Friday, October 15, 2010

Dongeng negeri Kami



Jika kau datang ke kota kami, dan mempunyai cukup waktu untuk mendengarkan sebuah kisah, maka duduklah sejenak bersama kami. Dengarkanlah cerita yang disampaikan turun temurun oleh ibu-ibu kami setelah lelah bekerja seharian. Tidak panjang. Dan semoga kau tak bosan mendengarnya. Cerita inilah yang diceritakan dengan suara lembut menjelang tidur kami. Tentu saja bukan agar kami lekas tertidur. Mana mungkin kami tertidur oleh cerita semacam ini. Cerita itu diceritakan karena memang kami butuh cerita. Sama halnya anak-anak yang lain juga membutuhkan cerita. Juga, sama seperti halnya ibu-ibu membutuhkan cerita untuk diceritakan pada anak-anak mereka.

Marilah, mari dengarkan cerita yang turun temurun diceritakan di kota kami. Cerita yang diciptakan oleh tetua kota kami. Dulu, dulu sekali. Saat orang-orang tua tak lagi punya cerita untuk diceritakan. Semoga saja cerita ini berguna. Tentu kau sudah tak mempunyai cerita untuk kau ceritakan pada anak-anakmu menjelang tidur mereka. Tentu, karena ceritamu telah dirampas cerita-cerita di sinetron itu. Tentu, karena ceritamu telah diburamkan oleh cerita-cerita lain. Tentang cerita pembantaian itu, penganiayaan itu, serta hal-hal sejenis yang sayangnya berhulu pada satu bentuk : kebiadaban .

Mari, mari dengarkan.....




Dahulu kala, berpuluh tahun yang lalu, ketika tahun baru saja memasuki millenium ketiga, tersebutlah seorang lelaki muda duduk kedinginan di kursi halte bus kota. Meski ia sedang duduk di sana, tentu saja ia tidak sedang menunggu bus kota, apalagi memanggil taksi. Tidak. Sama sekali tidak. Kau bisa melihatnya dari sepeda kayuh yang tersandar tak jauh dari duduknya. Tentu, seperti hari-hari biasanya, lelaki muda itu membawa sepeda.

Hari itu hujan deras. Entah ini pertanda apa, tapi seketika saja langit menjadi gelap. Awan pekat mengungkung kota. Dan tiba-tiba saja, tak lama setelah itu, air seolah begitu saja tumpah dari langit. Amat lebat. Sungguh menggetarkan melihat hujan selebat itu. Dan seperti biasanya, bila hujan datang, maka pemandangan di jalan-jalan yang terlihat adalah kendaraan yang saling berpacu. Beradu cepat sampai tujuan. Tak lagi peduli tentang keselamatan. Semuanya tiba-tiba menjadi pembalap kelas nasional.

Tapi tidak dengan lelaki muda itu. Ia memilih menepi. Menyandarkan begitu saja sepeda kayuhnya di pagar besi pembatas jalan. Memilih berteduh di halte bus yang sepi. Entah kenapa gerangan kali ini ia memilih menepi. Dulu-dulu, ketika hujan datang tatkala ia sedang dalam perjalanan seperti ini, maka ia tak pernah menghiraukan itu. Tetap saja ia kayuh sepeda bututnya melawan terpaan hujan. Tak peduli. Toh memang tak ada yang perlu ia takutkan bakal lecek terkena hujan. Tak perlu ada yang ia lindungi. Tidak juga tubuhnya. Sejak kecil ia sudah terbiasa terguyur hujan seperti ini. Jadi tak perlu terlalu mengkhawatirkan tentang datangnya pilek-pilek, demam-demam, atau yang lain. Apalagi jauh-jauh memikirkan hujan asam.

