Monday, March 28, 2011

-dendam sejarah-

Ia tumbuh di sebuah perkampungan terpencil. Terkucilkan dari media. Tak terjangkau dari informasi. Hidup dengan cara seperti yang lain hidup. Tidak dalam kondisi kekurangan seperti media masa kini bilang memang, tapi sederhana agaknya kosakata yang pas untuk menggambarkannya. Tentu saja juga miskin fasilitas. Tapi dengan pemahaman yang baik, kala iklan televisi belum begitu buas menghajar keberpijakan anak-anak dalam alam realita, itu akan menjadi sebuahpondasi kuat untuk kelak ia bersikap. Banyak hal yang ingin aku ceritakan tentangnya sebenarnya, tapi untuk bab ini, aku ingin membicarakan sebuah hal : tentang membaca. Ya, sebuah kegemaran langka untuk anak-anak kampungnya jaman itu yang justru tersematkan padanya. Sayangnya, di antara deretan fasilitas yang memang minim, masalah buku juga masuk di dalamnya. Tentu saja ia bukanlah seorang anak dengan orang tua yang melimpahinya dengan hadiah buku-buku, tentu saja juga ia tidak sedang di sebuah lingkungan yang menganggap buku adalah sebuah teman terindah buat anak-anak. Maka ia pun kekurangan. Maka ia pun hanya bisa membaca dari potongan kisah-kisah di buku pelajaran bahasa indonesia. Maka, sebuah jaman telah menghianati kesenangan masa kecilnya.

Tapi, ya Tuhan. Berbilang tahun kemudian, ketika hidup telah mengajarkan banyak hal, ketika waktu telah sempurna meninggi-besarkan fisik-fisiknya, ketika Sang Pencipta Hidup berbaik hati memberinya sebuah kesempatan lebih dibandingkan masa kanak-kanaknya, lihatlah! Lihatlah apa yang kini ia lakukan. Ia dulu memang telah tercerabut dari kegemaran membaca di masa kecilnya, ia dulu memang tak punya banyak buku yang menanti untuk terselesaikan di sela waktu bermainnya, tapi ia sadar. Ia mengerti bahwa itu mesti terhindarkan. Siklus itu tak boleh berkelanjutan. Maka pembalasan itu sempurna sudah tertunaikan. Di sebuah kampung kecil yang terpinggirkan dari hingar-bingar, tidak mirip benar dengan kampung masa keilnya dulu memang, ia putuskan untuk menyediakan buku-buku untuk dibaca. “jangan sampai seperti aku, jangan sampai seperti aku. Anak-anak ini mesti memiliki buku untuk dibaca”, demikian kesahnya.

###

Di sudut lain, di sebuah rumah keluarga kelas menengah di pinggiran kota, seorang lelaki tengah sedikit berang. Tak ada hal luar biasa yang cukup layak untuk membuat ia marah sebenarnya. Tak ada. Segalanya berjalan dengan baik. Siang itu istrinya juga dengan penuh khidmat menyediakan menu makan siang setelah setengah harian ia berjuang di luaran untuk mencari nafkah. Amat normal. Persoalannya kemudian memang teralamatkan pada menu siang itu: nasi jagung.

Baiklah. Ini agaknya memang terdengar lucu. Tapi tahukah kawan-kawan semua, bagi kawan kita ini, nasi jagung adalah sebuah simbol dari masa lalu. Sebuah simbol kemiskinan yang telah begitu erat mencengkeram masa kanak-kanaknya. Nasi jagung adalah menu andalan masa kecilnya dulu. Bahkan telah menjadi menu harian yang senantiasa mengiringi omelan almarhumah ibunya tentang ini-itu. Nasi jagung adalah sebuah simbol ketakberdayaan masa lalu kala jagung bagi orang tuanya jauh lebih murah dibandingkan beras.

Maka kemudian, ketika perjalanan waktu mulai menawarkan kesempatan-kesempatan, ketika perlahan ia mampu melawan kerasnya hidup, ketika ia mampu meninggalkan kegetiran masa kecil, nasi jagung sempurna terlemparkan dari kosakata hidupnya. Tak ada lagi menu itu di hari-harinya kemudian. Tak ada lagi. Lidahnya sudah terlanjur jenuh –lepas itu hanya perkara pikiran. Bahkan untuk sekedar nostalgia masa kecil, nasi jagung itu tak ada dalam hari-harinya. Maka tak heranlah, ketika kebersamaan yang baru berusia setahun dengan istrinya itu, yang bahkan tak tahu dengan kebiasaan uniknya, ketika istrinya bermaksud baik dengan membuat menu selingan untuk menu yang biasa-biasanya, agak sedikit tersinggunglah dia. Ah, tidak! Bukan marah yang sebenar-benar marah sebenarnya. Hanya bermuka masam. Itupun karena ditunggangi oleh capek yang mendera-dera. Nasi jagung itu, seolah mengembalikannya ke dalam kegetiran masa lalu.

