Friday, October 5, 2007

bapakku

Bapakku Tak Romantis

 

Berberapa hari ini entah mengapa saya memiliki banyak kegiatan yang memaksa saya untuk seharian berada di kampus. Dari pagi hingga maghrib. Maka untuk beberapa hari itu pun saya berbuka di masjid kampus yang memang menyediakan bungkusan nasi bagi mahasiswa yang ingin berbukan di sana. Karena tanggung, saya pun tak langsung pulang, saya tunggu sampai isya ‘ datang dan sekalian melaksanakan sholat tarawih di sana.

Sudah umum memasuki minggu terakhir bulan ramadhan, jamaah masjid-masjid mulai menyusut, tidak terkecuali masjid kampus saya. Tinggal beberapa shof saja yang tersisa. Ini membuat saya leluasa memandangi satu persatu jamaah yang ada. Persoalan amat-mengamati ini memang kebiasaan saya sejak dulu.

Tak tahu kenapa ketika pandangan saya tertuju pada sepasang bapak anak yang sedang berdampingan khusuk mendengar ceramah ustad sebelum sholat tarawih dimulai, hati ini bergemuruh. Ada rasa iri menyembul menyaksikan sang bapak dengan telaten membantu sang anak merangkum isi ceramah sang ustad. Si anak memegang buku sambil menulis, sedang sang bapak sesekali melihat hasil tulisan anaknya. Perhatian sekali sang bapak membimbing sang anak yang kelihatannya mendapat tugas dari sekolahnya tersebut.

Dan pikiran ini menerawang ke masa lalu, betapa diri ini jarang sekali merasakan momen-meomen seperti itu. Berdua. Berdua dengan bapak.

Sesaat saya tertegun, tapi cepat-cepat saya singkirkan perasaan itu jauh-jauh. Saya dan bapak cukup dekat, tapi kami bukanlah dua pribadi yang melekat. Saya memang jarang sekali merasakan momen-momen intim berdua dengan bapak. Seingat saya, saya juga  memang jarang atau bahkan tak pernah bermanja-manja atau bergelanjutan di pundak bapak. Bapak orang yang sangat kaku bahkan untuk kami anak-anaknya.

Pun juga sampai sekarang, sampai saya kuliah. Ketika saya pulang kerumah setelah tak pulang cukup lama, bapak hampir sama sekali tak memperlihatkan ekspresi yang berlebih ketika kami bertatapan. Hanya beberapa patah kata saja yang keluar dari mulutnya ketika saya cium tangannya. “Libur ta?” demikian kata yang sering meluncur dari mulutnya. Sangat berbeda jauh dengan ekspresi berbunga-bunga yang ditunjukkan ibu.

Tapi dengan kekakuannya itulah sebenarnya bapak menunjukkan kecintaannya. Bapak mungkin bukanlah bapak yang romantis bagi kamia anak-anaknya, tapi bapak adalah bapak yang selalu siap ketika kami butuh ketangguhannya. Bapak mungkin tak pernah membelai anak-anaknya yang akan berangkat tidur, tapi bapak akan siap mengayuh sepeda tuanya ketika kami anak-anaknya merengek minta dibelikan  buku untuk sekolah. Bapak mungkin tak pernah menemani kami mengerjakan PR sambil menanyai kami masalah-masalah pribadi, tapi bapak adalah orang pertama yang menawarkan diri membelikan obat saat kami anak-anaknya sakit.

Ah saya jadi teringat waktu kelas tiga SD dulu, ketika bapak dengan susah payah menjemput saya yang habis ikut gerak jalan dengan sepeda tuanya , saya buru-buru bilang “gak usah ,nanti dianterin pakai mobil” ketika bapak baru akan menghampiri. Merasa berdosa sekali saya ketika mengingat kembali peristiwa itu, betapa saya tak menghargai pengorbanan bapak hanya karena gengsi dengan teman-teman.

 Sungguh, sebenarnya bapak punya cara-cara sendiri untuk menunjukkan kecintaannya pada kami anak-anaknya.

Griya BNI,

5 oktober 2007

5 comments:

muslimah cerenz said...

kenapa bapak tidak menempakkan rasa cinta itu...apa memang begitu karakter kebanyakan bapak.

iqbal latif said...

ntar bapak iqbal g kok.
ha ha

Pemikir Ulung said...

karena manusia itu unik, tiap orang punya cara masing-masing mengekspresikan cintanya

iqbal latif said...

iya...
hanya saja model bapak seperti bapak saya ini sering sy jumpai dlm tulisan2

Pemikir Ulung said...

mungkin kebanyakan pria begitu..atau kebanyakan pola asuh orang indonesia begitu..jadi mencetak orang-orang yang kebanyakan begitu juga

bapak saya juga gitu deh kayanya, bapaknya andrea hirata juga bukannya?