Wednesday, March 31, 2010

SENSITIVITAS

Dulu, kira-kira setahunan yang lalu, saat saya pertama kali memasuki kompleks pebrik ini, saya bisa merasakan sesuatu yang menyakitkan menusuk-nusuk gendang telinga saya. Memasuki daerah dengan kebisingan hingga mencapai 110 db, dan lebih terbiasa dengan suara-suara pelan, kebisingan itu berasa seperti serbuan tiba-tiba yang memaksa saya untuk segera menggerakkan jari menutup lubang telinga. Refleks. Berharap akan ada penurunan kekuatan suara kala lubang telinga itu tersumbat tangan saya.

Itu kemudian ternyata hanya di awal-awal. Hari-hari berlalu dan saya mulai familiar dengan dua buah piranti bernama ear plug serta ear muff. Sartu jenis  peralatan safety yang wajib dikenakan untuk meredam efek kebisingan yang setia menyergap. Dengan alat itu menempel di telinga saya, masih ada memang kebisingan yang menerabas masuk dan tertangkap indera dengar saya, tapi itu dengan intensitas yang jauh dari yang sebenarnya. Kedua alat itu telah berhasil mereduksinya. Meredamnya hingga efek ‘kesombongan’ dini itu bisa dicegah. Maka jadilah, salah satu alat itu setia menemani kami menjelajah area pabrik oleh sebab dua hal : karena kebisingan itu menyakitkan dan karena kami tak ingin mengalami penurunan pendengaran.

Kini, setahun berlalu, tiba-tiba saya menemukan sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang saya lakukan dulu. Kini saya mulai kerap memergoki diri saya sendiri enak saja jalan di areal pabrik tanpa ada pelindung telinga. Bukan karena kebisingan itu tak ada, tentu saja kebisingan 110 db itu masih gagah perkasa meningkahi suasana, tapi hal itu terjadi lebih karena saya kerap kali secara ajaib tak menyadari telah berjalan di area dengan kebisingan di atas normal. Anda mungkin bertanya, kemana saja telinga saya… Tenang, telinga saya masih normal, masih ada dua dan insyaAllah masih berfungsi dengan baik. Anda tak perlu berteriak keras-keras kalau hanya untuk memanggil saya. Tapi saya, dalam hal ini, lebih suka mengalamatkan penyebab hal tersebut pada sebuah kata : SENSITIVITAS.

Sensitivitas! Ya, setahunan yang lalu, saya memang terbiasa  dengan intensitas suara yang normal-normal saja, maka ketika tiba-tiba telinga saya disergap kebisingan yang abnormal, itu akan terasa jelas mengganggu dan tak butuh lama bagi saya untuk refleks menutupkan sesuatu ke telinga. Ada renggang yang lebar antara intensitas suara normal yang menjadi kebiasaan dengan kebisingan abnormal yang tiba-tiba datang. Sesuatu yang tak biasa yang membuat saya amat mudah mengenalinya. Sebab begitulah, kita lebih mudah menangkap ketakbiasaan. Kini, ketika kebisingan itu menjadi menu harian saya, ketika setiap hari saya rasai keberadaannya meski dengan ber-ear muff ria, maka tak ada lagi jarak itu. itu menjadi dekat saja, menjadi biasa-biasa saja, hingga saya jadi alpa untuk menyadari bahwa saya telah berada di sebuah areal dengan kebisingan abnormal tanpa pelindung telinga. Saya telah mengalami penurunan sensitivitas atas kebisingan. Maka jadilah, kesadaran akan bising itu sering kali telambat. Ada waktu tenggat yang parah.

Masalah sensitivitas ini, tentu saja kalau tidak disikapi dengan bijak bakal menjadi bumerang. Ketika saya menganggap sepele masalah ini dan enak saja tak memakai pelindung telinga kala di lapangan—oleh karena perasaan bahwa kebisingan itu tak lagi menyakitkan mungkin, maka penurunan sensitivitas itu bakal menjalar lebih jauh ke sebuah efek yang lebih permanen : penurunan pendengaran. Dan efeknya parah. Jika penurunan sensitivitas tak menyebabkan orang lain berteriak-teriak untuk memanggil kita, maka penurunan pendengaran justru menyebabkan efek yang berkebalikannya. Amat-amat berbahaya.

