Monday, October 26, 2009

Guru masa kecil

Mari berbicara tentang guru-guru masa kecil kita. Saya yakin, masing-masing dari kita punya kesan mendalam terhadap guru-guru kita itu. Mungkin karena keunikannya dalam mengajar, ketelatenannya dalam menerangkan, kesabarannya dalam mendidik, atau mungkin karena kejadian-kejadian tak biasa yang terlalui bersama. Maka kita kemudian sulit untuk melupakannya. Kita akan dengan mudah menyebut kembali namanya meski tahun-tahun telah berlalu dan kita telah banyak melupakan nama-nama yang telah mampir dalam ingatan kita.

Dari sekian guru bahasa indonesia yang pernah mengajar saya, bu guru inilah yang paling saya sukai. Bukan karena ia cantik, tapi memang ia cantik. Bukan karena ia sabar, tapi memang ia sabar. Tapi karena cara mengajarnya benar-benar membuat bahasa indonesia menjadi mata pelajaran yang seketika begitu mengasyikkan. Meski itu mungkin subyektfitas saya dalam menilai.

Namanya Bu Esti (*mohon ijin bu untuk menyebut nama*). Waktu itu saya kelas tiga SMP ketika Bu Esti ini mengajar saya. Guru-guru bahasa indonesia sebelum dan sesudah itu mungkin cukup menyenangkan, tapi hanya bu Esti inilah yang membuat saya tertarik berpelajaran bahasa indonesia. Sebelum-sebelumnya mungkin saya sudah menyukai menulis, tapi lewat Bu Esti inilah saya semakin lekat dengan kata, kalimat, atau mungkin paragraf.

Salah satu yang saya sukai adalah dalam menerjemahkan kata-kata yang tak biasa. Baik itu kata serapan atau kata yang tak lazim digunakan. Beliau tak memakai kamus besar bahasa indonesia, tapi membebaskan kami untuk mengartikannya sesuai pemikiran kami. Semuanya ditampung. Lalu setelah itu, tibalah sesi menyenangkan itu. Beliau akan selalu meminta kita membuat kalimat dari kata-kata sulit itu. Membuat kalimat, sudah seperti menjadi menu harian kami. Tak ada kata yang terlewat tanpa dikalimatkan. Lalu satu persatu, tentu saja hanya beberapa yang terpilih, bakal memperdengarkan kalimat buatannya di dalam kelas. Begitu berkali-kali sehingga seolah-olah perkara membuat kalimat, dan juga paragraf, menjadi kegiatan yang paling dominan dalam pelajaran bahasa indonesia versi Bu Esti.

Penghargaan, itulah kemudian sisi lain yang saya sukai dari Bu Esti. Beliau tak segan untuk memuji sebuah kalimat majemuk yang bagus yang tak melulu berbentuk kalimat sederhana berpola S-P-O-K tanpa anak kalimat. Hal yang kemudian meningkatkan kepercayaan diri saya dalam berkalimat sebab sayalah termasuk murid yang sering mendapat pujian itu (*maaf ujub*).  Tapi untuk kasus yang sebaliknya, untuk sebuah kalimat-kalimat ‘biasa’ , beliau tak pernah menjatuhkan. Hanya murid-murid yang tak mau membuat kalimat yang ditugaskanlah yang mendapat teguran.

Hmmmm, saya tak tahu benar masalah pendidikan. Hanya saja, saya kadang berpikir, mungkin tak begitu banyaknya orang yang menyukai menulis, pendidikan inilah yang turut andil menyebabkannya. Tak terlalu banyak guru seperti bu Esti yang membuat menulis –mulai dari yang terkecil dengan membuat kalimat-  menjadi menyenangkan. Bahasa indonesia menjadi palajaran tak menyenangkan dan tak menimbulkan minat. Entahlah! Mungkin.

Lalu saya teringat, suatu ketika Bu Esti ini memeriksa PR kami satu persatu. Sehari sebelumnya memang beliau menugasi kami membuat paragraf perbandingan. Satu persatu memang tiap bangku beliau hampiri memastikan semuanya telah menyelesaikan paragrafnya. Kadang berhenti di satu bangku untuk membaca sampai tuntas, kadang hanya memastikan saja paragraf itu telah terbuat. Dan ketika sampai di bangku saya, beliau berhenti lama membaca paragraf yang saya buat (Bahkan saya masih ingat kala itu saya membuat paragraf yang membandingkan orang kota dengan orang desa). Demikianlah seterusnya hingga orang terakhir terlewati.

Selesai? Tidak! Beliau kemudian memanggil seseorang yang paling bagus paragrafnya untuk menuliskannya di kelas untuk diulas sebagai contoh. Anda mungkin menduga kalau saya lah yang bakal dipanggil sebab didepan bangku sayalah titik pemberhentian terlama Bu Esti kala memeriksa PR kami tadi. Tapi ternyata tidak. Bu Esti memanggil orang lain. Seorang teman perempuan.

Demikianlah, teman perempuan itu maju. Memungut kapur, menyalin apa yang ia tulis di buku ke papan tulis, lalu kembali ke tempat duduknya. Giliran Bu Estilah yang kemudian menjelaskan letak perbandingannya. Begini begitu. Sepeti ini seperti itu. Hingga selesai. Tapi di akhir penjelasannya itulah bu Esti mengeluarkan pernyataan yang mebuat saya bersorak tanpa suara. (*he he, kayaknya ini bakalan ujub lagi)

“Sebenarnya paragraf buatan Iqbal juga bagus, tapi kasihan kalau saya suruh maju. Bisa-bisa pingsan di depan kelas saat menuliskannya”

He he. Itu karena paragraf buatan saya panjang dan bakal melelahkan menuliskannya di papan tulis. Apalagi dengan kecepatan menulis saya di papan tulis yang payah.
Ternyata memang, Bu esti punya kalimat-kalimat kejutan untuk memotivasi kami. Sesuatu yang baru saya sadari bertahun-tahun berikutnya.

(Btw, terakhir kali bertemu beliau saya senang. Delapan bulanan yang lalu kejadiannya ketika saya melagalisir ijasah SMP saya sebelum berangkat ke Bontang. Beliau sekarang berjilbab! Dan terlihat masih (atau makin) cantik di usinya yang tak lagi muda)


2 comments:

akuAi Semangka said...

Hoho.. Mungkin khawatir temen2 ga bisa baca tulisan om jauh ^^v

*ciee yang paragrafnya bagus..

iqbal latif said...

he he... kok tw?? mungkin font-nya g bakalan tertemukan di komputer.... perpadfuan antara TNR, calibri, gothic