Saturday, October 2, 2010

menyukai itu memutuskan

Waktu ke Bandung kemarin, dari dua kali acara makan nasi kotak masakan sunda, seorang teman selalu menyodorkan terung bulat mentahnya untuk diikhlaskan pada saya. Ia, yang meskipun bisa dikata orang sunda, tak menyukai sayuran aneh itu. Dan saya, yang jawa timur asli, ia anggap menyukainya. Untungnya, anggapannya tepat, maka saya dengan ikhlas melahapnya. Padahal, itu kali pertama saya memakannya. Sepertinya, kalau tak direbus, atau digoreng, sepengetahuan saya, paling-paling terung dilodeh. Tapi, tetap saja, meski mulanya agak ragu-ragu, saya memakannya juga.

Dulu, sepanjang ingatan saya, rasa-rasanya saya tak terlalu pecinta sayur. Memakannya pun hanya sebagai pendamping nasi dan lauk. Tak lebih. Orang-orang kampung memang begitu, yang utama itu adalah nasi. Yang penting ada nasi. Yang kedua baru lauk. Terserah itu lauk apa. Tak jadi soal kala lauk itu sumber karbohodrat juga, bukan protein seperti kebanyakan lauk yan g kitas kenal. Anda akan menemukan orang-orang kampung itu lahap makan dengan lauk dadar jagung atau dadar singkong. Tanpa sayur. Dengan sambel kerek pastinya.

Saya tak tahu kapan itu bermula. Entahlah, waktu tepatnya saya tak ingat. Hanya, saya tahu sebabnya kenapa sekarang saya tiba-tiba menjadi pecinta sayur. Sayur apa saja. Mau mentah atau matang, mau yang rasanya enak maupun yang tak berasa, mau hijau atau jingga, mau yang umum-umum atau yang aneh. Sebuah sebab yang saya cetuskan sendiri, bahwa sayur itu baik bagi kesehatan. Bahwa mengonsumsinya dengan kadar yang cukup, akan membawa kebaikan bagi saya. Bahwa sayur itu identik dengan sehat.

Begitulah! Begitulah itu bermula. Maka kemudian saya menjelma menjadi pecinta sayur. Awalnya, tiap kali menemukan sayur dalam acara makan, sepertinya saya tak terlalu nafsu-nafsu amat. Hanya sugesti dalam pikiran bahwa sayur itu baik bagi kesehatanlah yang kemudian mendorong saya untuk mengambilnya dengan jumlah yang lebih banyak dari yang orang lain lakukan. Habis pula. Hingga kemudian, sugesti-sugesti yang bertumpuk-tumpuk itu, yang menghasilkan tindakan-tindakan berulang, kemudian menghasilkan sebuah kebiasaan, sebuah watak yang melekat pada diri saya. Aha, saya telah jadi pecinta sayur. Tak jadi soal apakah sayur itu enak atau tidak enak buat anggapan orang kebanyakan. Tak jadi soal. Yang penting sayur. Sayur yang mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan untuk kesehatan. Cukup.

Sederhana memang. Saya menyukai sayur karena saya memutuskan untuk menyukainya. Saya memutuskan untuk menyukainya, karena saya menganggap ada kebaikan di dalamnya. Cukup. Itu saja. Soal ia dimasak dengan racikan istimewa, dengan penyajian yang yahud, itu persoalan lain, hanya bonus saja, tapi bukan menjadi sebuah syarat untuk sebuah keputusan menyukai tadi. Meski, tetap saja perlu.

Dan memang, harusnya, demikianlah! Sesederhana masalah sayur tadi, menyukai apapun, itu hanya masalah memutuskan. Sebuah keputusan yang bersumber dari keyakinan bahwa ada kebaikan pada apa yang kita sukai tersebut. Titik. Keyakinan itulah yang kemudian akan menuntun. Ketika kita merasakan betapa itu berat, betapa itu sepertinya tak nyaman, tak enak, kita akan tetap saja menyukainya –atau pada mulanya mencoba terus menyukai. Kita akan tetap menganggapnya indah. Sebab kita yakin, ada kebaikan pada itu semua. Sebab, sebuah keyakinan akan adanya kebaikan pada akhirnya, akan menegaskan pada kita, bahwa segala hal menuju itu, seberat apapun itu, adalah kebaikan juga. Hingga kemudian tak ada alasan untuk tak menyukainya. Seperti keyakinan akan adanya kebaikan pada sayur pare yang pahit, memakannya dengan ekspresi muka yang aneh sebab pahitnya pun menjadi nikmat juga. Pare yang pahit itu, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebaikan yang kita (yakini akan kita) dapatkan dari memakannya.