Tak ada lagi selain lelaki muda itu yang duduk di halte tersebut. Tak ada, karena memang untuk apa? Tak mungkin memang orang mau duduk di halte itu dalam keadaan seperti ini. Untuk berteduh pun percuma. Ya, percuma. Karena dengan leluasa air akan menerobos mengingat angin yang berhembus kencang. Menerpa semuanya. Lalu apa yang sebenarnya dilakukan lelaki muda itu? Tak jelas. Tak ada gunanya memang ia berteduh di halte ini karena tetap saja dia basah kuyup terdera hujan. Ia hanya duduk terdiam. Mengangkat kaki menaiki bangku, melipat lutut, membenamkan wajah di sela kedua lutut yang tertekuk, lalu terakhir melingkarkan kedua tangan mendekap kedua kaki itu. Dan lagi-lagi membisu. Orang-orang yang melihatnya akan segera menyimpulkan kalau dia sedang menggigil kedinginan. Padahal sebenarnya tidak. 

Tak lagi ia hiraukan mobil-mobil yang melaju kencang. Tak ia pedulikan hujan yang kian menderas. Tak juga ia ambil pusing halilintar yang begitu keras menggelegar. Sama sekali tak ada yang ia pedulikan. Ia sempurna mematung. Amat memedihkan melihatnya.

“Apa yang kau pikirkan, anak muda?”

Sebuah suara. Sontak pemuda itu mengangkat wajah. Terkejut. Sejak kapan ada orang yang membersamainya.

“Apa yang kau pikirkan, Dani”.

Seorang tua. Memakai kain putih tipis yang dengan ajaibnya tak merasa kedinginan sedikitpun. Dan, hei...!

“Dari mana kau tahu namaku?”

“Tentu saja aku tahu, Dani. Untuk apa aku datang ke sini kalau aku tak tahu namamu”

“Apa….apa yang Engkau inginkan?”

“Menemuimu. Ya, hanya menemuimu. Berbicara sebentar denganmu. Tak akan lama. Apakah kau keberatan?”

Menggeleng. Lelaki muda itu hanya bisa menggeleng. Keterkejutan pada akhirnya membuat ia mengikuti saja ‘permainan’ ini.

“Ah, kenapa kau masih memikirkan hal itu, Dani? Kenapa kau tetap saja memikirkan tentang mengapa kau tetap saja begini? Mengapa kau tetap memikirkan mengapa-mengapa itu. Tentang mengapa kau tetap saja harus bekerja keras seperti ini bahkan ketika usiamu sudah menapak 20 tahun. Tentang mengapa kau mesti berhujan-hujan begini sementara yang lain mungkin sedang hangat bergelung guling di ranjang. Juga , tentang mengapa hidup seolah tak adil bahkan setelah semua penderitaan dan kerja keras itu. Mengapa kau tetap harus berdarah-darah memperjuangkan hidup sementara yang lain tertawa-tawa menikmatinya.”

“Mengapa kau tahu?”

“Kau bertanya lagi. Tentu saja aku tahu, Dani”

“Siapa kau-?”

“Tak penting siapa aku, Dani. Jauh lebih penting menanyakan siapa Kau?”

“Siapa aku? Permainan macam apa ini. Tentu saja aku tahu siapa aku. Tolong, tolong katakan apa sebenarnya maumu?”

“Untuk mengajakmu kembali, Dani”

“Kembali--?”

“Ya, kembali. Kembali yang akan menjawab semua pertanyaan itu. Kembali yang semoga membuatmu menjadi lega.” Lelaki tua itu mengalihkan pandangannya. Ke depan. Ke jalanan yang perlahan mulai sepi dari deru kendaraan. “Lihatlah ke depan, Dani. Lihat! Apa yang sekarang kau lihat?”

Ajaib. Tiba-tiba saja diantara hujan yang masih lebat itu, tergelar begitu saja sebuah pertunjukan. Tidak! Bukan satu, tapi dua pertunjukan. Tiba-tiba saja tergelar dua buah layar yang menampilkan dua potong kejadian. Begitu nyata.

