Saturday, July 2, 2011

cathar : di ruang tunggu cipaganti

Mahal dan merepotkan sekali ketidakpercayaan itu. Sekali lagi, saya merasakannya.

Malam telah menjelang ketika travel yang akan mengantarkan saya ke Jakarta baru satu jam lagi berangkat. Menunggu, ya itu lah satu-satunya yang bisa dilakukan. Dan sendiri. Tapi tentu saja sendiri yang dimaksud adalah tak adanya orang lain yang benar-benar membersamai. Sebab banyak juga orang-orang lain di situ. Sama-sama menunggu.

Dan dimulailah saat-saat mahal dan merepotkan tentang ketakpercayaan itu. Keadaan merepotkan yang untungnya berimplikasi baik sebab memaksa saya untuk mengreasikan sebuah cara.

Sederhana saja persoalannya. Saat itu saya merasa kebelet ke toilet. Sudah mulai ada indikasi  untuk minta dikeluarkan urine itu tapi saya masih saja tak sreg untuk meninggalkan koper bawaan saya begitu saja di antara orang-orang yang sama sekali belum saya kenal. Ruang tunggu di lantai satu sedangkan toilet di lantai atasnya. Saya merutuki rasa percaya saya yang sudah teramat minim ini. Ah, ini kota yang tak begitu saya tahu kultur dan kebiasaannya.

Saya memilih duduk di ruang tunggu luar. Ada orang di samping saya tapi saya juga tak kenal. Tak mungkin begitu saja memasrahkan barang bawaan saya padanya. Saat seperti ini, tentu sedikit menggelisahkan dan tak mungkin dihabiskan dengan membaca buku. Saya memikirkan sebuah cara. Ah, iya, saya punya kurma. Saya belum sempat makan malam dan beberapa butir kurma sepertinya akan cukup untuk mengganjal perut. Satu kunyahan, oke, saatnya strategi dilanjutkan. Klasik sekali; menawarkan makanan yang dipunya. Tapi ternyata gagal. Seorang lelaki muda di samping saya menolak tawaran saya itu denga sopan.

Baiklah.

Lelaki itu kemudian menelepon. Saya masih duduk dan mengunyah kurma. Tak ada yang istimewa mulanya, sampai kemudian saya menyadari sebuah hal. Oi, bukannya lelaki itu menelepon dengan menggunakan bahasa jawa. Hal yang semingguan ini jarang saya temui di Bandung. Tak hanya bahasa jawa itunya juga yang penting, tapi bahasa jawa logat jawa timur yang ia pakai adalah hal lain yang saya sadari bakal menjadi tali penghubung atara kita berdua.

Saya masih menunggu ia selesai menelepon.

Satu menit....

“iya nggak tahu... KPC... xy@#%$@&@*@ kLu7^*^I@U@@@**^((..”, dengan jelas saya dengar suaranya yang sedang menelepon. KPC? Ups. Ini bakalan jadi tali penghubung juga. KPC adalah salah satu perusahaan tambang di kaltim. Saya bahkan pernah melihat salah satu pertambangannya yang menciptakan jurang raksasa.

Selesai. Ia kembai duduk di samping saya. Beberapa saat hening.

“mau ke mana?”, itu suara saya. Membuka percakapan.

“mmm.. Lenteng Agung, jaksel”

“uoww”

“masnya?”

“Ke Cikini”, jawab saya. “orang jawa timur ya?”

Ia tersenyum.

“tadi dengar logatnya jawa timur. Jawa Timur mana?”

“Bojonegoro”

“ooo”

Dan percakapan kemudian beralih menggunakan bahasa jawa timuran. Tentang ini itu. Tentang KPC, tentang orang-orang yang kemungkinan ia kenal dan saya mengenalnya juga. Benar saja, ternyata saya mengenal seorang temannya. Ia juga bercerita tentang esok harinya akan mengikuti rekrutmen kerja di sebuah perusahaan tambang di Kaltim. Umpan tarik yang cantik buat saya untuk dieksekusi menjadi gol pembicaraan yang panjang. Bermodal 2,5 tahun di kaltim cukup buat saya untuk berbicara banyak. Hal yang tentu saja membuatnya tertarik.

Sampai kemudian saya merasa aman untuk meninggalkan bawaan guna ke toilet. Percakapan singkat itu, cukup sudah untuk membuat saya menaruh kepercayaan padanya. Ia pun, mulai aman-aman saja meninggalkan tasnya. Entah karena percaya pada saya, entah karena di tasnya itu tak perlu ada sesuatu yang ia khawatirkan ditinggalkan begitu saja. (kawan, satu bukti lagi tentang harta, bahwa kita yang mesti bersusahpayah menjaganya, bukan dia yang menjaga kita)

“oh ya, mas namnya siapa?” , ia menjulurkan tangannya. Kejadian begini amat sering. Baru bertanya nama ketika sudah asyik ngobrol ke sana ke mari.

