Thursday, September 4, 2008

CATAN NGGAK PENTING : HARI PERTAMA DI JOGJA DAN EPISODE NYARI KOST

       Senin kemarin, tanggal 1 september, tiba-tiba sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Sekitar jam sembilan. Dari Bu Maryati, analis dari Kimia UGM yang sekitar dua bulan lalu menganalisa hasil penelitian saya. Isinya kurang lebih begini : kebetulan sekali, saat ini kolomnya sedang terpasang, besok rabu sudah bisa mulai dianalisa. SMS itu adalah SMS balasan yang seingat saya, saya kirim dua hari yang lalu. Kala itu saya hanya menginfokan kalau kami (saya dan partner penelitian saya) akan menganalisakan hasil penelitian kami lagi ke UGM.

Menerima SMS itu, saya tak tahu mesti senang atau tidak. Senang, karena itu artinya dengan segera kami dapat menuntaskan penelitian ini. Senang pula karena dua bulan yang lalu saja, kami butuh sekitar semingguan untuk menunggu sampai akhirnya sample hasil penelitian kami dianalisa. Memang, sample penelitian kami membutuhkan kolom khusus untuk bisa dianalisa menggunakan Gas Chromathography. Kolom yang tidak setiap saat terpasang di alat. Dan sekarang, suatu hal yang kebetulan sekali kalau ternyata kolom yang kami inginkan itu sudah terpasang.

Tapi, tetap saja itu tak mengurangi keterjutan saya. Atau panic. Hari rabu kala itu adalah lusa. Artinya, jika kami ingin memenuhi isi SMS itu maka kami sudah harus berangkat ke Jogja Selasa malam. Sedangkan, penelitian kami ssja belum selesai. Belum semua sampel diperoleh. Memang sih, tidak butuh waktu yang terlalu lama untuk satu kali runnya. Tapi ya itu, tetap saja.

Segera saya SMS partner saya. Info ini harus segera diwartakan. Penelitian ini harus segera diselesaikan.

Dan selasa malam, kamipun pada akhirnya berangkat juga. Terburu-buru. Tanpa banyak persiapan untuk mempersiapkan segala hal. Dulu, dua bulan yang lalu, saat kali pertama menganalisakan sampel penelitian, saya sudah mewanti-wanti diri saya sendiri untuk mempersiapkan sebaik mungkin kunjungan kali kedua saya kelak. Harus bisa menikmati perjalanan nanti. Tapi yang terjadi...ah ternyata kembali tak ada waktu untuk memikirkan itu. Kembali harus terburu.

Maka jadinya, banyak hal yang saya sesalkan ketika sudah memasukui perjalanan. Salah satunya adalah banyaknya barang yang tertinggal. Charger ponsel, Kamera (duh padahal dulu saya sudah ngebet foto di beringin besar di depan grha saba), seta barang-barang kecil lain.

Rabu pagi, lagi-lagi subuh, kami nyampai juga di Jogaja. Turun dari bus dengan sedikit males-malesan. Ya, karena bahkan sampai sudah menginjakkan kaki di tanah Jogja kami belum punya arah yang pasti dimanakah gerangan kami akan menginap. Untuk kembali menginap di teman saya rasanya nggak enak juga. Pastinya akan merepotkan, apalagi kali ini kami berdua. Tentu saja kamar sempitnya tak akan muat. Sedang untuk menginap di famili temen saya rasanya tak mungkin. Lokasinya cukup jauh dari tujuan utama kami ke sini.

Maka yang terpikirkan di kala kebingungan itu hanya satu : Masjid. Tentu saja untuk segera sholat subuh. Sebuah taksi pun kami dekati. Sedikit transaksi. Dan meluncurlah kami ke masjid kampus UGM.

Selesai sholat, barulah saya menghubungi teman saya. Maksudnya hanya satu : minta ditunjukkan tempat yang menerima kost harian, atau setidaknya penginapan sederhana dengan tarif yang sederhana pula.

Singkat cerita, bertemulah kami dngan teman saya itu di bundaran UGM. Ia mengendarai motor bebek dan kami tentu saja berjalan kaki dari masjid kampus. Setelah beramah tamah singkat, dimulailah perburuan mencari tempat nginap tersebut.