Sensitivitas! Ya, satu kata itu, yang berawal dari kealpaan saya memakai ear muff padahal alat itu sudah dengan indahnya bertengger di helm yang sedang terpakai, ternyata kemudian berhasil membawa saya ke kesadaran-kesadaran lain terkait sensitivitas. Sensitivitas ini ternyata juga berlaku pada hal-hal lain. Ketika saya mulai ‘nyaman’ berbohong dengan tak lagi ada degup kencang tak nyaman yang menyertainya seperti dulu, itu karena sebab sensitivitas saya akan hal tersebut mulai jauh berkurang. Saya sudah terbiasa dengan hal itu, sudah biasa melihat pertunjukan kebohongan di depan saya, sudah biasa dibohongi juga. Hal itu berlangsung terus menerus dan tak ayal menggerogoti sensitivitas saya yang amat mungkin saat-saat tersebut abai untuk memakai piranti safety macam ear muff tadi. Saat sensitivitas saya akan kebohongan menurun dan menganggap biasa sebuah kebohongan, maka tinggal tunggu waktu saja kalau kebohongan itu saya sendirilah pelakunya. Dan itu sungguh-sungguh berbahaya.

Kawan, begitulah. Jika kita mulai tak begitu menyesal saat terlambat sholat berjamaah, atau tak lagi panik saat menyadari hafalan yang masih itu-itu saja, atau tak lagi tak enak hati mengambil makanan berlebihan padahal tak jauh dari kita ada banyak yang bahkan tak mampu mengecap sebutir nasi, itu barangkali karena sensitivitas kita akan hal-hal tersebut yang telah terdegradasi. Kita terlalu sering bergelut dalam kubangan yang membiasakan hal itu. Waktu demi waktu, hingga kitalah pada akhirnya yang menganggap biasa hal itu.

Jika memang begitu, karena memang kubangan itu sudah menjadi keseharian kita, agaknya kita perlu sering-sering mendatangi komunitas-komunitas lain yang berkebalikan dengan kubangan tadi. Sebuah forum yang justru mempertajam sensitivitas kita. Sebuah majlis yang kebaikan selalu menjadi aromanya. Sebagai benteng. Sebagai penyeimbang. Mungkin itu berumur beberapa menit saja dalam sehari, atau dengan intensitas pekanan, atau yang lain.

Ah, pengingat itu memang benar, bahwa salah satu tombo ati, iku serawung karo wong sholeh…

Jaga kami Ya Allah…!

 

(sebuah tulisan yang lebih banyak buat pengingat diri sendiri)

11 comments:

Lani Imtihani said...

waaa...helm mickey mouse...aku mau...lucu,,apalagi yang penutupnya merah :D
ckck..makanya prosedur safety diperhatiin pak..

iqbal latif said...

itu intinya saya kayak mickey mouse gt...

sdh diperhatiin kok?? (ini nih, komen orang kantor.. :p)

Lani Imtihani said...

ga ada yang bilang loo..

lah..emang bener prosedur harus diperhatiin..(eh,,tapi kalo aku ke dalam nda pernah pake safety shoes jg ding :D)

Lani Imtihani said...

Eh,,ngomong2..aku agak kurang "ngeh" dengan penarikan kesimpulan kesensitivitas..dari cerita helm mickey mouse itu pindah ke sholat dan forum..agak jauh yaa..mungkin kalimat penyambungnya kuran gpas,,,tapi ini dariku lo yaaa

desti . said...

iya,, same with mb Lani.... (???)

iqbal latif said...

masak sih......??!!!
masak harus kuterangkan... ha ha

*kalo yg bingung berarti bener2 mbacanya...

Manik Priandani said...

Benar...

Pemikir Ulung said...

jangan berlama-lama, kata ustadz fadhyl usman baharun

nice!

iqbal latif said...

disegerakan saja kalo begitu ya! :)

Pemikir Ulung said...

sok atuh!!!

iqbal latif said...

apanya sok-sokan? :)