Thursday, October 1, 2009

Dia-Lo-Gue

Whushhhhhhhhhhhhhh (bayangkanlah tiba-tiba angin pelan berhembus dalam sebuah ruangan yang sebenarnya tertutup)

“kau datang?”

“ya! Seperti yang kau lihat”

“selamat malam!”

“malam! Ada apa?”

“berkunjung. Seperti malam yang dulu-dulu. Bukankah aku selalu berkunjung di saat yang tepat”

“bagaimana kau bisa begitu yakin?”

“kau tak perlu berkelit begitu. Pertanyaanmu justru menegaskan kebenaran pernyataanku tadi”

“ha ha… lucu sekali kau”

“mengapa kau tak tidur?”

“hei, aku sedang bekerja! Apa kau tak melihatnya? Mengapa kau sering bertanya apa yang sebenarnya kau ketahui dengan jelas?”

“Kau semakin cerdas saja. Seperti yang dulu-dulu, aku selalu datang saat kau belum juga tidur di sepertiga malam terakhir”

“apakah itu pujian? Jarang sekali kau melakukannya”

“terserah kau menafsirkannya. Bukankah itu bisa juga sebagai ejekan? Tapi ok-lah”

“Apa maumu?”

“akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutmu?”

“apa maumu?”

“aku melihatmu tergugu melihat evakuasi seorang ibu dari reruntuhan bangunan itu”

“bukan urusanmu”

“apa yang tiba-tiba kau pikirkan”

“bukan  urusanmu”

“apakah kau teringat seseorang”

“hei, aku sudah bilang! Itu bukan urusanmu”

“aku melihat matamu berkaca”

“…”

“apakah kau teringat ibumu?”

“terserah jika kau menganggapnya begitu”

“sayangnya tidak! Kau tidak benar-benar teringat ibumu. Kau hanya rindu kebaikan-kebaikannya. Kau ingat kasih sayangnya”

“hentikan jika kau tak ingin aku usir!”

“sayangnya aku belum bisa berhenti”

“hei!”

“kau rindu kasih sayangnya. Kasih! Sayang! Bukankah itu Ar-Rahman,Ar-Rahim! Kau tahu, sifat siapa itu?”

“jangan berlagak seperti trainer-trainer spiritual itu”

“terserah! Kau tahu, kau akan merindukan sesuatu saat kau jauh dari sesuatu itu. Lihatlah! lihatlah dirimu sekarang! Bukankah begitu jauh. Bahkan, bukankah kau semakin jauh”

“..”

“sedihnya, kau tak menyadarinya. Kau bahkan tak menyadarinya sama sekali. Kau menganggap dirimu dekat, tapi sejatinya jauh. Amat jauh”

“..”

“bukankah semuanya berasa hampa. Bukankah sudah tak ada jiwa dalam setiap lakumu. Bukankah itu seperti anak kecil yang rajin gosok gigi karena begitu ibunya mengajarinya. Tak pernah tahu mengapa ia harus melakukannya. Apa manfaatnya”

“..”

“apakah aku harus membeberkan semuanya? Tidak kan! Kau sudah lebih untuk bisa sekedar disebut dewasa. Kau sudah bisa mencernanya sendiri. Kapan kau terakhir kali bermuhasabah?”

“..”

“baiklah, harus aku hentikan semua ini sebelum kau benar-benar membisu. Mari! Ingat, kau masih punya banyak kesempatan”

“Tunggu!”

“..”

“terimakasih”

“ha ha. Baru kali ini kau mengucapkan kata itu….. Assalamu’alaykum”

“’alaykumsalam”

  

5 comments:

Lani Imtihani said...

sebuah pengingat,,,
makasih bal! ^^

akuAi Semangka said...

Gaya penulisan yg berbeda. Tapi ok juga.. Like this!

iqbal latif said...

keranjangharapan...>>sama2 mbak

akuai...>>komen yang berbeda. tapi Ok-lah

fifi hasyim said...

haha...kayak dialog dg sesuatu yg gaib...semacam,,,,hantu! tapi judulnya lucu...kreatif!

iqbal latif said...

aduh, itu judul kan dipakai buiat iklan layanan masyarakat pas pemilu kemarin... Kreatif dr mana..he he