Sunday, March 14, 2010

Dialog Dua Lelaki

Langit belum memerah benar kala dua lelaki itu berdiam diri tanpa kata. Angin rebah dan keduanya duduk bersama meski bersela. Di pelabuhan kota yang tak banyak aktivitas, dan suara ombak yang menenangkan, keduanya belum juga memulai pembicaraan. Sepuluh menit belalu sejak mereka memarkir mobil, melangkah 10 meter ke timur, lalu tanpa pikir panjang begitu saja duduk di bibir jalan beton yang menjorok ke laut. Mata-mata masih saja menerawang ke depan, tidak untuk menujui sebuah objek, hanya ingin memandang lepas tanpa perlu mata berakomodasi. Mencoba mencari ketenangan.

Mudah sekali mengenali mereka. Siapapun itu, siapapun yang tanpa sengaja memandang dua lelaki itu, akan langsung dapat menyimpulkan kalau mereka adalah dua generasi yang berurutan. Bahkan, bagi yang mau repot-repot menatap dengan lebih menyelidik, tentunya akan mampu menyimpulkan dengan pasti kalau keduanya adalah bapak dan anak. Terlalu tegas persamaan wajah keduanya. Hidung itu, dagu itu, bentuk rambut itu, dan…..tatapan itu, begitu kuat menggariskan kalau keduanya punya pertalian darah yang begitu rapat. Tak terbantahkan.

Dan, memang benar. Dua lelaki itu bernama Sam dan Bram. Sam, lelaki yang lebih tua, memang bapak dari lelaki yang lebih muda itu; Bram. Hanya, pemandangan yang tergambar itu sama sekali tak memperlihatkan kehangatan hubungan bapak anak.

“Kau ingat, kapan terakhir kali kita ke sini berdua?”, si bapak membuka percakapan. Pelan, tanpa perlu menolehkan wajah ke lawan bicaranya.

Hening. Hanya suara muda-mudi yang duduk beberapa meter disamping yang terdengar meningkahi sore. Enam puluh detik berlalu.

“Hampir sepuluh tahun yang lalu. Kau masih lima tahun kala itu”. Pada akhirnya, pertanyaan itu harus ia jawab sendiri.

Hening lagi. Menghembuskan nafas kuat-kuat, si Bapak masih saja asyik menerawang ke depan. Wajahnya masih tenang, meski itu sama sekali tak menunjukkan apa-apa yang sedang bergejolak dalam dada. Momen ini penting, kekeliruan sedikit saja akan merusak apa-apa yang bakal terbentang di depan. Cukuplah kiranya, cukuplah kemarahan istrinya beberapa jam yang lalu sebagai sebuah bentuk pernyataan ketidaksetujuan atas sikap anaknya. Tapi cukup! Cukup samapai di situ saja. Tak perlu berlarut-larut. Kemarahan tak pernah menghasilkan penyelesaian apa-apa selain bibit kemarahan yang lain. Ia sadar betul akan hal itu.

Sesungguhnya, sakit yang sama juga menghentak dadanya. Ingin juga rasanya melontarkan kata-kata keras itu, memuntahkan semuanya ke lelangit rumah, menghujani sulungnya itu dengan kata-kata sarkas yang mampu ia buat, tapi…..ah, ia bersyukur kesadaran itu lebih cepat menyusup. Seketika melumerkan batu karang yang membekap dadanya. Kemarahan itu memang sebenarnya wajar saja. Bagaimanalah, bagaimana seorang bapak tak akan marah jika mendapati laporan bahwa anaknya seminggu terakhir tak muncul di SMA-nya, padahal tiap paginya si anak rajin mencium tangannya berpamitan ke sekolah. Bagaimanalah, bagaimana seorang bapak tak akan marah, ketika sulungnya itu, anak yang benar-benar ia harapkan, ketika dikonfirmasi akan hal itu malah dengan enteng menjawab, ‘males, Pa! Ribet sekolah. Ngerjain PR, ndengerin guru-guru yang membosankan, nggak boleh ini, nggak boleh itu. Lebih enak nongkrong-nongkrong saja sama temen-temen. Hepi-hepi’.

Kemudian, ia hanya bisa menyeret anak sulungnya itu, persis setelah istrinya tak punya lagi kosakata untuk melukiskan kekecewaan atas perilaku anaknya. Mendudukkanya dalam mobil, dan ia mulai menjalankan mobil itu membelah jalanan. Sudah tak ada lagi seringaii marah dalam wajahnya, tak juga ada sorot kecewa dalam tatapan matanya. Ia sadar, inilah saat dimana kebapakannya tengah diuji.

Pelabuhan inilah tempat kemudian mereka menuju.

“Kau paling suka bila kuajak ke pelabuhan ini. Berlari-larian sepanjang jalan beton ini. Cuek meski mama papa berseru khawatir. Kau sering jahil mengerjai papa dengan berpura-pura akan terjun ke laut itu”

“Sudahlah, Pa!”

