Monday, September 22, 2008

Catatan hidup, catatan mati

Bukan hal mengagetkan sebenarnya, bukan hal yang luar biasa memang, tapi entah mengapa, tiap kali itu tersampaikan, akan selalu sukses menimbulkan perasaan yang berbeda dalam diri. Kadang menggelora, kerap pula menyayat, atau mungkin sekedar menimbulkan perenungan dalam. Tergantung kronologisnya, tergantung pula individunya, bahkan juga tergantung timingnya.

 Cerita kematian. Ya, sadar ataupun tidak, informasi inilah yang lumayan kerap mengetuk-ngetuk gendang telinga saya tiap kali pulang. Lebih kerap hidup di kota orang dan lumayan jauh dari kampung halaman, mau tak mau akan membatasi akses saya terhadap informasi yang terjadi di kampung halaman. Info-info penting saja mungkin yang lumayan ter-update. Lewat SMS, lewat YM. Semacam dinamika keluarga, ataupun segala yang terjadi di tetangga-tetangga dekat. Dan cerita kematian ini, adalah catatan penting yang kerap terlewatkan untuk  tersampaikan.

Lalu pada akhirnya kemarin, saat saya pertama kali menikmati momen ramadhan bersama keluarga, informasi itu datang lagi. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya info itu sudah datang dari kakak saya lewat perbincangan di YM. Tapi hanya pemberitahuan, tak begitu lengkap. Tak datang dari sumber yang paling dekat, karena memang kakak sayapun juga tengah berada di kota orang.

Orang itu adalah tetangga saya. Lumayan jauh sebenarnya bagi kaca mata orang kota. Tapi, berhubung saya tinggal di pedesaan dimana kita saling mengenal satu sama lain, bahkan sampai satu desa, maka jarak segitu adalah jarak yang teramat dekat. Orangnya sudah tua, mungkin lelaki tertua disana. Sudah teramat sering sakit-sakitan, dan mulai jarang terlihat beraktivitas di luar rumah. Karena itulah, cerita kematian orang ini kemudian menjadi sesuatu yang biasa, tak ada yang terkejut. Lumrah, wong memang sudah tua.

Tapi kematian akan selalu menjadi nasehat terbaik. Selalu, bagi siapa saja yang mau mengambil pelajaran. Entahlah, saat itu, ketika saya tengah kumpul dengan keluarga sehabis berbuka, perbincangan itu dimulai. Awal mulanya hanya ingin menyampaikan berita kematian tetangga saya itu. Saya jawab sudah tahu. Kemudian melebar. Ganti membicarakan sang almarhum. Tentang aktivitasnya, tentang semasa hidupnya.

Dan, catatan kehidupan sang almarhum yang justru baru saya ketahui ketika ia telah menemui kematiannya adalah : ternyata ia seorang penyayang binatang. Tentang bagaimana ia begitu sukanya memelihara binatang, sejak dulu mungkin sudah saya ketahui. Tapi kenyataan bahwa ia lebih dari sekedar suka memelihara, ini yang baru saya pahami. Berbagai binatang yang lazim dipelihara ternyata pernah ia pelihara. Mulai dari sapi, kambing, ayam, angsa, entok, sampai jenis burung. Dan uniknya, ia melakukan itu bukan lantaran ingin memperoleh keuntungan ekonomi; dari penjualan binatang itu kelak, atau dari berkembang biaknya peliharaannya itu. Ia memelihara binatang-binatang tersebut karena ia suka memelihara, karena ia begitu menyayangi binatang itu. Hanya itu. Maka jadinya, bahkan binatang peliharaan yang memungkinkan untuk ia konsumsi, tak pernah ia konsumsi. Menjualnyapun tidak. Ia memelihara seumur peliharaannya itu. Hingga, (kalau memungkinkan) sampai peliharaannya itu mati secara alamiah.

Itu cerita tentang bagaimana ia mencintai binatang peliharaannya. Ternyata ia memilki catatan lain; ia ternyata juga penyayang binatang liar yang hidup di sekitarnya. Dulu, bahkan teramat dulu hingga memori saya tak mampu mengingatnya, ketika burung gelatik masih banyak beterbangan di lingkungan desa, ia dengan senang hati membuatkan burung gelatik itu rumah-rumahan di pepohonan sekitar rumahnya. Tujuannya hanya satu : agar burung-burung itu kerasan tinggal di sana, berharap tak berpindah tempat. Dan benar saja, burung-burung gelatik itupun berkembang biak dengan pesat. Rumah-rumahan yang ia buat itupun, tak butuh waktu lama, telah menjadi rumah beneran bagi gelatik-gelatik liar itu. Inilah mungkin sentuhan seorang yang mencintai binatang dengan hatinya. Maka burung-burung itu, seakan mengerti, menjawab sentuhan itu dengan kicauan merdunya tiap pagi.

