Tuesday, October 30, 2007

Aku (Dulu) Anak Desa

    Dari sekian banyak anugerah yang telah diberikan Allah pada saya , seringkali saya bersyukur betapa sangat beruntungnya saya dilahirkan di sebuah keluarga sederhana dalam desa kecil yang kala itu masih tradisional, bukan di gang-gang sempit pinggiran kota atau dalam rumah-rumah besar berpagar tinggi di perumahan-perumahan elit. Saya sering kali termenung  membayangkan betapa itu telah memberi saya jalan untuk merasakan pengalaman-pengalaman hidup yang tak akan setiap orang mendapatkannya. Saya beruntung dilahirkan di sebuah tatanan yang tidak mengenal susu formula untuk bayinya. Maka ASI adalah adalah suatu pilihan utama, pertama, dan mungkin satu-satunya. Betapa beruntungnya saya merasakan ASI, karena tidak setiap bayi pernah minum air susu ibunya.

Lebih jauh dari itu saya sungguh beruntung bisa merasakan arti perjuangan, ketidakpunyaan, serta kebahagian-kebahagian sederhana dalam sebuah komunitas kecil yang guyup. Saya sungguh beruntung pernah merasakan kegelapan tanpa aliran listrik sehingga malam purnama adalah sebuah kebahagian tak terperikan sebagai suatu saat untuk bermain bentengan bersama teman-teman sekampung di halaman tetangga yang paling luas. Saya beruntung telah menghabiskan masa kecil saya dengan hal-hal kecil yang terlihat sederhana yang justru di kemudian hari saya syukuri. Bermandian di sungai sambil mencari koin, main-main di pematang sawah, mencari udang di sungai (kami dulu menyebutnya mentor), hujan-hujanan sambil mencium harumnya tanah di hujan perdana, serta hal lain adalah kebahagian-kebahagian masa kecil yang sering kali membuat saya tersenyum mengenangnya.

Itu memang semua terlihat biasa-biasa saja bagi sebagian orang , tapi bagi saya, itu semualah yang telah mengajarkan arti kesederhanaan hidup serta hakekat kebahagian sebenarnya. Disanalah saya tahu perjalanan sebulir nasi di kuali. Di sana pulalah saya belajar menghargai nilai koin menghitam 50 rupiah yang saya temukan di sungai, serta membaginya bersama teman sepermainan untuk dibelikan kerupuk di warung tetangga. Ah itu sungguh sederhana, teramat sederhana, tapi yang sederhana itulah yang mengajarkan saya, yang akan jadi pegangan hidup saya di kemudian hari.
Memang, untuk itu semua , banyak kompensasi-kompensasi lain yang harus saya bayar. Banyak mungkin mimpi-mimpi masa kanak-kanak yang tak bisa saya raih karena keterbatasan itu, Banyak pula sarana-sarana teknologi yang mungkin tak bisa saya nikmati sampai saya beranjak besar. Namun sekali lagi, itulah yang mendidik saya. Melalui itulah saya jadi lebih menghargai sebuah keberadaan karena saya telah merasakan bagaiman ketiadaan itu. Saya pun akan mudah sekali merelakan sebuah kehilangan karena saya telah tahu dan merasakan bagaimanakah tidak mempunyai itu.

Pasuruan

18 oktober 2007