“iqbal”, saya sambut uluran tangannya.

“adit”

Acara tukar nomor Hp bahkan terjadi di detik-detik akhir keberangkatan.

“mungkin nanti bisa ketemu lagi”, katanya.

“iya, Mungkin di Kaltim”, lanjut saya.



37 comments:

al fajr "fajar" said...

tapi waspada juga perlu to...

ngobrole mesthi ra nggo jowo..
hahaha

Salman Rafan Ghazi said...

Ke jakarta enak naik bis. ;d

al fajr "fajar" said...

beuh.... dadi kelingan "tukar cincin"

wekekekek.. joni.. jonii.....
*dudul

iqbal latif said...

@fajar..makanya waspada it aku explore dl dia.
@topan...ra tw numpak bus. Pernahe numpak kereta..

iqbal latif said...

Apane tukar cincin, jar?

al fajr "fajar" said...

sepupune lah. *lhoh

iqbal latif said...

Lo? Sepupu?

Chifrul S said...

*merindukan tulisan antum yang lain...T_T..hehe

akuAi Semangka said...

Wah! LA emang keren! ^^v

iqbal latif said...

yang mana, akh? :)

iqbal latif said...

apa hubungannya ini? huhu

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

ha ha ha ... kisah yang seru ...
nice nice ... he he he ...

Chifrul S said...

yang belum terpublish...=P

rindu dengan nama pena antum, RR IL..^_^ V

iqbal latif said...

hi hi...

*jadi nggak enak*

iqbal latif said...

seru kah yg seperti ini??


cerita biasa kalau dituliskan jadi seru juga

iqbal latif said...

ada yg ini sudah terpublish:

Pak Huda dan Ramadhan
Si Rama Yang Memperkenalkanku Pada Laila
Cerita Orang-orang Nggak Mudik

tun hidayah said...

selama 2 pekan terakhir ini telinga saya dijejali percakapan logat jawatimuran...

iqbal latif said...

dimana? di Malang Kah?

desi puspitasari said...

*nglirik Madiun*

iyaa.. Madiun cenderung lebih alus ketimbang daerah Jawa Timur yang lain. Dulu ada sejarah Keraton Yogyakarta ngapain gitu di Madiun *lupa" ingat* Itu yang ngasi pengaruh tingkat kehalusan berbahasa orang Madiun.

Bahkan kalau dibandingin ma Ngawi yang kotanya sebelahan, Ngawi itu kasar banget.

desi puspitasari said...

Lho, komen Madiunnya ilang ..

tun hidayah said...

iya di malang.. hehe

desi puspitasari said...

Ati" di sepanjang perjalanan, Bal.

Ingat anak istri menunggu di rumah *maca plang peringatan ning jalan raya*

tun hidayah said...

wah, maaf, tadi saya edit madiunnya. hehe
betul2, makanya dinamain daerah matraman, dari 'mataram'an..
gitu deh

mbak orang madiun kah?

iqbal latif said...

kalo ngawi kasar banget, la terus pasuruan piye...


berarti madiun iku negra persemakmurannya jogja dong! kalo lepas jangan2 ikut keluar dari indonesia

iqbal latif said...

ho ho...awal bulan juni kemarin ada di malang...nggak awal sih, tanggal 9 an

iqbal latif said...

ha ha..

koyok peringatan memerhatikan safety nang pabrik

tun hidayah said...

pasuruan-malang-jakarta-bontang, ngapain sih? nagih utang yak ?! qeqe, pis ^^v

iqbal latif said...

Nyambangin istri2... (upps :D)

al fajr "fajar" said...

beuh... ckckckckck....

*ngelus dada

desi puspitasari said...

Pasuruan sih gone Inul

iqbal latif said...

@fajar... Istighfar, jar! Hoho (kebalik ya)

@mlmblnbr... Beuh. Ilinge cuma inul

Leila Niwanda said...

Hmmm... kadang suka bingung memulai pembicaraan dengan orang lain, Seringnya malah pakai feeling aja, nggak pakai ngobrol dulu cuma melihat interaksinya dengan anggota rombongan yang lain, kalaupun mau nitip barang.

samsiah iah said...

susah susah gampang kenalan dengan orang baru...

iqbal latif said...

iya... kadang ujung2nya malah gaya klasik.. Kalo duduk sama penumpang yg bawa anak kecil, bisa lebih mudah. Tinggal saja digoa2 adik kecilnya, ngajak bercanda....maka akan cepat dekat

iqbal latif said...

iya..iya... perlu tips n trik :D

Vina Revi said...

Er, terus terang kalo saya yang dijejerin Iqbal dan kemudian ditawarin kurma juga bakal menolak dengan sopan, loh! hihi ... *suka enggak percaya-eun ama orang baru, euy!*

iqbal latif said...

untuk itu lah waktu itu saya makan dulu di depnnya, mb...he he
saya mikir begitu juga pas mau nawarin