Thursday, October 15, 2009

Akhir Dari Sebuah Kebersamaan

Maaf, maaf bila pada akhirnya kata ini terucap. Berat sebenarnya memutuskan sampai akhirnya keputusan ini keluar. Menimbang-nimbang. Lama. Menunggu akhir sebuah pertarungan akbar di dada. Ah, kau sudah terlalu lama bersarang di benak. Mengisi tiap nafas-nafas hidupku. Ikut andil mempengaruhi hari-hariku. Mengintervensi setiap keputusan-keputusanku. Kita sudah terlalu akrab. Sudah terlalu jauh masuk menuju ruang-ruang keintiman. Menginfiltrasi privasiku.

Tapi maaf, aku harus tegas. Aku harus bisa memutuskan. Dan jika pada akhirnya hari ini  aku putuskan untuk berpisah, itu semata –sekali lagi, hanya semata- untuk sebuah kebaikan. Tak ada baiknya lagi hubungan ini mesti dilanjutkan. Tak ada lagi. Sumpah tak ada. Melanjutkannya, tak lebih dari sebuah malapetaka besar. Akan banyak yang terbakar, akan bertumpuk lagi yang berkobar. Sudah! Sudahlah! Inilah jalan yang terbaik.

Sebab membersamaimu adalah sebuah kesalahan besar. Sebab orang besar telah menjelaskannya padaku, bahwa mempertahankanmu, tak lebih dari usaha meminum racun perlahan-lahan, tapi menginginkan orang lain yang terkapar. Bodoh! Sebuah imajinasi yang bodoh. Amat sangat tak berlogika.

Setelah ini, kumohon, pergilah! Jangan lagi menguntiti. Jangan lagi mencoba menggida. Jangan lagi mengetuk pintu-pintu hatiku. Biarlah aku tenang. Biarlah aku menikmati hidup tanpamu yang kutahu bakal lebih bahagia. Biarlah…! Biarlah! Pergilah! Pergilah sesuka hatimu. Jangan lagi berkeliaran di sekitaran yang memungkinkan mataku melihat wujudmu. Aku sudah tak sudi lagi. Enyahlah!

Selamat tinggal, dan kuharap tak lagi ada pertemuan.

Selamat tinggal, dan kuharap tak ada lagi reunian.

Selamat tinggal, dan kuharap tak ada lagi sisa-sisa perasaan yang tertinggal.

Selamat tinggal, benci! Selamat tinggal. Kau tak akan lagi menyertaiku saat aku berjalan di lorong-lorong. Kau tak akan ikut-ikutan mengusik hatiku ketika ada seorang bermuka cemberut tergesa berjalan. Aku akan berusaha tersenyum mengenyahkan tiap-tiap praduga yang dulu kau bisikkan. Menyenyuminya. Sebab bisa saja ia sedang sakit gigi, sebab bisa saja ia sedang dirundung masalah, sebab bisa saja karena ia begini, karena begitu. Dan senyumku, mungkin saja obat penawar itu semua. Dan aku berdoa semoga ia bisa tersenyum setelah itu.

Aku akan belajar mencintai. Mencintai semuanya. Meski ia telah menghardikku, meski ia menggunjingku,  meski ia selalu memalingkan muka tiap berpapasan denganku. Mereka hanyalah orang-orang yang terbelenggu olehmu. Mereka hanyalah orang-orang yang tak tahu.

Selamat tinggal! Dan kuharap kau mau enyah juga dari orang-orang.

 

7 comments:

sf.lussy dwiutami said...

Hush... Hush... ;D

akuAi Semangka said...

Weizz,,knapa om? Surat terbuka neh kayanya :D
jangan berlebihan.. Ga baik..

ladies me said...

emmmm

khaerudin sip said...

Great akhiiiii..... Muncul lagi iqbal yang tegas....

muslimah cerenz said...

gak dong saya baca cerita ini. emang tidak ada tokohnya ya

Manik Priandani said...

Memangnya kenapa? (sok nggak ngerti...dan memang nggak ngerti). Sabar saja...sesuatu akan ada akhir bahagianya...walau itu tak selalu akan tetap di kondisi setimbang (stabil). Kesetimbangan selalu harus diusahakan, karena hidup di dunia ini ada kondisi-kondisi yang mempengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal. Katalis menuju kesetimbangan adalah do'a, usaha, dan bersyukur. (Apa lagi ya?)

sofia kurniati said...

thanks .. tulisan yang mencerahkan ...