Ya…., ya….., ya….., menyukai adalah memutuskan. Maka memutuskan akan selalu butuh sebab. Sebab yang akan menentukan kualitas dan tingkat kesukaan kita. Seperti masalah sayur tadi. Ketika kita sudah memutuskan kalau kita menyukai sayur yang dimasak bening sebab itu menyegarkan, maka kesukaan itu tiba-tiba saja hilang kala kita melihat ia disajikan dalam bentuk lalapan. Beda halnya kala kita menyukai sayur sebab kita meyakini akan adanya kebaikan dari vitamin, mineral, dan serat yang dikandungnya. Masalah penyajian kemudian menjadi nomor dua. Bukan hal yang utama. Meski tetap saja perlu untuk meningkatkan tingkat kesukaaan. Tapi tidak untuk mengurangi.  Lalapan? Ok. Sayur bening? Lebih oke lagi? Sup? Mmmhhh…sepertinya maknyus.

Baiklah, jika sampai di sini, agaknya kita mulai perlu mendaftar apa saja yang harusnya kita sukai yang sampai saat ini belum kita sukai. Setelah itu, dari daftar itu, kita perlu membuat daftar sebab kenapa kita harus menyukainya. Sebab yang harusnya tak sembarang sebab. Sebab yang memungkinkan kita akan terus menyukainya, seberat apapun itu, setakmengenakkan apapun itu.  Lalu, seketika itu, kita putuskan untuk menyukainya. Pada walnya, kita mungkin merasa kalau kita menyukainya karena kita harus menyukainya. Semacam keterpaksaan. Tapi, percayalah! Seiring perjalanan waktu, ah, ternyata kita menyukainya karena memang menyukainya. Titik.

 

NB: lebih dipersembahkan untuk diri sendiri yang lebih sering membutuhkan syaratsyarat tak hakiki untuk menyukai sesuatu yang harusnya disukai.

 

Kecubung 17

(sepertinya masih pagi-selepas mbubur ayam)

 

 

46 comments:

Katerina * said...

"Sebab, sebuah keyakinan akan adanya kebaikan pada akhirnya, akan menegaskan pada kita, bahwa segala hal menuju itu, seberat apapun itu, adalah kebaikan juga. Hingga kemudian tak ada alasan untuk tak menyukainya. "

aku suka ini mas.
inspiratif.....Tfs..

akuAi Semangka said...

Sebelumnya menyukai itu pilihan, sekarang menyukai itu memutuskan, nanti apa lagi?

Rasa terong tuh gimana sih?

Aida Hani said...

"menyukai itu memutuskan"

ya, ya, ya...
TFS! :-)

akuAi Semangka said...

Uhuk. Jadi inget obrolan di Lt. 5 Da. Tentang sebuah keputusan yang tiba2. Hoho..

Aida Hani said...

@ Ai: heuheu... *blushing*

iqbal latif said...

@mbak rien..makasih,mb! yerimasih untul link di qn nya juga :)

iqbal latif said...

@ai..menyukai itu memilih. Dan memilih it memutukan..ho ho. Yg kemaren aq mbahas menyukai yg permukaan deh kayake, yg ini yg lbh dalem :)

iqbal latif said...

@ai..beneran g pernah mkn terong? ckckc
btw, ngomongin apa tuh d lt 5 sampai aida blushing2 segala
@aida...ya..,ya..,ya..,tfc

akuAi Semangka said...

Waduh, kalo diceritain di sini si aida bisa tambah blushing :D

Di rumah ga pernah masak terong. Dulu pernah main ke rumah temen, ada menu terong tapi ga kumakan. Kalo ke warteg juga ga pilih menu itu.

Bicara suka tidak suka ini emang agak rumit. Kadang bkn krn alasan kebaikan aja. Ada alasan yg sulit dijelaskan. Kalo dulu pas jadi maba pernah wawancara kakak tingkat, 'kenapa suka biologi?' dia bilang, 'suka ya suka. Sulit dijelaskan'

Contoh lain. Aku tuh dulu ga suka mie ayam. Sekali makan pas jaman smp. Baru suka lagi pas tingkat 4 di kampus. Yang pasti bukan karena alasan kebaikan (sejak kapan mie itu baik?)

Maka, di antara kata memilih dan memutuskan, ada kata proses. Menyukai itu proses. -maaf kalo pembahasannya ga nyambung, wkwk..

sri ratna wulan said...

Wah tulisannya sedang pas bgt sama saya mas,,thx *btw salam kenal

Leila Niwanda said...

Memutuskan, lalu ambil langkah tentunya ya....
Saya juga nggak terbiasa dengan lebih dari satu teman makan nasi (kecuali kerupuk). Buat saya, dengan telur dadar aja atau ayam aja atau tumisan aja itu udah cukup. Nasi goreng ya nggak perlu tambahan potongan besar ayam/daging lagi. Tapi menikah bikin saya jadi membiasakan diri dengan lauk+sayur. Memang jadi lebih variatif dan komplet gizinya sih.

iqbal latif said...

