Saturday, October 29, 2011

(catatan perjalanan) : Di Masjid Jogokariyan

Pertama, saya ingin menegaskan, bahwa bukan karena perkataan seorang bapak-bapak rekan kerja waktu acara perjalanan dinas beberapa pekan sebelumnya lah yang membuat saya memutuskan untuk melakukan perjalanan sebagai pengisi cuti tahunan kali ini. Bukan! Sama sekali bukan. Meskipun saya sempat merenungkan perkataannya dan membenarkan sebagian isinya, keputusan saya kali ini untuk lebih memilih jalan-jalan terlebih dulu sebelum pulang adalah sebuah keputusan independent yang terbebas dari pengaruh ucapan bapak tersebut. Maka, karena independensinya, insyaAllah saya tahu betul implikasi dari pilihan saya kali ini.

“Mas Iqbal, mumpung masih muda dan belum berkeluarga, kalau ngambil cuti, jangan dipakai untuk pulang semua. Sebentar saja pulang itu. Setelah itu pergi kemana gitu. Jalan-jalan ke kota lain. Nanti kalau sudah berkeluarga bakal repot dan nggak sempat lagi”, kira-kira, begitu lah petuah si bapak. Ada benar dan tidak benarnya, menurut saya. Memang, terlalu lama di rumah, kadang tak bagus juga. Seperlunya saja. Birul walidain, memenuhi rindu, menunaikan kewajiban, itu saja. Bila selesai, ya sudah. Maka memlih melakukan perjalanan yang mengayakan sebagai pengganti sebagiannya, adalah pilihan yang sungguh-singguh layak untuk dipertimbangkan. Mengunjungi tempat-tempat baru yang belum pernah dikunjungi, bagi saya, adalah sebuah cara untuk menyegarkan kembali pikiran dengan ide-ide baru yang tak terlintas sebelumnya.

Tapi saya tak setuju kalau faktor masih muda dan belum berkeluarga sebagai alasannya. Tidak! Janganlah alasan itu jadi pilihannya. Sebab itu seolah, jika sudah tak lagi muda dan juga berkeluarga, menjadi sulit dan tidak asyik lah jalan-jalan itu untuk dilakukan. Padahal, lagi-lagi menurut saya yang tak berpengalaman ini, bukankah tak begitu seharusnya. Bahkan sepertinya malah lebih asyik. Bagi kalian yang pengantin baru, saya sarankan untuk melakukan perjalanan ini sebagai bulan madu. Tapi jangan pilih paket-paket eksklusif yang begitu memudahkan. Pilihlah paket-paket setengah mbolang. InsyaAllah bakal jauh lebih berkesan. Sebab bagi saya, jauh lebih romantis sepasang petani tua yang makan nasi jagung bareng di gubuk sawahnya, daripada sepasang muda-mudi duduk bercengkerama di beranda vila mewahnya.

Maka begitulah. Hari itu, dengan diantar teman yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, saya meluncur menuju Masjid Jogokariyan. Berencana menginap sehari di sana dan melewatkan fasilitas penginapan yang disediakan teman kerja yang pernikahannya rencananya akan saya hadiri. Masjid Jogokariyan ini memang telah mengundang minat saya untuk mengunjunginya, setelah seorang jamaah masjid di Bontang pernah menceritakan kesannya setelah mengunjungi masjid ini. Selain, tentu saja, masjid ini sering dibahas di buku-buku serta pembahasan di internet.

“ustad, saya sudah di Jogja. InsyaAllah hari ini menjuju Jogokariyan”, begitu sms saya ke ustad Jazir, ketua takmir masjid jogokariyan, ketika kami masih dalam perjalanan.

“ya, langsung saja menuju jogokariyan”, begitu jawab beliau singkat.