Kawan, cerita itu, tentang sepenggal kisah tetangga saya itu menjalani kehidupannya, tiba-tiba menyadarkan saya. Kelak, ketika kita tak mampu lagi mengadakan konferensi pers untuk menglarifikasi opini yang terlontar mengenai kita, ketika kita tak akan bisa lagi membantah celaan yang menerpa kita, atau saat kita tak akan sanggup lagi berbangga hati kala seseorang memuji kita..... saat maut itu telah sempurna menjemput..... saat itulah.... apa yang sudah kita lakukan semasa hiduplah yang bakal tersuarakan. Mungkin jelek, mungkin bagus. Tergantung dengan catatan kehidupan yang telah kita torehkan sepanjang periode hidup. Catatan yang mungkin teramat dalam membekas pada diri tetangga-tetangga kita, keluarga kita, teman-teman kita, atau pada lingkungan kita....pada alam. Tak mampu lagi kita untuk membantahnya, pun juga tak kuasa lagi kita untuk menambah-nambahi. Sebab, apa yang telah kita tulis semasa hiduplah yang bakal terbaca. Bila itu adalah sebuah keburukan, maka terlambat sudah untuk menghapusnya, lalu menulisinya dengan tulisan-tulisan kebaikan. Pun juga, bila itu adalah kebaikan-kebaikan, maka tak ada waktu lagi untuk menstabilonya, menggarisbawahi, atau sekedar mempertegas tampilannya.

Maka, jika saat itu tiba-tiba kami membicarakan tentang begitu sayangnya tetangga saya itu pada binatang, itu bukanlah sebuah kebetulan belaka. Tak ada tendensi apapun saat kami melakukannya. Jelas sekali, karena catatan kehidupannya tentang hal ini teramat tebal ia tulis, teramat indah ia lukis. Maka jadinya, teramat tebal pula catatan itu terekam dalam memori orang-orang sekitarnya, teramat indah catatan itu tersimpan dalam hati tetangga-tetangganya. Hingga tersuarakan. Atau mungkin juga tidak. Hanya hidup dalam kenangan individu di sekitarnya. Tapi meski begitu, itu sudah lebih dari cukup sebagai kesaksian : bahwa ia adalah seorang manusia baik.

Kini, tinggal kitalah yang menentukan. Catatan kehidupan itu belum tertutup. Lembar-lembar kehidupan itu juga masih tersisa. Dan tentu saja, karet penghapus untuk memperbaiki catatan yang telah lalu itupun juga masih di tangan.  Masih ada waktu. Masih ada kesempatan untuk menentukan catatan yang mana yang bakal kita perbanyak, kita ulang-ulang, atau kita pertegas adanya. Bukan hanya agar catatan-catatan itu hidup dalam sanubari orang-orang sekitar kita—seperti yang saya ungkapkan di atas, bukan pula semata agar orang lain menyaksikan kita sebagai orang baik. Sungguh, itu akan menjadi tak penting dan hanya akan menjadi ekses belaka. Tapi oleh sebab kita telah meyakini akan adanya pembacaan catatan kehidupan yang jauh lebih fair, lebih adil. Untuk menentukan masuk golongan manakah kita : golongan orang berimankah, atau golongan yang ingkarkah. Dan konsekuensi di antara keduanya, sungguh amat berbeda..

 

Pasuruan,19 sep -08

 

4 comments:

Chifrul S said...

tfs, akhi. Semua-muanya jadi nasehat hari ini...

AdiT ^__^ said...

bener akh..sampai pada umur berapapun kita, jangan lupa melumasi tubuh ini agar tidak berhenti beramal..

Budi Setiawan said...

ya, ibarat gajah mati meninggalkan gading, maka kalu kita mati hanya nama yang bisa kita tingggalkan untuk dikenang, maka bagaimana kita melukis nama tersebut adalah hal yang akan diingat orang akan kita..

fifi hasyim said...

berat...tulisannya...jazk.