Wednesday, June 25, 2008

Tiba-tiba, maghrib itu....

Entah Apa karena ini sudah memasuki hari-hari akhir perjuangan, hari-hari terakhir arti empat tahun itu dirangkum.Apakah saya akan lulus empat athun apa tidak. Hari pengumpulan skripsi dan pra desain pabrik. Maghrib tadi tiba-tiba saya teringat bapak ibu. Mudah-mudahan ini bukan bagian dari godaan karena ingatnya justru ketika saya sedang sholat berjamaah di masjid. Dan selalu, ketika saya teringat orang tua saya, maka saya akan tertegun. Lama. Wajah keduanya akan silih berganti melintas. Memenuhi bayangan, menyesaki otak dan pengharapan. Kebaikan-kebaikannya, kelancangan-kelancangan saya. Ah semuanya akan seketika berputar-butar. Mengaduk emosi. Maka saya akan sekuat tenaga untuk tidak menitikan air mata.

Hanya sebentar saya berdzikir. Bergegas keluar, setengah berlari melangkah menahan buncahan perasaan. Ada apa ini ya Allah, mengapa perasaan itu tiba-tiba saja datang. Menyeruak begitu saja.

Tak lama, saya sampai di pintu kontrakan. Mengucap salam. Tapi tak ada yang menjawab. Tentu saja, karena semuanya telah pulang kampung menikmati masa liburan. Bergegas masuk kamar. Menggelar sajadah, siap melaksanakan sholat ba’diyah. Alhamdulillah perasaan itu semakin reda, bahkan semakin menghilang di awal rokaat pertama. Tapi ah, tiba-tiba perasaan itu kembali hadir. Jauh lebih mengaduk-ngaduk emosi. Mungkin melebihi pelatihan ESQ. Di sujud rokaat pertama. Dan sudahlah, pertahanan ini roboh, hati ini melumer. Saya tersedu. Tersengal-sengal. Mata ini memanas. Oh Gusti, pertanda apa ini. Mengapa ingatan itu begitu saja muncul. Adakah ini bagian dari peringatanmu? Adakah yang ingin Kau sampaikan dari ingatan itu? Adakah?

Selesai sholat saya langsung SMS kakak saya. Bukan orangtua saya, karena orangtua saya tak bawa HP. Juga tak bisa mengoperasikan HP. Saya ketikkan beberapa kata. Kira-kira isinya begini.

”Assalamu’alaikum. Entahlah, tiba-tiba aku ingat bapak ibu. Tolong mintakan maaf ya? Ke nenek juga”.

Saya kirimkan. Bergerak mengambil mushaf, memulai tilawah. Biasanya pada kondisi semacam ini adalah saat saya begitu nyamannya membaca Al-Qur’an. Sejuk saja. Lalu baru beberapa ayat, kakak saya telepon. Ah pastinya ia bingung. Aneh saja mendapat SMS tak biasa dari saya itu. Tak saya angkat, langsung saya tutup. Ganti saya yang SMS. Maksudnya ingin memberi tahu kalau tak ada apa-apa. Tapi belum tuntas mengetik kakak saya nelpon lagi. Saya tutup lagi. Melanjutkan mengetik lagi. Kali ini selesai. Langsung saya kirim. Berharap kakak saya menjadi tenang. Tapi perkiraan saya meleset, beberapa menit kemudian kakak saya masih bandel menelpon. Maka kali ini saya angkat. Dan benar, kata pertama yang ia tanyakan adalah: ada apa, kok tiba-tiba ingat bapak? Maka mau tak mau sayapun harus menceritakan semuanya. Pembicaraanpun mengalir, melebar ke urusan lain. Namun sayangnya, saat itu kakak saya sedang tidak ada di rumah, jadinya tak bisa ngobrol dengan bapak ibu.

Entahlah ya, apakah karena saya saja yang terlalu mendramatisir. Selalu! Selalu ketika saya teringat kedua orang tua saya, tak peduli sekokoh apa saya kala itu, setegar apapun keadaan saya waktu itu, maka seketika itu saya akan terkulai lemah. Mengingat-ingat begitu banyak kebaikan yang sudah mereka tanamkan pada saya, menghitung bakti yang begitu kecil yang telah saya tunaikan. Dan saat itu..... ah akan bisa ditebak sendiri kelanjutannya.

Tapi, hikmahnya adalah : tiap kali saya teringat orangtua saya, maka tiap itu pula semangat saya naik kembali. Mencapai puncak. Menggebu-gebu lagi. Sangat ampuh untuk mencharge kembali energi.

Semoga! Semoga ini bertahan lama.