“Maafkan papa kalau kemudian papa tak punya lagi waktu untuk mengajakmu ke sini. Maafkan papa jika tak punya waktu lagi main-main bersamamu sejak saat itu. Meski kau seringkali merengek minta ditemani ke pelabuhan ini. Ah, waktupun  berjalan. Enam tahun, delapan tahun, dua belas tahun, dan kini…… kau telah lima belas tahun. Papa tahu kau sudah mulai bisa bermain ke sini sendiri dengan teman-temanmu. Tanpa papa”

“Sudahlah, Pa! Itu sudah lama berlalu”

“Tidak, anakku! Ini penting. Berjanjilah! Berjanjilah kau mau memaafkan papa!”

Bram, si anak muda itu, hanya bisa menerawang. Menikmati cericit camar. Ia sama sekali tak punya persediaan kalimat untuk momen seperti ini. Sungguh, ia jauh lebih siap untuk sebuah caci maki, untuk sebuah kata-kata kasar sekalipun, untuk sebuah panggilan ‘anak kurang ajar’, tapi…untuk sebuah ucapan permintaan maaf, untuk sebuah panggilan ‘anakku’, ia tak punya antisipasi apapun untuk itu.

“Bram yang harusnya minta maaf”, hanya kalimat itulah yang pada akhirnya keluar,”Bram sudah keterlaluan mengucapkan kalimat itu di depan mama, di depan papa”

Sam menarik napas panjang. Ada bongkah-bongkah yang mulai mencair.

Beberapa jenak kembali berlalu. Seorang bapak tua nampak berhasil mengail seekor kerapu.

“Kau lihat bangunan pabrik di kejauhan itu?”

Bram menoleh. Iya?

“Di situ, terdapat alat yang bernama Steam Turbine Generator. Bisa menghasilkan listrik bermega-mega watt. Untuk kemudian disalurkan buat menggerakkan listrik, menyalakan lampu. Sebentar lagi, saat gelap mulai menyelimuti kota, kerlap-kerlpi indah yang terlihat dari sini, itu salah satunya karena listrik yang dihasilkan generator itu. Seperti namanya, generator itu digerakkan oleh steam, oleh uap air. Dan tahukan kau, darimanakah steam ini bermula?? Dari laut ini, Anakku”

“,,,”

“Kau pasti bertanya-tanya, bagaimanakah caranya. Bukankah pelajaran di sekolah menjelaskan kalau kesadahan air laut itu tinggi, bahwa ia begitu korosif, bahwa ia akan menimbulkan kerak di tiap perlatan yang ia singgungi. Ya, fakta-fakta itu semuanya benar. Untuk itulah, sangat panjang perjalanan yang dilalui oleh air laut ini hingga ia bisa menjadi steam yang lebih bernilai itu, yang bisa menggerakkan generator itu. Air laut ini begitu berlimpah, begitu banyak. Ia menjadi sesuatu yang ‘kebanyakan’. Tapi, ketika ia telah bermetamorfosi menjadi steam, ia menjadi lebih bernilai. Ia menjadi mahal. Mahal dalam dua pengertian, denotatif maupun konotatif.

“Mula-mula air laut ini melewati fase desalinasi. Air lau ini ditawarkan. Dengan apa? Dengan banyak cara. Tapi yang lebih umum adalah dengan diuapkan, dengan dipanaskan. Uap yang diperoleh itu kemudian dikondensasikan lagi. Diembunkan. Untuk kemudian melewati tahapan selanjutnya. Tentu saja, tak semua air laut itu teruapkan. Tak semua air laut mampu melewati tahapan ini. Hanya 10 % saja yang berhasil teruapkan, yang berhasil menjadi tawar”

Langit mulai memerah. Pasangan muda-mudi semakin banyak memenuhi bibir jalan.

“Tahap selanjutnya adalah demineralisasi. Uap air yang telah terkondensasi itu memang telah tawar, tapi ia sama sekali belum memenuhi syarat untuk bisa menjadi steam bertekanan tinggi. Maka ia perlu dimurnikan lagi, didemineralisasi, dihilangkan mineralnya, hingga ia memang benar-benar air murni, benar-benar H2O. Di sana, di pabrik itu, alat yang dipakai adalah Mix Bed exchanger. Air tawar tadi melewati semacam zat yang disebut resin. Semacam disaring. Mineral-mineral akan terikat dalam resin itu, hingga air yang keluar menjadi air yang bebas mineral, meski tak sepenuhnya ‘bebas’. Setidaknya, ia telah memenuhi baku mutu yang ditentukan.