Yang pertama adalah wisma UGM. Dari luar bagus dan kelihatannya nyaman sekali untuk dihuni. Partner penelitian  saya sudah berharap banyak bahwa ini adalah tempat yang ideal sebagai tempat nginep selama kita melakukan analisa di UGM. Imajinasnya mengembara. Namun amat sangat kejam segera kandas demi melihat tarif yang harus kami bayar semalemnya. Kayaknya wisma-wisma begini memang bukan untuk mahasiswa kelas seperti kami.

Perburuan selanjutnya bermuara pada sebuah penginapan yang sedikit terpencil karena harus masuk gang untuk bisa menjangkaunya. Kelihatannya sederhana dan mudah-mudahan tarifnya juga sederhana. Saya dan teman sayapun masuk (Partner penelitian saya ditinggal di bundaran, karena tak mungkin bertiga dalam satu motor). Menyapa resepsionis dan mulai mempertanyakan harga. Mata kami tentu saja langsung tertuju pada tarif termurah yang ditawarkan. Nggak terlalu mahal, batin saya. Kemudian sayapun melihat-lihat kamar yang ditawarkan itu. Kamarnya sempit, bahkan lebih sempit dari kamar kost saya yang sudah terbilang sempit untuk sebuah kost yang dihuni berdua. Ranjangnya satu dan memang diperuntukkan untuk ditiduri untuk satu orang. Serta sebuah kursi biasa. Sejenak saya berpikir bagaimanakah caranya agar itu bisa ditemppati berdua tak mungkin pula saya meminta tambahan bed karena hal itu bakal nambah tarif permalamnya). Akhirnya, karena tak mungkin saya memutuskan sendiri perkara ini, saya telpon partner penelitian saya itu. Menceritakan apa yang sudah saya dengar dengar , saya lihat, dan yang saya rasakan.

Perburuan kedua untuk sementara gagal.

Tempat ketiga yang kami kunjungi adalah hasil referensi teman saya. Katanya kost harian, bukan penginapan. Kata kost sudah menggiring kami ke pemikiran bahwa ini tentunya bakalan tak mahal. Wong sebulan kost di keputih Cuma 125 ribuan, apalagi kalau tinggal tiga harian. Kali ini kami datang bertiga. Teman saya nekat merelakan motornya ditunggangi tiga orang sekaligus yang saya yakin berat masing-masing sudah melebihi setengah kuintal. Ini ai lakukan karena sebentar lagi ia akan ada urusan penting dan dengan berat hati harus meninggalkan kami berdua. Kost-kostan itu biasa-biasa saja bahkan lebih cenderung mengarah ke kata lebih jelek daripada lebih bagus bila dibandingkan dengan kost rata-rata yang ada di sekitaran kost saya di Surabaya.

Pemiliknya adalah seorang pria bertubuh agak kekar dengan kaos menunjukkan identitas polisi. Tak jelas apakah dia polisi beneran ataukah kaos itu ia dapatkan dari seorang kenalannya yang seorang polisi. Berharap saat memakainya bakalan tak ada preman yang berani mendekatinya.Kami bertiga ditemui di tempat terbuka yang terlihat ala kadarnya. Bahkan mejanya saja sudah terlihat tak layak untuk dipakai, karena bahkan untuk menggesernya harus ekstra hati-hati. Bisa-bisa kaca atasnya lepas berantakan.

Masalah pertama yang ditanyakan tentu saja yang paling sensitif : harga. Kami (atau saya saja ya) sempat kaget karena ternyata istilah kost harian hanya sekedar istilah. Karena ternyata harganya saja sama dengan penginapan yang kami kunjungi sebelumnya. Bahkan penginapan sebelumnya saja menamakan dirinya dengan kata HOTEL. Sejenak saya berpikir apakah penginapan tadi yang terlalu PD menyebut dirinya dengan kata hotel sedangkan tarifnya standar kost, ataukah tempat ini yang terlalu merendah menyebut dirinya dengan kost harian padahal tarifnya hotel.

