Wednesday, June 8, 2011

episode pulang kampung ; mencintai ketaksempurnaan

Ekspektasi saya terlalu tinggi, kala membayangkan di Toga Mas kecil kota saya itu, akan tersedia buku baru yang sedang saya incar; Menembus Batas-nya Agustinus Wibowo dan Lelaki Pengeja Hujan-nya Tasaro. Menjadi terlalu tinggi sebab, yang kemudian saya temui setelah saya memasuki ruangan kecilnya adalah buku-buku lama yang sudah tak terlalu menimbulkan minat yang berlebihan pas menjelajahinya. Buku-buku yang sudah saya beli berbulan-bulan yang lalu bahkan masih saja berada di deretan buku baru, menyambut pengunjung pas pertama kali melangkahkan kaki memasuki ruangannya. Mungkin, definisi baru bagi toko buku kecil ini, berbeda dengan toko-toko buku lainnya, atau bahkan berbeda dengan saya sendiri. Tapi, selalu saja, ada untungnya, di deretan buku baru itu, ada sebuah buku yang akhir-akhir ini cukup ramai di perbincangkan di dunia maya. Buku terakhirnya mbak Nurul F Huda. ‘Hingga detak jantungku Berhenti’ judulnya. Saya mengambilnya, dan menjadi penggembira di antara kekecewaan memperoleh buku-buku yang sedang saya ingini itu. Tapi, upps, kekecewaan itu, yang boleh jadi amat sesaat, saya sadari tak boleh kemudian mengurangi respek saya pada toko buku kecil ini, yang mau hadir menyeruak dalam hingar bingar kota yang nyatanya tak terlalu ramah buat usahawan buku. Yang bersedia menjadi asing, sebab kenyataannya memang toko buku ini sepi, kontras dengan toko baju dan makanan.

Keluar toko buku, saya memilih jalan kaki, menuju terminal dadakan tempat angkutan colt membawa saya ke kampung halaman. Beberapa ratus meter jaraknya. Jalanan ramai, kendaraan meraung-raung memenuhi dua ruasnya. Ibu-ibu berbaju PNS, anak-anak sekolah dengan seragamnya , becak dengan muatan dua orang di depannya, angkutan kota, semuanya berbaur menciptakan kepadatan yang membuat saya menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa wajah kota saya telah banyak berubah. Semrawut, motor-motor yang dipacu kencang seolah itu adalah jalanan sepi, adalah sebuah pemandangan yang begitu saja kini terhampar di hadapan saya. Seolah menyisihkan saya menjadi seorang asing yang menjadi pejalan kaki (satu-satunya) di pinggiran jalan itu. Tak ada trotoar yang sudah layak disebut trotoar, kawan. Lalu, ketika kepala saya mendongak, ada spanduk sebuah produk rokok menginfokan sebuah acara. Ada konser mungkin, atau apalah, sebab yang juga saya baca di spanduk itu adalah sebuah nama grup band dengan penulisan huruf G pada nama bandnya adalah huruf G bercula. Entah apa tujuannya. Benar, pasti, kota ini bertumbuh. Entah ke arah mana. Entah hendak dibawa kemana. Tapi tetap saja, di antara itu semuanya, saya masih dan akan mencintainya. Sebab memang bukan itunya yang penting, bukan tentang jalanannya yang penting, bukan ramai atau sepinya yang penting, tapi orang-orang yang mendiami sebuah sudut di kota ini lah yang penting. Atau bahkan, bahwa saya pernah menjalani sebuah episode hidup bersama orang-orang spesial di salah satu atau salah banyak spot-spotnya, itu lah yang penting.

Saya pun menaiki angkutannya. Angkutan yang sama yang dulu setia mengantarkan saya menuntaskan pendidikan hingga bangku SMA di kota ini. Tak banyak penumpangnya, sebab semakin terpinggirkan oleh motor-motor yang dikreditkan dengan cara begitu menggiurkan, bahkan bagi strata terbawa penduduk kota ini. Angkutan ini panas, terutama saat ngetem menunggu penumpang, mirip kue yang dioven hingga dengan mudah menerbitkan cucuran keringat di kulit penumpangnya. Tapi saya menaikinya juga. Dulu saya betah untuk tetap bertahan untuk sebuah hal. Kini, meski hal tersebut sudah bukan menjadi kendala, saya akan tetap menaikinya. Menyelami aromanya, merasakan tiap derajat celcius yang merangkak menaiki suhu di dalamnya.

Dan kampung itu. Seperti ada saya kecil yang berlarian di kedalaman masa lalu. Ada saya yang masih merah putih riang menelusuri jalanan utamanya. Lalu saya yang biru putih, lalu saya yang abu-abu putih, juga masih setia menjengkali jalanannya. Fisik-fisik itu boleh jadi tak berubah, tetap saja, hanya saja usia mungkin telah menuakannya. Tapi ada yang berubah pada orang-orangnya, pada tingkah anak-anaknya, pada orientasi hidup penduduknya. Entahlah! Apakah ini yang dimaksud dengan ‘tak ada yang berubah, yang berubah hanya caramu melihat itu semua’? Tapi tetap saja ada yang mengganjal. Barangkali sinetron-sinetron itu, modernitas itu, telah begitu liar menghajar masyarakat desa, tanpa ada perimbangan dengan kokohnya sikap mental, akan kuatnya kebajikan hidup. Tak terkontrol. Mbelandang, begitu kata orang-orang pabrik menggambarkan tentang suhu reaktor yang tak terkontrol. Tapi tetap saja, di luar itu semua, di sini lah saya telah bertumbuh. Menghabiskan sebagian besar usia saya hingga saat ini, bukan surabaya, bukan pula Bontang. Maka saya akan mencintai semuanya. Cinta yang sama saat saya memandang hamparan padi di sawahnya, atau mendengar gemericik air sungai yang kian menyurut airnya, atau mendongaki bentangan kabel listrik tegangan tinggi yang membelah desanya. Sebab, sekali lagi, dan selain yang sudah tersebutkan itu, ada kumpulan orang-orang yang mereka mencintai saya, dan saya mencintai mereka.