“Cukup? Tentu saja belum. Air bebas mineral tadi masih perlu dibersihkan dari polutan-polutan lain. Ia perlu dibersihkan dari oksigen terlarut dalam air tersebut. Oksigen tersebut akan sangat berbahaya untuk proses lanjutannya. Untuk itulah ia perlu ditangkap dari air. Maka ditambahkanlah zat kimia untuk menangkap oksigen itu”

“Apakah papa sedang berbicara tentang perjuangan hidup, tentang tahapan-tahapan ‘menyakitkan’ yang mesti kita lalui untuk menjadi seorang pemenang?”

“Papa berbicara tentang air laut. Terserah bila kau menafsirkan seperti itu. Kau tahu, disanalah papa mengahbiskan hari-hari, disanalah Papa bergelut dengan pekerjaan’

Hening…. Enam puluh detik kembali berlalu lambat.

“Baiklah, ijinkan papa melanjutkannya… “, menarik napas panjang, “Tahap terkahir adalah penguapan. Air itu diubah menjadi steam. Inilah saat yang paling menyakitkan itu, inilah saat yang paling kritis itu. Sebab ini adalah fase perubahan, fase cair menjadi fase gas. Di sebuah sistem perlatan yang disebut boiler, air ini dipanaskan dengan suhu tinggi, dengan tekanan yang tinggi pula. Keteledoran sedikit, kesalahan sedikit, bisa menyebabkan boiler ini meledak. Dan itu artinya bencana.

“Tapi, anakku, dengan prosedur yang benar, dengan langkah-langkah yang tepat, air tadi akan keluar dari boiler ini dalam bentuk steam yang berenergi tinggi, yang akan mampu menggerakkan steam turbine generator tadi. Sekarang, coba kau lihat karyanya. Bukankah kerlip lampu itu begitu indah dipandang. Bukankah kerlip lampu itu begitu semarak mencahyai.”

Suara adzan Maghrib terdengar dari masjid. Satu dua muda-mudi mulai meninggalkan pelabuhan. Melangkah gontai menelusuri jalan beton.

Si Bapak, sudah akan bangkit dari duduknya, kala tangannya terhalangi oleh sebuah pegangan. Ia menoleh.

“Besok bram akan masuk sekolah. Tapi bukan untuk Papa.”

Si Bapak meneruskan bangkit.

24 comments:

antung apriana said...

pertamax

Raya Bertasbih ^__* said...

cool, ilmiah bgt penjelasannya.

iqbal latif said...

baru kali ini ada yg komen 'pertamax' di postingan saya

iqbal latif said...

hanya berbicara tentang pekerjaan saya.. :)

antung apriana said...

hehehe...maaf ya mas kalo ga berkenan...

iqbal latif said...

hanya bicara pekerjaan saya

iqbal latif said...

he he..gpp kok...tenang saja :)

Raya Bertasbih ^__* said...

hmm.. pantes, ngerti bgt.

haitami bin masrani said...

steam, turbine, boiler,...kata - kata yang tak asing untuk saya juga Mas. Bedanya saya tak bisa menempatkan mereka dalam bagian sebuah cerita. Bukan hanya sekedar nampang...

Terima kasih Mas, saya suka tulisan ini.....

antung apriana said...

akhirnya kebaca juga tulisannya hehehe..
mas kalo tulisannya diperbesar bisa ga? soalnya saya agak silau bacanya

ria kiswandini said...

waduh,,sudah siap jadi bapak bal..fotonya juga,,background nya ..olala..

iqbal latif said...

iya..yah mas??.....batubara kan??

ditunggu ceritanya kalau begitu.. pasti bisa! :)

iqbal latif said...

masak kekecilan sih??? sekarang sudah kah??

antung apriana said...

yup yang ini sudah lebih enak bacanya...
maklum nih...matanya sudah 4..hehehe

antung apriana said...

btw ini cerpen ya?

iqbal latif said...

:) :D

iqbal latif said...

nggak tahu juga.... :)

khaleeda killuminati said...

Steam Turbine Generator, Mix Bed exchanger, itu jenis makanan apa ya? enak gak? *gak mudeng*
si bapak kayaknya seprofesi ma antum ya?

iqbal latif said...

makanan enak...sampai membuat makanan lain jadi berasa g enak... :)

Chifrul S said...

wah enak juga kalo belajar ilmu Tekkim [dan teknik lainnya juga] dengan gaya bercerita seperti ini.
Gimana kalo antum bwt novel berdasarkan Geankoplis? hehehe


*geankoplis : "kitab suci" orang tekkim

iqbal latif said...

ke sini saja g bawa geankoplis chip.. Maklum, dulu saja pinjem :)

Manik Priandani said...

Keren!. Beginilah hasil tulisan seorang Penulis sekaligus Tukang Insinyur "Boiler"....

Manik Priandani said...

Oh iya nambah...filosof juga (dan ada bakat sebagai motivator). Go..go...go....!

iqbal latif said...

@bu manik---->he he..sok-sokan saja itu, bu!! :)