“Apa yang kau lihat di layar sebelah kanan, Dani?”

“Bagaimana...Bagaimana bisa terjadi?”, anak muda bernama Dani itu tergeragap. Tak siap untuk melihat keajaiban ini.

“Jawab pertanyaanku, Dani. Apa yang kau lihat?”

“Ibu! Itu ibu”

“Benar sekali, Dani. Itu ibumu. Ibu yang kau cintai yang mungkin sekarang sedang merindukanmu, mendoakanmu di rumah. Dan anak kecil itu, Dani, yang menangis karena baru saja terjatuh itu, tentu saja itu kau. Itu kau, Dani. Kau pasti tak tahu, karena tak ada selembar foto pun yang bisa memberi tahumu tentang wajah kecilmu. Ibumu tak mungkin sempat untuk hal itu.

“Saat itu usiamu empat tahun, Dani. Lucu-lucunya. Ah bahkan kau lihat itu, kau tetap lucu meski sedang menangis. Tahukah kau mengapa kau menangis di areal persawahan itu? Saat itu kau berlarian, Dani. Kau berlarian di pematang sawah itu. Tentu saja ibumu membiarkanmu berlarian karena ia juga sibuk menyiangi rumput yang mengganggu tanaman sayurnya itu. Tak terlalu memperhatikanmu. Dan bisa ditebak, kau terjatuh dipematang sawah itu. Lalu menangis . Menangis keras.”

“Menangis--?”

“Ya, Dani. Menangis!” Lelaki tua itu menghela napas. Seolah menikmati betul raut keterkejutan yang tergambar jelas di wajah dani. “Lalu coba lihat di layar satunya. Seorang ibu dan anak kecil juga. Empat tahun juga sepertimu pada kala itu. Ini waktu yang sama saat kau menangis di sawah itu, Dani. Tapi tentu saja itu di kota yang jauh denganmu berada . Dengan latar tempat yang juga jauh berbeda. Itu mall, Dani. Mall! Pusat perbelanjaan yang saat kecil begitu ingin kau kunjungi.

“Lihatlah! Anak kecil itu menangis juga, Dani. Sama seperti kau, ia juga menangis. Menangis karena terjatuh. Dan tahukah kau kenapa ia terjatuh? Sama seperti kasusmu, Dani, karena ibunya mengabaikannya. Anak itu tiba-tiba memisahkan diri dari ibunya. Anak itu kebosanan, Dani. Anak itu kebosanan mengikuti ibunya yang sejak sejam lalu sibuk memilih pakaian mana yang harus ia beli”

“Lalu apa bedanya?”

“Tentu saja banyak bedanya, Dani. Bukankah ini yang beberapa kali kau sebut dengan ketidakberuntungan itu. Tentang nasib yang memaksamu sekecil itu harus bergulingan di pematang sawah yang mungkin saja penuh ular. Marilah kita lihat, Dani, marilah kita lihat apakah kau memang tak seberuntung itu.

“Tahukah kau, Dani, sebenarnya bapakmu telah melarang ibumu untuk membantunya di sawah. Bapakmu menginginkan ibumu biar mengasuhmu saja di runah. Menemanimu bermain. Tapi ibumi bersikeras ingin membantu, Dani. Ia bersikeras mengajakmu untuk ikut serta ke sawah. Meyakinkan bapakmu bahwa itu tak apa-apa, bahwa itu bagus untuk perkembangan psikologismu. Meyakinkan bapakmu bahwa mereka berdua harus lebih bekerja keras menjelang pendaftaran sekolah untukmu. Hingga terjadilah apa yang kau lihat itu, Dani. Kau lihat ibumu yang begitu sibuk mengurusi tamanam itu hingga terlupa olehnya dirimu. Ia sibuk, ia sibuk memikirkan baju seragam sekolah buatmu yang harus segera ia beli.