###

Terakhir, di sebuah daerah yang terlupakan, di sebuah tempat yang butuh stamina prima untuk menjangkaunya, di satu tempat yang kanan-kirinya dilingkupi belantara, seorang perempuan muda tampak begitu cekatan mempermainkan pirantinya. Sudah satu jam berlalu, dan stetoskop di tangannya sudah berkali-kali ia tempelkan pada kulit pucat orang-orang yang sejak pagi telah berkerumun itu. Obat-obat pun telah mulai menipis, sebentar lagi bahkan akan berstatus habis. Tapi tak ada gurat lelah dalam wajah tegasnya. Keringat memang telah merembes menuruni pipinya yang bersemu merah oleh sebab panas, tapi semangatnya masih saja terjaga. Masih cekatan melakukan ini-itu, masih sabar melayani keluhan-keluhan penduduk yang mengaku menderita penyakit aneh-aneh. “masih banyak pasien, Bapak”, begitu jawabnya ramah ketika sang kepala desa memintanya untuk beristirahat barang sejenak..

Ia mengabdikan diri untuk warga pelosok, itu memang rahasia umum. Tapi ia seorang dokter dengan predikat lulusan terbaik di sebuah PTN ternama tanah air, itu kiranya yang tak banyak orang lain tahu. Bahkan, bahwa ia adalah seorang dokter ‘bodoh’ yang menolak kesempatan untuk berkarir di sebuah Rumah Sakit ternama ibukota, mungkin hanya ia seorang saja yang tahu. Benar-benar naif memang, tapi menjadi hebat pilihan-pilihan itu kala ada keteguhan, ketegasan, cita, dan keikhlasan di dalamnya.

Lalu, ketika sebuah wartawan surat kabar kecil daerah berhasil mewawancarainya, terbukalah semuanya. “Saya orang kampung. Sangat-sangat kampung. Tak ada dokter yang menyuramkan masa depannya dengan mengabdi di sana”, dokter itu dengan terbata mulai berbicara. Matanya menerawang, seolah ada masa lalu yang coba kembali ia eja. “saat itu malam hari. Usia saya masih 12 tahun. Itu lah malam yang tak akan mungkin saya lupakan seumur hidup saya. Tiba-tiba, setelah setahun penuh tak pernah mengeluhkan sakitnya, malam itu penyakit bapak kambuh. Suasana benar-benar kalut dan tak ada yang bisa dilakukan selain membawany dengan becak ke puskesmas terdekat. Puluhan kilometer jaraknya, melewati jalan berbatu yang penuh lobang. Tapi apa yang didapat? Ya, setelah perjalanan melelahkan itu, setelah doa kami rapalkan sebisanya memohon bapak bisa bertahan hingga tiba di puskesmas, setelah kami akhirnya mampu menjangkau puskesmas itu, tak ada yang kami temukan selain seorang perawat tak tahu apa-apa yang sedang ketugasan jaga. Tak ada yang bisa disalahkan, hingga satu jam kemudian bapak tiada tanpa mendapatkan pertolongan yang berarti.” Kalimat itu terhenti sebentar sampai kemudian ia melanjutkan,” saat itu, saat itu saya berjanji. Bahwa apapun keadaannya, bahwa seberat apapun jalan menuju itu, saya harus menjadi dokter. Saya harus menjadi dokter yang handal untuk orang-orang seperti bapak . Untuk orang-orang yang tak pernah punya kesempatan untuk memperoleh perawatan kesehatan”


-o0o-

Kawan, di buku pelajaran kita waktu sekolah dulu sering kali tertulis, bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Tapi Arie Ginanjar, lewat gerakan ESQ-nya dengan jelas mengatakan, bahwa pengalaman adalah belenggu hati. Tentu, tak perlu ada yang mempersengketakan di antara keduanya. Sebab kata orang bijak yang lain, “selain Ibroh, apalagi yang bisa diambil dari sejarah”

Kepada ketiganya kita bisa berkaca.