@ai...coba deh! terung tuh enak..banyak manfaatnya juga.. kalo mw yg sehat sih direbus saja...
tentu saja menyukai ityu juga berproses....saat kita memutuskan untuk menyukainya, tentu saja tak serta meta langsung sreg secara hati.. Ada keterpaksaan tadi...lambat laun, saat kita ikhlas atas keterpaksaan itu, kita akan menyukainya juga.. he he...
jadi pas di BLT tuh pesan mie aym bakso?? ho ho...samaz kayak aku dong! :p

iqbal latif said...

terimaksh..salam kenal balik

iqbal latif said...

he he...sekarng sukanya lebih komplit ya, mb? atau..??

sepertinya komen mb laila ini cocok juga buat njawab pertanyaan ai...

bayu binKatiman binSonoyo said...

Saya memutuskan untuk menyukai tulisan ini.... Terimakasih... ^_^

iqbal latif said...

hoho..sy juga memutuskan untuk menyukai komen ini

desti . said...

quote : menyukai itu memutuskan ^^b
judulnya bagus dan sepertinya memang begitu
sfs pak bal

akuAi Semangka said...

Kayaknya pertanyaanku bagaimana rasa terong? ^^a

Oh, jadi akhwat2 BLT itu aku yaa? *mendadak lupa :D

iqbal latif said...

itu sama sulitnya dg menjawab pertanyaan bagaimnakah RASA manis itu?

iqbal latif said...

kayake diprotes ai tuh, des, judule...

kayake lama nggak muncul

iqbal latif said...

masa?? nggak tw aku


:)

HayaNajma SPS said...

like this, and like vege too

desti . said...

tiap orang mah beda2 perspektif asal gak pada berantem aja. hehe.. ya gak mbak semangka? *nglirik mbak Ai.

lama?

iqbal latif said...

maksudnya suka sayur jengkol ya, hai!?

@DESTI....des, kayake salah quote ya...

desti . said...

tiap orang mah beda2 perspektif asal gak pada berantem aja. hehe.. ya gak mbak semangka? *nglirik mbak Ai.

lama?

desti . said...

udah dibenerin. sering gitu. padahal udah bener replynya. kok yg k quote postingannya. hedew.

iqbal latif said...

kalau pagipagi gini semanggi, des!

HayaNajma SPS said...

sebutin deh, sayur apa aja :D

pete juga suka.. apalagi? hemm?

akuAi Semangka said...

Betul betul, Dest.. Semangka!

iqbal latif said...

genjer? semanggi?batang talas?rebung?

iqbal latif said...

kalo yg beneran tuh dirimu suka semanka ga sih, i? keluargasnya?

akuAi Semangka said...

Wah, ceritanya panjang, Saudara! Hoho..

HayaNajma SPS said...

hmm.. yang terakhir mungkin enggak terlalu suka, tapi kalau adanya ya dimakan :)

iqbal latif said...

boleh tuh dituliskan.. :)

iqbal latif said...

kalau ingin pede dimakan umum...banyakin makan yg terakhir itu, hay! :D

HayaNajma SPS said...

mosok? tapi pesiing...

iqbal latif said...

ambil dari kebun langsung....
langsung dimasak....

HayaNajma SPS said...

*nyari rebung di kebon

iqbal latif said...

di kebun bambu la, hay!
pesing itu kayake karena g fresh...atau karena jenis bambunya..

*kok malah mbahas rebung, sih

just rie said...

weheheh keren-keren
saya yang tinggal di bandung dah 3 tahun ajha
sampe skrg masih belum pernah tuh nelen sayuran mentah ehehehh

iqbal latif said...

ho ho...enak juga, lo!

Pemikir Ulung said...

*kagum* hebat banget mas, mau aja gitu makan terong lalap yg belum pernah dimakan sebelumnya

yaya, karena yg memutuskan sesuatu itu makanan atau bukan adl persepsi budaya. Makanya kita makan daun2an yg belum tentu dimakan olh orang negara lain. Termasuk makan sayuran. Persepsi kitalah yang menentukannya

Pemikir Ulung said...

*kagum* hebat banget mas, mau aja gitu makan terong lalap yg belum pernah dimakan sebelumnya

yaya, karena yg memutuskan sesuatu itu makanan atau bukan adl persepsi budaya. Makanya kita makan daun2an yg belum tentu dimakan olh orang negara lain. Termasuk makan sayuran. Persepsi kitalah yang menentukannya

iqbal latif said...

g seburuk bayangan kita, kok! kalau dipake lalapan enak ternyata....
kalo digoreng terus dikasih sambel sih itu kegemaran saya

Pemikir Ulung said...

Selama ini saya cuma jadi penonton ibu saya makan itu terong lalap, horor ah, hehe. Rasanya gimana mas?

iqbal latif said...

mmm..gimana ya? sulit dijelaskan...yg pasti g pahit juga...

asal g banyak2 sj... sama kayak makan selada mentah gt lah