“Lalu coba lihat kembali layar satunya yang kau sebut dengan keberuntungan itu, Dani. Perempuan itu juga lalai, lalai menjaga anaknya. Tapi penyebabnya lah yang membedakannya, Dani. Perempuan itu lalai karena ia sibuk memilih baju yang bakal ia beli. Ia sibuk memilih baju manakah yang paling cocok digunakan menghadiri pernikahan puteri pejabat itu. Ia ingin terlihat wah, Dani. Ia dilanda euforia membayangkan begitu anggunya ia memakai stelan baju pesta yang dilihatnya. Dan ia melupakan anaknya. Lupa, Dani. Anaknya menjadi sama sekali tak penting. Ia baru sadar tatkala mendengar tangis anaknya itu. Berlagak tergopoh-gopoh mencari, menghampiri anaknya. Mendekapnya. Tapi kepalsuan tak mempunyai arti apa-apa di mata anak-anak, Dani. Itu sama sekali tak mampu meredakan tangisnya. Anak itu semakin menangis kencang. Membuat ibu muda itu salah tingkah dilihati orang-orang. Tentu saja ia tak terbiasa menangani anaknya yang rewel seperti itu, Dani. Tentu saja, sebab biasanya bukan dia yang mendiamkan anaknya yang rewel. Baby sitter, Dani. Baby sitter yang biasa melakukannya.

“Tapi lihat ibumu, Dani. Ibumu tak panik. Ibumu hanya tersenyum kecil melihat kau menangis. Ia menghampirimu, mendekapmu. Bercup-cup ria sambil bergumam pelan: ‘anak ibu nggak boleh nangisan. Harus kuat. Ayo, mana yang sakit biar ibu lihat. Sudah..sudah nggak papa gitu’. Dan berbeda dengan anak kecil tadi, Dani, kau seketika terdiam. Rapat memeluk ibumu. Merajuk sebentar. Bermanja-manjaan sekejap. Dan sepuluh menit berselang, kau sudah sibuk bermain kembali di pematang sawah itu. Sendiri. Ibumu bisa kembali melakukan pekerjaannya”

“Hentikan!”

“Kenapa, Dani? Oh ya, maaf kalau itu mengingatkanmu pada alamarhum bapakmu. Maaf. Itulah mengapa bapakmu tak ditampilkan dalam tayangan itu, Dani. Bapakmu sebenarnya ada juga di sawah itu. Tapi jauh dari kalian berdua. Dia sedang mengecek aliran air yang mengairi sawah.

“Tapi maaf, Dani, meski kau tak bersedia, aku mesti melanjutkannya. Meski kau masih mengingat almarhum bapakmu, aku mesti meneruskan cerita ini. Kau sudah melihatnya, Dani, dan kau berkesempatan menerima penjelasannya. Sekarang mari kita jawab pertanyaan itu, Dani, pertanyaan yang sering kali begitu mengusikmu. Inikah yang kerap kau sebut dengan ketidakberuntungan itu, Dani? Inikah? Benarkah kau lebih tidak beruntung dibandingkan anak itu? Aku tahu kau sudah memiliki jawaban, Dani, tapi tak perlu kau jawab sekarang. Simpan saja. Karena masih banyak yang ingin aku tunjukkan padamu. Masih banyak penjelasan yang harus aku sampaikan padamu.”

“Masih banyak--?”

“ya, masih banyak. Tapi kita harus berhenti sejenak. Kita perlu menikmati hujan ini bukan?. Hujan ini rahmat. Meski orang-orang mengatakannya sebagai penyebab banjir, biang longsor, atau hal-hal jelek yang lain. Tapi tetap saja hujan ini adalah anugerah, Dani. Ada janji kehidupan dari titik-titiknya. Hanya manusia saja yang serakah, Dani. Memenuhi sungai-sungai itu dengan sampah-sampah, menggunduli hutan-hutan itu dari pepohonan. Mengacaukan segalanya”

Anak muda itu hanya mematung.