#kantor, istirahat siang.

29 comments:

Pemikir Ulung said...

pertamax dulu ah

iqbal latif said...

monggo, gan

Lani Imtihani said...

panjang --"

Daicy Mahia DG said...

Mengarifi sejarah..

Pemikir Ulung said...

bacanya nanti ya..belom sempet :p

iqbal latif said...

@keranjangharapan... *klontang
@dmahia...yup! Btl skali

van smile said...

sippp...

iqbal latif said...

@mbakpemikir...besok2 tak apa. Padahal mw tak panjangkan lg td :)

Pemikir Ulung said...

panjangin aja mas, toh aku bacanya besok :D

Daicy Mahia DG said...

Karena waktu dan sejarah mutlak akan terus berulang, dari mereka ke mereka lainnya. Mungkin bukan pada diri kita, tetapi pada orang yang menaruh harapan besar di pundak kita.
Sahabat saya selalu bilang, waktu, sejarah, dan penghormatan adalah bekal kehidupan menuju kebahagiaan abadi. Itu saja.

iqbal latif said...

@funnieya...oke :)

iqbal latif said...

@mbakpemikir...nggak jadi. Ini sdh ckp. Aq tak perlu ikut bnyk beropini
@dmahia...iya, ya? Karena saat qt memutskan untk tak terlibat dlm siklus kbaikan ini, menolaknya, maka Allah akan menciptakan generasi lain yg mencintai dan dicintai.. :)

Pemikir Ulung said...

eh btw, aku suka dipanggil mbak :p
kesannya aku dewasa gimana gitu..dituakan, wkwkwkwk
*masih belom baca, tapi udah komen 3x, ckckck*

iqbal latif said...

@ludi...(haha...mbalik asal). Dirimu kan memang pernah bilang kalo g suka tlsn gaya gini

*lg kondangan. Ngantri salaman :)

Pemikir Ulung said...

kapan aku pernah bilang gitu bal? kayanya ga pernah deh

tadinya aku udah kagum banget dengan tulisan ini, tapi gegara kata-kata "perawat tak tahu apa-apa" aku jadi ilfil, hehe

ayolah de' iqbal, tak ada salahnya manggil saya mbak :p

iqbal latif said...

baiklah, mb pemikir... karena panggillah orang dg yg disenanginya, mk baiklah....

dulu dirimu bilang nggak sua mbaca yg bergaya novel...

perawat tak tahu diri? haha...lepas nulis in, pas km sdh komen, aku sempat merasa juga... Nanti mb pemikir tersinggung lagi... Tp tak apalah, orangnya bija, kok... :D

Pemikir Ulung said...

Hehe. Gitu ya? Tapi yang ini aku suka ko. Heh, bijak? Nyindir kowe bal? :p

iqbal latif said...

Anggaplah anggapanku ini sbg doa, mb pemikir! Amini saja
*ribet jg nyebut mb pemikir

Pemikir Ulung said...

aamiin..iya ko aku bijak :D

yaudah ga usah dipaksa, ngga manggil mbak pemikir juga gapapa, ga bakal kuremove gara-gara itu :p

iqbal latif said...

Haha. Tenang saja..
Dipanggil mbak ulung nanti jg gpp..

al fajr "fajar" said...

hmm.. "dendam" sejarah nek modhele ngunu kuwi sing pertama ro ketiga yo.. Indonesia dadi cepet maju.. hihihi


ah.. dadi inget "dendam sejarahq".. tapi masih belum bisa q tebus....

iqbal latif said...

iya, jar... jika semuanya melakukan pemblasan seperti 1 dan 3, mk majulah


dendammu opo?

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

tulisan yang menyentuh ...

iqbal latif said...

Apanya yg dsentuh, bang hendra? :)

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

layar monitornya ...

*tentu saja pembacanya ... he he he ...

iqbal latif said...

Hoho, bgtu ya? Mudah2an masih baik2 sj monitornya..
Btw, termakash kunjungannya

Pemikir Ulung said...

untuk memperkaya bahasan
dendam positif

iqbal latif said...

iya, barusan tak buka...
sudah pernah baca di milis FLP sepertinya (atau milis yg lain)

Pemikir Ulung said...

siplah..soalnya kalo aku suka ngasih link-link terkait di tulisanku (meski pembaca tidak suka untuk mengkliknya, hehe)

itu link bukan cuma untukmu bal, tapi juga untuk pembaca blog ini