Friday, March 11, 2011

surat buat (bakal) wali kotaku

Bapak yang terhormat, hari ini, tepat dua tahun keberadaanku di kota ini. Kalau bapak ingin periksa, maka akan Bapak temukan KTP dengan domisili Bontang di sana. Tenang! Aku tak perlu menyogok aparat pemerintah untuk mendapatkannya. Aku mendapatkannya lewat jalan yang memang seharusnya. Namaku insyaAllah sudah tertera di cataan sipil kotamu ini, kota yang sebentar lagi dititipkan untuk Kau kemanakan selanjutnya. Selanjutnya, jika Bapak berkenan, cobalah periksa di catatan sipil kota asalku, Pasuruan, tentunya tak akan tertemukan nama Iqbal Latif sebagai salah satu penduduknya.

Mungkin dua tahun adalah bilangan yang terlalu kecil untuk bersuara. Mungkin dua tahun adalah periode yang terlalu singkat bagiku untuk mengerti hal tentang kotamu ini. Tapi izinkanlah, Pak, di hari yang spesial ini, aku menyuarakan satu dari sedikit kegalauanku ini. Ah, maafkan aku juga, jika bahkan sebelum kau resmi dikukuhkan menjadi pemimpin kami, aku telah menghujanimu dengan pekerjaan-pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Tapi harapanku memang ini, pak; karena belum dikukuhkan itu lah, karena kuyakin energi itu masih dalam puncaknya, aku berharap keinginan sederhana ini dapat masuk ke dirimu dengan cara paling menghunjam, sehingga semoga dengan cara yang tak kalah menghunjam jugalah gebrakan-gebrakan atas keinginan kecilku ini dapat terimplementasikan.

Baiklah! Baiklah, Pak! Sebelum aku berpanjang lebar, dan bapak menyangka aku adalah seorang anak muda yang tak tahu diri, baiklah, akan aku perkenalkan diriku. Aku, sama seperti halnya Bapak mungkin, adalah seorang pendatang. Ah, ya, pastinya sudah Kau ketahui dari pembukaan suratku ini. Namaku pun juga sudah kusebutkan di atas. Asalku? Ah, ternyata juga ada. Satu yang sepertinya belum ada, sesuatu yang kemudian membuatku merasa punya hak lebih untuk menyuarakan keinginan sederhanaku ini, bahwa pada pemilihan umum yang melibatkanmu sebagai salah satu kontestannya, dengan penuh kesadaran, aku telah memilihmu sebagai pilihanku. Orang-orang boleh saja berpikir kalau satu suaraku tak menentukan banyak, bahwa tanpa aku pun bapak akan dapat melenggang memenangkan pemilihan itu dengan satu putaran. Tapi menurutku, Pak, bila kita bisa mengambil sudut pandang lain, bukankah satu suara itu adalah sebuah saham tentang adanya bagian diriku pada tanggung jawab yang bakal bapak emban? Maka untuk itulah aku punya kepentingan untuk terlaksananya tanggung jawab itu dengan baik. Maka untuk itulah aku masih tetap berkepentingan memberikan masukan untuk sebuah perbaikan.

Maka jadilah tulisan ini. Tenang! Aku tak akan menuliskan banyak hal. Seperti yang kusebutkan sebeluknya, aku hanya akan menyampaikan hal sederhana ini. Hal yang teramat dekat denganku. Hal yang jauh lebih aku mengertii dibanding hal lain. Hal yang aku cintai. Tidak! Aku tak akan membicarakan hal yang tidak dengan benar aku ketahui. Cukuplah sudah negeri ini begitu bising dengan orang-orang yang tak mengerti persoalan tapi sibuk berkoar-koar laksana ia lah memang satu-satunya pakar. Cukuplah sudah negeri ini yang terombang-ambing ke sana kemari oleh polutan komentar yang tak berdasar. Cukup! Maka aku akan berbicara tentang sebuah hal yang aku sukai, yang aku begitu dekat dengannya. Sebab hal ini begitu penting. Sebab seseorang yang mencintai dengan benar sebuah hal, tak ada hal lain yang ingin ia harapkan dari satu hal itu selain perbaikan.

Aku hanya ingin membicarakan masalah buku dan membaca. Tak terlalu muluk, bukan? Tentunya hal ini terdengar begitu remeh dibandingkan program lima puluh juta per-Rt yang kau usung. Tapi itulah justru yang membuatku khawatir. Sebab sifatnya yang terlihat begitu remeh itulah, sebab isunya yang tak terlalu menjual itu lah, aku khawatir kau hanya mendengarnya lewat telinga kiri, untuk kemudian kau lepaskan lewat telinga kanan. Menyedihkan! Sungguh menyedihkan bila hal itu benar terjadi. Rasa percayaku padamu akan langsung berada di level terendah jika itu yang jadi kenyataan.

