemotongan sana-sini, serta bentuk penyelewengan yang lain adalah hal yang sudah amat lumrah terjadi di desa saya. Parahnya saya tidak bisa berbuat banyak melihat hal itu. Bayangkan, sabtunya saya diberitahu kakak-kakak saya tentang itu semua, eh ahadnya saya sudah harus balik ke Surabaya (*meski ini seharusnya tidak dijadikan alasan*). Tugas-tugas perkuliahan sudah menunggu untuk saya jamah.

Kembali ke masalah rizki tadi, ternyata bukan hanya warga tidak mampu saja yang dapat BLT, sayapun juga. SMS dari teman saya yang mewartakan itu, “eh bal, kumpul di lab nano, ada pencairan gaji”. He…he…. sayapun sumringah. Sebenarnya saya sih sedang tidak mengharap gaji itu keluar sekarang, karena memang saya masih punya uang. Saya mengharapkan gaji itu keluar di saat tak ada lagi uang sepeserpun dimana saya sudah bersiap-siap ngutang untuk makan esok harinya. Efeknya jelas akan jauh lebih berrbeda. Lebih ngena, begitu kata orang. Tapi yang namanya rizqi ngapain ditolak. Lagipula itu sudah jadi hak saya.

Gaji itu adalah gaji untuk selama kurang lebih dua bulan saya ngasisteni praktikum Kimia Analisa. Jangan berharap nominalnya cukup besar (*walaupun besar kecil sendiri adalah sesuatu yang sangat relative tergantung besar kecilnya seseorang*) karena hampir separuhnya sudah saya habiskan untuk membeli tiga novel : Istana Kedua, Sang Penandai, dan Janda dari Jirah. Anda yang biasa membeli buku pasti tahu harga rata-rata sebuah novel.

Maka saya akan bercerita bagaimanakah menjadi asisten selama dua bulanan itu.

Dulu, ketika masih semester dua, sama halnya waktu menjalani orientasi mahasiswa baru saya menganggap betapa enaknya menjadi SC apalagi instruktur, saya juga menganggap betapa nyaman dan terlihat berkuasanya dengan menjadi asisten. Kata teman-teman, semester dua adalah saat paling berat selama kuliah di TEkkim, barang siapa yang dengan memuaskan melewati fase itu maka dapat dikatakan ia sudah lulus uji, tahan banting, dan sudah amat layak mengikuti pertarungan akademis di Tekkim yang teramat keras benturannya. Yang membuat begitu berat adalah dua buah makhluk yang masing-masing bernilai satu SKS tapi implementasinya berSKS-SKS. Ketika menghadapi kerasnya ORMABA kita hanya menghadapi makhluk-makhluk nyata yang dapat dengan mudah tidak kita prioritaskan karena tak ada sangkut pautnya sekali dengan kegiatan akademis, tapi dua makhluk ini adalah dua makhluk mengerikan yang menjadi bagian dari kegiatan akademis itu sendiri. Dua makluk itu tercantum di papan pengumuman akademis jurusan dan terhormat sekali bersanding dengan makhluk-makhluk hebat lain semacam Kimia Fisika ataupun kalkulus. Makhluk itu tak bergigi (meski gigitannya seringkali mengilukan hati), tak berkaki (meski sepakannya akan mampu membuatmu pontang-panting), tak juga bermata (meski tatapannya akan mampu membuatmu tekun sampai larut malam menghadapi lembar-lembar kertas). Makhluk itu tak terlalu hebat namanya, hanya terdiri satu suku kata, tidak juga terlalu keinggris-inggrisan walaupun diserap dari bahas inggris. Makhluk itu bernama praktikum. Ada dua di semester dua itu : mikrobiologi dan Kimia Analisa.

Kau tak akan pernah lulus jika tak mampu menaklukkan makhluk ini.