Memang, beberapa hari sebelumnya, dengan dibantu seorang jamaah masjid Bontang yang saya ceritakan sebelumnya, saya sudah mengonfirmasikan rencana kedatangan saya ini ke Ustad Jazir. Sedikit banyak, ikatan antara Bontang dan Ustad jazir ini cukup erat mengingat seringnya beliau diundang ke bontang, terutama pada saat bulan ramadhan.

Sesampai di Jogokariyan, kami bertiga sempat celingak-celinguk mencari seorang yang berkompeten yang bisa ditanyai serta diinformasii mengenai kedatangan saya. Tapi kosong. Hanya ada ibu-ibu yang sedang main pingpong di halaman masjid. Saya kemudian meraih ponsel dan memencet nomor HP ustad Jazir. Untung bagi saya, ternyata ustad Jazir ini ternyata yang berada di mobil yang baru saja memasuki halaman masjid. Saya pun segera menghampirinya.

Beliau kemudian membuka sebuah ruang dan mempersilakna saya untuk masuk. Sambil duduk dan mempersilakan saya duduk juga, beliau kemudian menghubungi seseorang, yang dari percakapannya, yang bakalan mengurusi saya.

“Sebentar lagi ada acara ke merapi juga. Melihat masjid yang kita bangun di sana. Ikut saja!”

Kalau boleh jujur, sebenarnya yang saya rencanakan ketika sudah sampai di masjid jogokariyan ini adalah istirahat dulu sampai dhuhur oleh sebab semalaman hanya bisa istirahat terguncang-guncang dalam perjalanan darat Bontang-Balikpapan. Sebab setelah duhurnya, saya mesti menghadiri pernikahan seorang teman kerja--hal yang menjadi alasan utama saya ke Jogja ini. Tapi tawaran ke merapi ini, tentu saja adalah tawaran yang terlalu menarik untuk tidak saya iyakan. Maka jadinya kalimat ini lah yang saya utarakan,”sampai jamberapa itu, ya, ustad? Soalnya jam satu harus menghadiri nikahan teman”

“ya, nanti bias dikomunikasikan langsung saja ke bapaknya yang pergi”

Saya hanya manggut-manggut. Sampai kemudian seorang bapak memasuki ruangan. Beliaulah yang ternyata bakal mengantarkan saya menuju ke kamar yang rencananya akan saya tempati. Sembari mengikuti si bapak, saya kemudian memberi kode ke teman yang mengantar kalau semuanya sudah oke dan saya bisa ditinggal. Entahlah, saya begitu bersemangat kala itu. Mungkin, karena ba’da mandi-mandi untuk menguapkan penat, pengalaman lain menanti untuk segera ditunaikan. Hingga pada akhirnya….ah, merapi, betapa kau yang selama ini hanya bisa kutonton dan kubaca, sebenatar lagi akan benar-benar kurasai.



(masih bersambung. Bagi yang belum baca bagian pertamanya, silakan dibaca dulu, ya)

24 comments:

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

sambil menunggu sambungannya, ayo main pingpong ... he he he ...

tun hidayah said...

Waah...

akuAi Semangka said...

"mumpung masih single..." saran itu disampaikan oleh orang2 yg udah berpengalaman.. sepertinya memang perlu dipertimbangkan. nyatanya memang akan ada kebebasan yg berkurang..


ayoo om hen pasang dulu netnya! :D

Desi Puspitasari said...

Kemarin dulu pnh sekereta dengan seorang ibu. Meski sudah punya 2 anak--masih kecil-kecil, ternyata mereka sekeluarga masih rajin mbolang, kok. Terakhir, pas cerita di kereta itu, mereka baru saja dari Bromo. Asik denger cerita cara mereka sekeluarga berdiskusi, "berangkat mau susah (naik kereta) atau mau enak (naik pesawat)?" Meski keputusan tetap di tangan orang tua, tapi pendapat anak ttp di denger. Dan jadinya mereka berangkat naik kereta (masih seger karena tenaga berlebih), dan pulang naik pesawat (udah capek).