Buku dan membaca. Harusnya kau sudah mengerti ke manakah arah pembicaraanku ini. Perpustakaan, Pak! Perpustakaan! Ah, kau harusnya mengetahui betapa bahagianya hatiku ketika di awal-awal aku menginjakkan kaki di kota ini, kutemukan bangunan dengan pelataran luas itu. Butuh beberapa waktu terlewat untuk kemudian aku memasuki pelatarannya, memasuki ruangannya, dan menginderai apa-apa yang ada di dalamnya. Mulanya aku sedih, Pak! Sedih melihat hanya satu dua motor yang terparkir di luarannya, yang menunjukkan berapa orang pengunjungnya. Tapi kemudian aku tersadarkan, tepat ketika sudah berdiri dengan sadar di ruangan yang disebut dengan perputakaan kota Bontang itu, bahwa jarangnya pengunjung perpustakaan itu dapat dimaklumi. Ah, tak perlu jauh-jauh mengambinghitamkan indeks membaca masyarakat indonesia yang begitu jongkok, tak perlu juga mengalamatkan persoalan pada tingkat pendidikan masyarakat kita yang rendah hingga bukanlah membaca menjadi hobinya, serta tentu saja juga tak perlu menyalahkan dengan membabibuta acara televisi yang membuat orang-orang lebih suka nyerocos bergosip kemana kemari dibandingkan bertafakur menekuri bacaan. Tapi apa yang ada di perpustakaan itu lah yang menjadi inti dari permasalahannya.

Baru kali itu, Pak, baru kali itu aku tak antusias berada di perpustakaan. Miris sekali memandang apa yang ada di situ. Tak cukup banyak buku yang tersedia. Bayangan sebuah perpustakaan yang ruangannya penuh dengan rak-rak sarat buku berjajar benar-benar tak tergambar. Bahkan, ketika aku mencoba melihat-lihat buku yang ada, yang sebagian teronggok begitu saja di kardus-kardus, tak ada yang menarik hatiku. Pemandangan ini, Pak. Pemandangan ini sungguh-sungguh sebuah ironi mengingat APBD kota kecil ini yang katanya mencapai setrilyunan rupiah. Maka kata-kata yang ringkas untuk keadaan perpustakaan kita itu adalah ini, Pak: tak menarik. Itu hampir dua tahun yang lalu. Aku rasa tak ada perbaikan yang telah dilakukan oleh penguasa sebelum Bapak. Hingga aku tak pernah ke sana lagi.

Pikiranku sederhana saja, Pak! Untuk sebuah masyarakat yang tak menjadikan membaca sebagai kegemarannya, tentunya perlu sebuah usaha yang lebih untuk menggemarkannya. Aku membayangkan sebuah perpustakaan yang luas –yang sudah cukup terpenuhi dengan bangunan perpustakaan kota kita. Lalu rak-rak sarat buku yang berjajar. Juga tentunya buku-buku dengan berbagai bidang dan target pembaca berada di dalamnya. Tentunya, buku-buku yang tersedia adalah buku-buku yang terus up date. Mungkin, sepuluh buku baru tiap bulannya sudah lumayan. Itu mungkin sekitaran lima ratus ribu saja. Tak telalu berat, kan, untuk sebuah pengeluaran demi perkembangan masyarakat? Jikapun itu dirasa berat, aku kira sebuah surat sakti ke perusahaan-perusahaan besar di kota ini sudah lebih dari cukup untuk mendatangkan bantuan. Dana CSR mereka tentunya butuh untuk dikeluarkan. Hanya niat saja yang kini perlu dibangun. Sebuah tekat. Sebuah keinginan untuk memajukan masyarakat dengan membaca.

Maka jika perpustakaan itu sudah begitu menarik, lalu yang perlu dilakukan adalah menarik pengunjungnya bertandang ke sana. Yang paling mudah tentunya menggerakkan murid-murid. Guru-guru bisa mengajak muridnya berwisata ke sana. Seharian, atau setengah harian. Tak perlu belajar di kelas dulu. Membiarkan mereka berinteraksi dengan buku. Membiarkan mereka berlarian di lorongnya. Mempersilakan mereka meneliti tiap judul buku di dalamnya. Ah ya, Perpustakaan ini nantinya juga memiliki perpustakaan keliling. Sebuah mobil yang penuh dengan buku berkeliling ke perkampungan-perkampungan meminjamkan buku. Tak pernah bosan. Tak pernah lelah. Menelusuri pelosok Bontang. Hingga sampailah pada sebuah masa, perpustakaan kita ini menjadi sarana bagi orang-orang berakhir pekan bersama keluarga.

Program ini tak populis, Pak! Ini tentunya tersadari dengan benar. Tapi dibanding program lima puluh juta per RT yang kau usung itu, aku merasa program ini jauh-jauh lebih produktif. Memasyarakatkan membaca artinya memasyarakatkan belajar. Memasyarakatkan membaca artinya memasyarakatkan bercita-cita besar. Maka menciptakan masyarakat gemar membaca adalah sebuah usaha menciptakan masyarakat yang cerdas, masyarakat yang kritis, masyarakat yang bercita-cita besar. Mereka akan belajar tentang kerja keras orang pedalaman itu dari ikal dalam Laskar Pelangi, belajar kesungguhan dari Alif lewat Negeri Lima Menara, belajar keikhlasan dari Delisa dalam Hafalan Sholat Delisa. Tubuh mereka masih di Bontang, tapi pikiran mereka akan berkelana bersama buku-buku yang mereka baca. Bahkan mereka akan berkeliling dunia tanpa perlu mengeluarkan ongkos perjalanan. Mereka akan jadi profesor tanpa melulu memakan bangku kuliahan.