Langkah selanjutnya adalah melihat calon kamar (sebelum melihat kamar, teman saya yang baik itu terlebih dulu minta ijin untuk pergi karena ada urusan, tapi terlebih dulu berpesan untuk sementara tak apalah tinggal di kostnya. Tinggal bilang saja pada teman-temannya di san, toh wajah saya sudah dikenal karena dua bulan lalu sempat nginep di sana).  (sebelumnya saya deskripsikan keadaan di situ. Jadi kost-kost yang disewakan itu tidak dalam satu bangunan tertutup gitu. Tapi dalam satu ruang terbuka. Artinya tiapa pintu kamar menghadap ke luar. Ke halaman. Nah, di halaman itu akan banyak pemandangan yang bisa dilihat. Mulai dari cucian yang dijemur, barang-barang berantakan, bahkan sampai kandang ayam.). Kamarnya lumayan luas dengan dua kasur (ini yang melegakan). Minimal lebih luas bila dibandingkan kost saya di Surabaya. Nampak berantakan, karena kasurnya terlipat ke sana kemari tanpa sprei (ini juga tak terlalu masalah karena kost sayapun juga lebih sering berantakan). Saya pandang teman saya. Mencoba mencari jawaban dari ekspresi mukanya. Maukah?

Sebenarnya masih ragu, tapi toh akhirnya kami cuma mangut-mangut. Ok lah. Gak apa. Pak kostnya sendiri juga mangut-mangut. Harap-harap cemas mungkin apakah kami akhirnya jadi ngekost di situ. Tapi...sebelum kata sepakat itu terucap, kami teringat sesuatu : kamar mandi. Dengan senang hati pak kost mempersilahkan kami melihat-lihat. Agak sedikit jauh dari kamar yang kami lihat, tibalah kami di depan dua kamar mandi yang berjejer. Kecil? Pasti. Jelek? Ah biarlah teman saya yang mendeskripsikan dengan ungkapannya. Menjijikkan? Sepertinya. Kata teman saya : wah nggak yakin saya bisa mandi di tempat seperti ini. Saya diam. Tak tahu apakah mengiyakan atau tidak pernyataan teman saya itu. Toh saya bahkan pernah bermandian di kali. Di kolam keruh. Atauh bahkan di kubangan bekas orang membuat batu bata yang terisi air saat musim hujan.

Sejenak kami berdiskusi. Jadi tidak nginep di situ. Bingung. Dan saat itulah hal yang tidak nyana-nyana terjadi. Seorang cewek nampak bergegas menuju ke arah kami. HAH?????????? Nampaknya ia mau mandi, itu jelas terlihat dari handuk dan seperangkat alat mandi yang digamitnya.

Cukuplah, cukuplah itu memantapkan kami untuk mengucapkan satu kata :TIDAK. Hilang sudah kebaikan-kebaikan kost itu. Hilang semua. Sama sekali tak bersisa. Berganti kejelekan-kejelekan. Keburukan-keburukan. Terjawab sudah aura tak mengenakkan yang tersembul saat kami tiba di kostan itu. Ternyata....ternyata...(oh Gusti mudah-mudahan ini tak sampai terjadi di kost-kostan kampus hamba) itu kost campur cowok-cewek.

Akhirnya, setelah jauh-jauh ke kost harian nggak jelas tadi, kami akhirnya kembali ke penginapan semula. Dan ternyata, penginapan itu tidak setidakmengenakkan bayangan semula. Apalagi penjaganya ramah. Dan ternyata lagi, ternyata yang menginap di penginapan itu hanya tiga orang : saya, partner saya, dan seorang laki-laki asal lampung. Jadi terlihat berkuasa deh menguasai kamar mandi (catatan: walau namanya hotel tapi kamar mandinya tetep royokan)

6 comments:

oCha's zone said...

8-> yg penting semoga sukses penelitiannya .. daripada jauh2 ke jogja tapi ntar ga ada hasil apa2..

** tetep miris ngeliat kost-an plus "hotel" nya,.. (mengingat pas ngekos dulu kamar mandi merupakan faktor utama juga.. hehe)

AKP Yudi Randa said...

pengen euy ke jogja.:(

iqbal latif said...

yup makasih..kayaknya penelitian ini mengajarkan saya banyak hal..membawa saya ke banyak tempat..

iqbal latif said...

ayo cepetan...rugi lo kalo g pernah

fifi hasyim said...

waaaaaaaaaah, keren! (kali ini speechless, smoga penelitiannya cepet kelar)

iqbal latif said...

terimakasih..
baru kali ini gak "cerewet"