Persangkaan saya dulu (dan entah apa masih berlaku hingga sekarang) yang membuat praktikum begitu berat bukanlah praktikum itu sendiri, kata praktikum adalah kosakata indah yang akan melambungkan ghiroh kepenilitian seorang mahsiswa sejati. Makluk-makhluk lain yang berdiri di belakangnyalah yang membuat itu kadang terasa begitu memuakkan. Makhluk-makhluk itu akan berdiri kokoh di depan saat bel praktikum dibunyikan laksana Munkar Nakir memeriksa seorang manusia yang baru memasuki alam kubur. Memeriksa setiap detail isi laporan praktikum minggu sebelumnya dengan tiga mata. Tak lengkap, maka ‘nerakalah’ yang menanti. Akan dengan sangat berbesar hati makhluk-makhluk itu mempersilahkan kau menutup pintu laboratorium dari luar untuk melengkapi laporan di luar, atau kalau sedang sial maka hilanglah kesempatan untuk mengikuti praktikum hari itu (dan bayangan tidak lulus praktikum seketika menyergapmu). Selama jalannya praktikum, makhluk-makhluk itu adalah mandor ulung yang begitu piawai mengawasi kerja bawahannya, jangan sampai mempergunakan pipet dengan menghisapnya pakai mulut, maka kau akan habis di sesi evaluasi nanti. Sesi evaluasi? ya sesi inilah sesi terdagdigdug dari rangkaian semuanya. Saat itu kau hanya bisa tertunduk lemah membiarkan sang makhluk-makhluk tadi mejadi evaluator ulung menjengkali tiap kerjamu yang payah. Dan bersiap-siaplah, paper 100 halaman mulai membayang (*saat itu, jangan pernah menyalahkan siapapun, bukan makhluk itu, bukan orangtuamu yang memasukkanmu ke jurusan ini, dan tentu saja bukan kajur yang tak peka terhadap deritamu. Marilah kita mencoba bijak, melihat diri ini, ke dalam, merenung, akan selalu ada yang terserak indah dari percikan luka*). Maka izinkalah, dengan segala kerendahan hati, saya perkenalkan makhluk kita yang satu ini, ASISTEN.

Begitulah kawan, wajah asisten kita. Selanjutnya ternyata asisten tak hanya ‘menemanimu’ seharian tadi, seringai dan senyumnya akan masih membayangimu di hari yang lain. Ada yang namanya tes awal yang menjadi ajang saat kau hanya senyum-senyum gak jelas saat asisten menanyaimu tentang berbagai hal yang berhubungan dengan praktikum yang akan terjalani. Tiba-tiba saat itu kita miskin kosakata, hanya bilang oh, ya, mengerti, belum, serta lebih banyak menggunakan bahasa tubuh yang entah diartikan apa oleh para asisten. Lemot, bodoh, males, atau apalah.

Dan….itu dulu.

Lalu tiba-tiba kenangan itu tergerus, kesan itu memudar, lalu tiba-tiba saya memasuki semester tujuh, tiba-tiba ada keinginan untuk menjadi asisten, dan (tidak) tiba-tiba saya tidak diterima menjadi asisten.

Lalu waktupun meloncat ke semester delapan. Sayapun mendaftar menjadi asisten. Mulanya saya mendaftar asisten KF karena memang letaknya lebih dekat dengan lab penelitian saya. Iseng-iseng mendaftar juga di lab KA. Tapi Allah jualah yang menetukan segalanya, yang iseng-iseng tadi justru yang diterima.

Maka makhluk kita itupun berwujud saya. Hi…hi…hi (*bergaya kunti*)

(bersambung, insyaAllah saya lanjutkan. insyaAllah lo!)

 

11 comments:

wahyu triono said...

suatu hal yang banyak dalam kehidupan.

fifi hasyim said...

InsyaAllah=99% ya. artinya, kudu, musti, harus, dan wajib!, so, musti nulis lanjutannya (hehe...maksa). bagus.....tulisannya, coba dibuat novel, wah....benar2 menggambarkan tekkim tuch!
weeeee, yg bru dpt gaji.......bisa traktiran nich? hehe.....

iqbal latif said...

mau? kayaknya MC D masih buka tuh....... kalau masih, tolong ditutupkan dong, kasihan ahad2 tetep buka (xixixixixix)

merie adnan said...

Traktir dooonkkkk..... ;))

iqbal latif said...

wah bu dosen minta traktir mahasiswa! g salah nih

merie adnan said...

Sekali2 gpp.... ;D

fifi hasyim said...

waduh.......ana dkejar2 satpam gara2 disuruh nutup MC D. gMana nich?

iqbal latif said...

bilang aja disuruh saya, pasti langsung digebuk.
he..he

Fauzi anwaR said...

hidup asisten!!! makane aq pengen bales dendam, tapi kesane koq malah jadi terlalu nyantai praktikumny.

Fauzi anwaR said...

kurang banyak revisiane, ga pernah ada paper. anak sekarang emang ruwet, ga bisa diajak keras.

iqbal latif said...

ha ha ,,,ini komentar asisten yg baru saja menjalankan tugak keasistenannya...
gmana rasanya ji???

*btw tulisan ini sebenarnya bersambung ya....tapi g kesampean nglanjutinnya