Kau tentunya tak akan bekerja sendirian. Kau kerja di doaminmu, kami kerja di domain kami. Pastikan saja apa yang menjadi wilayahmu yang tak terjangkau kami, benar-benar terlaksanakan dengan benar. Pastikan orang-orang yang bekerja di perpustakaan kota kita ini adalah orang-orang yang mencintai buku. Orang-orang yang tersenyum kala buku-buku di perpustakaan tergeletak begitu saja di meja sebab itu artinya ada yang mau membaca, orang –orang yang berbahagia kala pengunjung meramai meski itu artinya pekerjaan bertambah, orang-orang yang dengan sepenuh cinta menyampuli dan merawat tiap buku perpustakaannya. Bahkan orang-orangnya ini lah yang penting. Sebab orang yang mencintai buku, Pak, akan selalu mencari cara agar orang-orang lain juga melakukan hal yang sama. Iya tak pernah cemburu kala orang lain mencintai hal yang sama dengan yang ia cintai. Ia justru senang. Ia justru berbunga-bunga.

Ini tentu saja bukan kerja instan. Ini tentu saja juga bukan kerja yang bakal memastikan Bapak bakal terpilih lagi di pemilihan berikutnya. Tapi ini adalah sebuah kerja besar untuk sebuah cita-cita besar, untuk sebuah perubahan besar. Maka ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang besar.

Demikian, Pak! Aku baru menyadari kalau aku sudah terlalu panjang menuliskan surat ini. Semoga Bapak tak ketiduran membacanya. Oh, ya, seperti yang kuungkapkan di depan, hanya sekali saja aku berkunjung ke perpustakaan kota kita itu. Aku sudah tak tahu perkembangannya. Aku sudah tak percaya kepada pemimpin kota ini. Maka aku bekerja sesuai caraku. Hingga kau terpilih, hingga aku tiba-tiba saja menaruh banyak harapan padamu. Maka aku berharap, harapanku berjawab kerja nyata.




sebuah persembahan dua tahun keberadaan
110309-110311




22 comments:

HayaNajma SPS said...

mm.. parah mana yaa sama perpus sini?

rifi zahra said...

Sekian Hari Menulis Surat :)

Dulu waktu kecil, hampir setiap minggu saya ke perpus Bandar Lampung dan selalu ramai baik oleh anak2 maupun orang dewasa...ruang baca anak2nya nyaman, penuh warna seperti TK, dan penuh dengan buku anak2...semoga Bontang kelak bisa lebih baik dr itu.

desi puspitasari said...

wah

Moes . said...

Wah mantabs.. seharusnya dikirim ke email pemerintahan wilayah bontang mas.



SABUDI (sastra budaya indonesia)
mari kita jaga bersama!

iqbal latif said...

memang di tempatmu parahnya bagaimana?

iqbal latif said...

nyaingi rifi :)

iqbal latif said...

saya yang perpust yg bagus itu di Malang. Bukunya lengkap, pengunjungnya ramai. Lengkap sudah

iqbal latif said...

waw! wah!

iqbal latif said...

sedang sy posting di FB..ngetag orang2 Bontang.. Semoga bisa menggelinding

anas isnaeni said...

jempoooool up!!!!!!!!!
harus dibudayakan... hmmm mengingat di kota saya (salatiga) juga mau pilwakot dan perpustakaan daerahnya kurang familiar, apakah saya juga lebih baik buat surat beginian ya..

iqbal latif said...

he he..iya. Boleh.. Buat saja. Ntar tag di FB orang2 salatiga-nya

HayaNajma SPS said...

kayaknya sih masih lebih parah Bontang.. walaupun di sini juga nggak memadai, tapi aku masih nemu yang bagus2

iqbal latif said...

iya..secara tempatmu kan masih di jawa...

fitrah rachmat kautsar said...

Masih bruntung...di tempat saya blum ada perpustakaan daerah

al fajr "fajar" said...

pas 2 tahun ning bontang? suwe juga yaa..

iqbal latif said...

@fitrah...berarti perlu diusulkan utk dbangun..
@fajar...iya, jar! lama jg ternyata

al fajr "fajar" said...

aku selalu kagum ro perpus kota jogja (cedhak sekolahanku) kereeennn.. bangunane saiki futuristik.. rame juga

perpus kota magelang juga, cedhak smpq..
ah.. bersyukurnya aku

iqbal latif said...

Lo, dirimu sma nang jogja ta? Sma piro?

Aq seng seneng iku yo nang perpus kota malang

al fajr "fajar" said...

nggih.. padmanaba
sma 3

iqbal latif said...

Opo iku padmanaba jar?

iqbal latif said...

Opo iku padmanaba jar?

al fajr "fajar" said...

jeneng liya sma 3.. ki sma padmanaba

teratai di hutan