Friday, October 1, 2010

kebaikan (tak ikhlas) di masa lalu

Namanya, sebut saja Dani. Adik tingkat saya di jurusan. Berselisih tiga tahun. Dulu, sewaktu orientasi mahasiswa baru (kalian boleh menyebutnya dengan OSPEK), saya jadi SC-nya. Maka, boleh jadi, di awal-awal, sayalah kakak tingkat yang paling dekat dengannya. Mungkin.

Saya bisa diskripsikan orang ini sebagai tipe mahasiswa yang SO banget. Mungkin, persangkaan saya, ia masih menjalani euforia berstatus sebagai mahasiswa. Seorang mahasiswa  yang ia bayangkan dulu pas SMA sebagai intelektual yang kerjaannya belajar terus. Maka tak heran,  seringkali pas ketemu saya, yang ia tanyakan lebih sering masalah-masalah kuliah yang sedang ia hadapi. Bahkan terkesan berlebihan. Sepertinya yang ada di kepalanya hanya masalah pelajaran. Titik. Teman-teman di angkatannya, kalau tidak salah, kerap mengecapnya sebagai mahasiswa apatis yang tak mau memikirkan masalah angkatan. Setahu saya juga, ia malas berorganisasi.

Ketemu di masjid, ia pernah menyodori saya dengan soal fisdas. Di jurusan, tak jarang ia menanyakan ini itu terkait pelajaran. Bahkan, ia nekat juga mengunjungi kontrakan saya dengan membawa serta persoalan kalkulus. Saat itu saya sudah memasuki kuliah tingkat akhir sedangkan yang ia tanyakan itu adalah kuliah-kuliah tingkat awal yang tentu saja sudah lama tak saya pelajari lagi. Hmmm, saya harus mengaku di sini, disodori seperti itu, secara seketika tanpa pemberitahuan yang memungkinkan saya bisa mempersiapkan diri dan meluangkan waktu, awalnya sempat juga agak menggerutu di hati. Yang pertama karena saya harus membuka-buka dulu bukunya sementara ia menunggu. Mempelajarinya lagi sebentar sebab materi itu sudah lama saya terima. Yang kedua karena faktor mendadak tadi; terkadang ikhlas itu butuh persiapan. Karena, boleh jadi, ada rencana-rencana pribadi yang mesti saya batalkan karena sodoran pertanyaannya itu. Tapi, untunglah, saya tak pernah menolak sergapannya dulu. Meski berat di awalnya, toh akhirnya senang juga. Ada kepuasan tiap kali mampu menjelaskan sesuatu, memecahkan soal bersama, dan saat ia puas juga atas pertemuan kita waktu itu.

Selanjutnya, saya tak terlalu up date atas perkembangannya. Sekali saja say hello, dan berlanjut bertukar sapa via internet kala saya sudah di Bontang dan ia masih di Surabaya. Sampai kemudian kemarin, ia menyapa saya ketika saya baru saja sign ini di FB. “Saya sudah ngelab sekarang, mas. Di lab Dalpro. Terimakasih untuk les privatenya dulu”, kira-kira, seperti itulah sapaannya kala itu. Tentu saja setelah saya translate ke bahasa indonesia. Gaya Suroboyoannya masih kental, hingga tak heran ia masih saja kerap menyapa saya dengan bahasa suroboyoan yang ceplas-ceplos. Saya menjawab seadanya, dan…entahlah, tiba-tiba disergap bahagia. Tak terkata. Oi, perasaan ini sungguh ajaib. Rasa-rasanya saya tak ikhlas-ikhlas amat kala itu, agak menggerutu dalam hati meski tak terlalu. Tapi, lihatlah! Demi mendengar kabar bahagia itu, demi sebuah sapaan tentang keberhasilan yang ia nyatakan ada andil saya untuk itu, ada rasa bahagia yang diam-diam merayap.Menentramkan.

Ini baru andil yang kecil saja. Tak terlalu ikhlas bahkan. Tapi sudah begitu membahagiakan. Saya jadi bertanya-tanya. Lalu, bagaimanakah perasaan orang-orang macam ini ; seorang ibu yang menyaksikan anaknya diwisuda dengan hasil memuaskan, atau seorang bapak yang melihat putera kebanggaannya menggapai impian, atau seorang guru yang menemukan muridnya menjadi seorang profesor, jauh melampaui capaiannya. Pasti, pasti membahagiakan. Amat membahagiakan.

“IP-nya berapa?”, pada akhirnya, kalimat ini yang saya lontarkan di obrolan chat FB itu. Saya tahu, permasalahan IP, atau nilai, adalah hal yang menariknya.

Ia kemudian menyebutkan angka. Terbilang bagus. Bila ia mempertahankannya untuk empat tahun kelulusannya, maka ia akan menjadi wisudawan berpredikat cumlaude. “Mas”, kemudian ia melanjutkan, “sekarang aku sudat tobat. Sudah ikut organisasi. Ikut KINI, ikut organisasi alumni ESQ. Ini juga mau daftar jadi asisten Lab”

Saya tersenyum membaca istilahnya itu; tobat. Unik sekaligus ganjil. Gaya suroboyoannya tetap saja kental. Ah, dia juga telah berubah.

“mas, saya off dulu, ya?”, saya masih bahagia ketika pada akhirnya ia undur diri dari obrolan singkat itu. Hingga kemudian namanya menghilang dari daftar kontak yang sedang on line. Saya pun memutuskan logout. Dengan satu kesadaran; saya mesti sering-sering berbuat baik. Lebih ikhlas. Untuk kebahagiaan yang lebih baik, lebih kerap, serta insyaAllah yang lebih hakiki.

 

 

NB: sepertinya ada beberapa dialog dan kronologis  yang saya modifikasi demi keperluan cerita. Tapi substansinya tetap, kok! J

 

   

14 comments:

emilf f said...

Hm...kakak angkatan yg baik...

emilf f said...

Hm...kakak angkatan yg baik...

iqbal latif said...

:)

desti . said...

sering2 berbuat baik : ditraktir batagor lagi.

muslimah cerenz said...

hmm give spirit to be better

iqbal latif said...

@desti...lain kali somay saja
@utizz...ho ho..ok

Lani Imtihani said...

kok aku baru baca tulisan ini yaa...

berani gitu adek kelasmu nanya macem2 ya Bal??padahal kamu kan galak.. :D

iqbal latif said...

ada tipe orang 'galak' yg justru disukai, mb! ha ha

Lani Imtihani said...

kasihaan,,ga ada pilihan lain mungkin ya.. :p

intan aja said...

hahaha.


hm..*wondering*

iqbal latif said...

kok ada ketawa dulu? :)

intan aja said...

simfoni kata-katanya menarik. ^^b

iqbal latif said...

simfoni? istilah yg menarik

iqbal latif said...

simfoni? istilah yg menarik