“Dan aku ke sini juga karena hujan, Dani. Tadi, ketika hujan pertama kali menetes dengan derasnya, orang-orang pada mengutuknya, sumpah serapah menguar dimana-mana. Mereka tak siap mendapati hujan setiba-tiba itu. Lupa kalau dulu mereka mengharapkan hujan cepet turun kala kekeringan melanda. Tapi kau tidak, Dani. Saat hujan tiba-tiba saja turun, kau justru tersenyum. Menggumam syukur karena itu memberimu waktu mendinginkan diri. Sejenak bermain-main. Lepas dari problematika hidup. Itulah jawaban mengapa kau mendapatkan kesempatan ini, Dani.

“Kau selalu mencintai hujan. Sejak dulu. Kau teramat bandel untuk masalah ini. Kau gemar sekali hujan-hujanan. Meski ibumu sudah teriak keras-keras. Meski halilintar menggelegar keras mencekam bumi. Kau tetap saja asyik bermain di pancuran air yang mengucur dari talang tetangga itu. Saling berebut dengan teman-teman kecilmu, yang sama seperti kau, juga bandel untuk masalah hujan ini”.

Anak muda itu menelam ludah. Tersenyum kecut mendengarnya. Kata-kata pak tua itu cukup mengingatkannya akan kesenangan-kesenangan kecil itu. Hal yang teramat langka baginya.

Beberapa menit berlalu dengan hening. Meski tentu saja itu bukan berarti tak ada suara. Rinai hujan masih keras menerpa apa saja. Gaduh. Benar-benar gaduh. Tapi bukankah hening, tak selalu keadaan hampa suara?

“Kita harus memulainya lagi, Dani. Mari, lihatlah kembali kedua layar itu! Apa yang kau lihat? Apa yang kau lihat sekarang, Dani?”

(Bersambung. Insyaallah)


19 comments:

Nia Robie' said...

pertamax :D

Nia Robie' said...

ngasih pertamax dulu soalnya mo kondangan :D
komentnya ntar insyaAllah ;))

iqbal latif said...

Ditulis dua tahunan yang lalu. Pernah diposting di FB. Sekarang ingin diposting di sini..
terinspirasi Rembulan Tenggelam di wajahMu-nya Tere liye....


sayang, tak mampu lagi menereuskannya... :)

iqbal latif said...

ho ho...masih musim kondangan juga.. Kirain sdh dihabisin minggu lalu pas 101010

febbie cyntia said...

Ditunggu kelanjutannya :)
*menarik

iqbal latif said...

mudah-mudahan bisa...he he.. menuliskan seperti ini cukup melelahkan..

Katerina * said...

Mengena sekali mas.
*Kok saya jadi sedih ya?

Hujan, lelaki, dan hikmah dari dua layar...
KEREN!

iqbal latif said...

nah, komen juga akhirnya....

*kenapa bisa sedih, mb?

Katerina * said...

Iya, ol pake hape biar bisa koment

Karena banyak hal...

iqbal latif said...

hmmmm..


moga-moga sedih yg menggembirakan
-memang ada, ya?-

khaleeda killuminati said...

Bagus sekali. Jd ingat lelaki hujan.
Lanjutin ya bal, penasaran endingnya

iqbal latif said...

lelaki hujan?

dulu pernah sy coba ngelanjutin, tapi nggak selesai.. Tadi tak cari2 kok nggak ketemu.. Entah nyempil dimana tuh file

HayaNajma SPS said...

kaya nonton pelm..

iqbal latif said...

asal nggak kayak nonton sinetron.. he he

Lani Imtihani said...

rembulan tenggelam di wajahmu banget ga si Bal??

iqbal latif said...

iya...baca saja komen nomor tiga

sofia kurniati said...

jd inget rembulan tenggelam dimatamu tere liye yah ... coz ad flashback2an he..he..

iqbal latif said...

he he..memang!

desti . said...

tandain dulu ^^V