Keluarga itu! Adalah wajah ketaksempurnaan memang. Ada banyak hal-hal yang tiba-tiba menjadi mengganggu. Tidak ada yang berubah sebenarnya, yang berubah adalah saya yang memandangnya. Tapi saya mencintainya. Mencintai ketaksempurnaan itu. Bukan untuk melanggengkan ketaksempurnaannya. Tapi sebaliknya, dengan sebuah harapan, dengan mencintainya itu, saya akan belajar menerimanya. Penerimaan yang membuat saya akan terus mempunyai energi berlebih untuk terus menyempurnakannya. Bukankah itu yang kemudian disebut dengan jalan ciahaya?


Pasuruan-malang
9 Juni 2011




33 comments:

Daicy Mahia DG said...

:)

Moes . said...

Judulnya pulang kampung atau pualng kampung? heheh koreksi dikit

desi puspitasari said...

Aku malah ga suka baca buku baru yang juga dibaca banyak orang. Rasanya kok ga ada kesan istimewa, gitu.

Toga Mas Madiun juga kurang oke kok, Bal (ngeyem-ngeyemi), kebanyakan buku terjemahan--meski buku" terbitan baru banyak, tapi di Madiun udah ada Gramedia (ho oh, aku cen ngece kowe :p )

zukhruf an Navis said...

pulang kmpung smbil jd pengamat perubahan..

anas isnaeni said...

wuah banyak perubahan tapi endingnya membahagiakan kan..
akhirnya pulang kampung jua ya, mas...
semoga jadi kenangan dan recharge semangat untuk nantinya saat sudah balik ke perantauan

fauziyyah arimi said...

ahh, saya malah masih perlu mencintai masa menunggu memiliki pulang kampung...sementara 'kampung' saya terasa semakin tak sempurna..

iqbal latif said...

@mahia...terimakasih untk senyumannya

@moes... Palang kampung malah. Hehe..

@mbokdes... Iya, aq suka jg kok buku2 lama yg tak cetak lagi. Hanya sj, kan, waktu it lg nyari bk br.. Bgtu, ndoro putri.

iqbal latif said...

@nanaz...yup! Pulang kampung slalu bnyk memberi inspirasi..

@ziyy...apakah kalimat it berarti sdang menunggu seseorang yg bakalan mengajak mudik k kampung di tiap lbrannya? Haha. Asli jakarta, ya? Bpk ibu?

yasir burhani said...

ach..seperti apakah kampungku sekarang.

iqbal latif said...

Dimana itu?

fifi hasyim said...

‘tak ada yang berubah, yang berubah hanya caramu melihat itu semua’

:)

iqbal latif said...

Kenapa, ayyu? :)

desi puspitasari said...

he he .. *mrenges*

fifi hasyim said...

pernah bc kalimat itu.. hmm, wah g k Sby nih? :D

fauziyyah arimi said...

bisa berarti seperti itu, bisa juga berarti, saya sedang mengharapkan juga sentra aktivitas saya berpindah tempat sehingga bisa ngerasain feeling pulang ke jakarta sebagai feeling pulang kampung..
ayah, asli jakarta. semua keluarga disini. Ibu dari cirebon, tapi sudah tidak ada rumah disana untuk jadi tempat kembali, nenek bermigrasi ke padang. paling ya pulang kampung, destinasinya malah padang.

iqbal latif said...

@mlmbln...giginya kelihatan, tuh!
@ayyu.,.iya, quote terkenal. Tp sy lupa siapa yg ptama ngucapin..
@ziyy...rasanya pulang kampung?tak terkata. Haha.. Tp tetep sj sdh tak merasa nyaman kalo lamalama pulkamp. Semcm ada frekuensi yg tak tersambung. Hehe

al fajr "fajar" said...

eh.. ono iqbal kecilllllll

iqbal latif said...

Lucu, kan? Haha

rahmah ... said...

Mana oleh-oleh pulang kampungnyaaaa? *nadah tangan :p

iqbal latif said...

Siap2, ya! Satu dua, tangkap..

rahmah ... said...

Ah seplastik kecil doank, maunya sekarduuuusss haha

iqbal latif said...

ntar nggak kuat nangkapnya gimana, dong? :)

akuAi Semangka said...

super sekali :D

akuAi Semangka said...

hooo... *manggut2 belajar nulis deskriptif

iqbal latif said...

deskriptifnya dapet kah?

akuAi Semangka said...

iyaa. Kalo aku yang mbuat mungkin cuma jadi begini: aku pergi ke Toga Mas. Dan perjalanan pulang menyadarkan bahwa banyak sekali yang berubah. Titik. :D

iqbal latif said...

kalu nulis tema2 begini lebih pake perasaan...jadi lebih lancar nulisnya, bisa panjang2

akuAi Semangka said...

aku kayaknya pake perasaan terus tapi ga bisa nulis panjang2 juga. Nasib!

iqbal latif said...

kalau pas jenis tulisan pakai pikiran, lama untuk menghasilkan tulisan.. Biasanya aku nulise lebih pendek...

sepertinya, tulisanku banyak yg berpanjang2 kata...

Arief Rakhman said...

wah, episode pulang kampung... bagus! mencintai ketidaksempurnaan.. hebat!

iqbal latif said...

he he..yup..yup...

mencintai untuk menyempurnakannya...

ibot werkudhoro said...

nice written..^^

iqbal latif said...

Smga bermanfaat...