Punya anak artinya bukan kebebasan yang berkurang (kesannya malah kayak anak jadi beban), tapi penyesuain/adaptasi--penambahan anggota tim perjalanan. Jadi inget kayaknya dulu aku pernah komen, pingin ttp mbolang meski udah punya anak--anaknya cemplungin ransel. :)) Jurnal ini juga jadi bikin inget isi suratku ttg surat ibu kepada anak yg lomba kemarin dulu itu.

Desi Puspitasari said...

Kerepotan-kerepotan yg dialami bersama saat melakukan perjalanan itu tidak akan pernah menjauhkan, tapi justru mendekatkan.

desi puspitasari said...

Aku malah pernah kepikiran: setelah nikah bulan madunya diisi dengan ikutan The Amazing Race. Hheheh..

iqbal latif said...

@hwwibntanto...sdh berapa set?
@utewae...wuih
@akuai...sbgian sdh djawab si rubie :)
@rubie...iku lomba surat seng menang kuwi ta? Haha..

HayaNajma SPS said...

setuju tuh, justru nanti kalau punya anak, jalan2 justru banyak manfaatnya.. dulu aku seneng banget kalau liburan, trus dapet oleh2 banyak, hihi..

fauziyyah arimi said...

msh prefer kenyamanan brjalan2 saat msh single..yah krn blm tw aja rasanya berjalan2 saat sdh bpsgn n pny momongan.
-,-a (pragmatis pisan komennya)

iqbal latif said...

@berber...kapankah saat it terlaksana? :p
@faraziyya...jd sdh kmana saja waktu sendiri ini?

samsiah iah said...

foto masjidnya mana?

iqbal latif said...

Masjidnya kecil saja. La wong masjid kampung..

rifi zahra said...

Mas Iqbaaal...kurang foto2nya euy...

iqbal latif said...

Sepertinya, masjidnya tdk sy foto. Hanya bagian dalam.. Kalopun ada, saat msh d rumah kayak gini, agak mustahil bisa mengunggah foto :)

desi puspitasari said...

Nanti kalau pas di Karimun Jawa aku unggahin poto-potonya. Ditautin di jurnalmu, ya, Bal. Nanti tulisanmu kutautin ke album potoku.

*Padune men kowe tok ae sik nulis jurnale. Horee....*

iqbal latif said...

Nanti kalo sampai hr rabu blm kelar nulis jurnalnya, besar kmungknan g bkalan tertls slamanya :)

Katerina * said...

jadi inget si Moes, yang bila melakukan perjalanan, lbh milih nginep di mesjid :D

Nunggu lanjutan cerita berikutnya.

Katerina * said...

foto mesjidnya mana mas Iqbal?

iqbal latif said...

sudah ada lanjutannya, kok, mbak rien...

jawaban untuk foto2nya sdh dijawab di komen sebelumnya--

desti . said...

beruntung pak iqbal. saya yg deket aja blm pernah k sana (merapi) lagi...

iqbal latif said...

Tp, melihat kalimatnya, berarti sudah pernah ke sana, kan?

desti . said...

setelah erupsi itu lebih tepatnya. blm berkunjung lagi. yg bikin susah adalah ngajakin teman2 yg dulu pernah ke tempat bersejarah itu. klo sendirian mah udh jalan sendiri aja. btw, jadi nonton jogja java karnival pak malam itu?

iqbal latif said...

How. G jadi, dest. Yg pertama karena nggak ada barengnya, yg kedua karena sy sudah ngantuk kecapaian. Sebenarnya sayang juga...

rinda erinda said...

jalan2 malah asyik lagi kalo udah berkeluarga, apalagi jalan2nya rame2 sama keluarga lain... eh, tapi imo, nginep di villa tetep lebih afdol daripada ngowoh di masjid, apalagi bulan madu! penganiayaan terhadap masjid itu sih... :D nginep di villa bukan berarti gak bisa blusukan lalu mecah degan di gubuknya pak tani...