Monday, July 25, 2011

ini jakarta, bung!

Saya bahkan tak tahu sendiri, apakah saya tersenyum sinis, ataukah menggerutu, atau bahkan cuma sedih tak terucap, kala malam itu memilih berhenti sejenak, sedikit menepikan diri di antara pagar pembatas dan pot bunga. Lalu dengan pandangan yang tajam menatapi satu, dua, hingga tiga motor itu untuk melaju begitu saja melewati diri. Tanpa permisi, tanpa senyum, tanpa ketidakenakan karena telah merampas sebuah hak.

Kejadian itu di sebuah trotoar. Saya sedang berjalan menenteng kresek ketika dari arah berlawanan muncul seiringan motor. Di negeri ini (ah, menyedihkan sekali mengatakan ini), meski kau benar tapi dalam posisi tak cukup kuat,  seringkali jalan terbaiknya adalah mengalah. Maka biarpun saya tahu bahwa trotoar itu, lewat definisi yang saya peroleh sejak SD, adalah tempat bagi pejalan kaki, yang saya lakukan kemudian adalah berhenti menepi sedikit. Diam sejenak menunggu motor-motor kurang beradab itu lewat. Sebab jika tidak, jika saya bersikeras untuk tak minggir atau bahkan meneruskan berjalan, bukan tak mungkin moncong motor itu lah yang bakal menghajar saya. Bakal panjang lah persoalan.

Lalu lintas memang sedang ramai, meski belum bisa dibilang macet. Ruas jalan penuh oleh aneka rupa kendaraan yang seakan tak mengijinkan sejengkal saja jalan lowong. Gerimis baru saja mengakhiri paradenya, menyisakan jalanan yang lumayan basah dan di titik-titik genangan yang kian merusak pemandangan. Maka saat-saat seperti itu, kesabaran sungguh menemukan medan juangnya. Beberapa terlihat sabar dalam kepadatan, terlihat istiqomah melewati jalur yang ditentukan dan tak terlalu banyak tingkah. Tapi beberapa yang lain tak. Yang paling ringan, ekspresi ketaksabaran itu mewujud dalam suara-suara klakson yang benar-benar meningkahi malam. Ah memang, untuk yang satu ini, jalanan indonesia memang tempat unjuk adu besar desibel klakson. Tak percaya, coba lah sekali-kali ke perempatan lampu merah yang masih tiga warna. Maka saat lampu kuning itu baru menyala, dengar lah, seketika itu suara berbagai macam klakson kendaraan yang baru terhenti karena terkena lampu merah berebutan untuk menjadi yang terdahulu  memekakkan telinga. Seakan semua pengendara di depannya sedang melamun tak tahu lampu lalu lintas telah berubah, seolah mereka tiba-tiba menjadi seorang yang begitu menghargai waktu hingga sedetik saja pantas ditukar dengan keandilan mencemari suara.

Dalam tingkatan yang lebih, ketaksabaran itu berujung dengan apa yang saya ceritakan di awal. Begtu ada celah, sedikit saja, sesaat saja, maka secepat itu pula lah aksi terlaksana. Srobot sana, srobot sini. Tak peduli kalau itu mengganggu pengendara yang lain, tak ambil soal kalau itu melanggar hak pejalan kaki. Tujuannya satu; lepas dari kepadatan yang seakan tak jua mengurai, apapun caranya. Terlupa, bahwa yang mereka lakukan, boleh jadi kian meliatkan jalinan keruwetan yang sudah amat ruwet.

Ah, jakarta.

Tapi tentu saja ini bukan tentang jakarta. Ini tentang penerimaan, ini tentang kesabaran. Ini tentang bagaimana kita memilih sikap atas sebuah keadaan yang sama-sama tak mengenakkan kita. Sebab dalam kondisi apapun, seterjepit apapun, akan selalu ada pilihan. Kita lah penentunya. Maka nilai diri kita, dalam medan keruwetan lalu lintas ibu kota, menemukan pengujinya. Maka bapak-bapak yang menerobos melintasi trotoar itu, telah menempelkan nilai dirinya besar-besar di helm bagian depan. Mempertontonkan ke sana ke mari. Sedihnya, amat boleh jadi, ia tak merasa kalau tulisan yang tertempel itu, tergurat dengan tinta merah yang tebal. Buruk. Buruk sekali. Sebab sunguh menyedihkan tak terkira, kala kita mulai tak merasa malu atas ketakbenaran yang kita lakukan.

Lalu lintas masih saja padat. Suara-suara klakson tetap saja menggema. Tapi lelaki dengan kresek di tangannya itu terus melangkah dalam sunyi. Malam itu, semoga saja satu pelajaran hidup masih sempat ia renungi.





260711
Pinggiran Raden Saleh


44 comments:

Salman Rafan Ghazi said...

Gawa bom, ya?

anaz kia said...

Huahahha
Sungguh terlalu

iqbal latif said...

Iyo, rakitan dewe maneh

anaz kia said...

Membayangkan Jakrata adem ayem tanpa kemacetan bisa nggak, yah? :(

iqbal latif said...

bisa...dari lantai atas tersekat kaca dimana suara luar tak bisa masuk.... jakarta hening saat itu :)

desi puspitasari said...

Jogja aja, yuk.

iqbal latif said...

ayuk...! kapan? :p


#pasuruan saja, yuk..
#lanjut Bontang, yuk
ha ha

mashita patriotika said...

iya, kadang yg bener kok harus teraniayi karena org2 yg jelas2 melanggar peraturan...

akuAi Semangka said...

Penerimaanku terhadap kemacetan jakarta sudah sangat baik. Tapi untuk suara klakson yg bahkan seringkali disengaja di antara kemacetan jakarta itu sungguh bikin aku misuh2 sendiri. Benar2 polusi!

Lailatul Qadr said...

kreseknya warna apa, mas???

Lalu Abdul Fatah said...

Mikir2 untuk kerja di Jakarta :D

aya comel said...

sapa suruh datang ke jakarta..hehehe ;D :D

*kabuuur :P

carrot soup said...

hahahaha, makanya ketika saya ke bontang, serasa di luar negeri...

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

bahkan di banyak jalan di Bandung sudah tidak ada lagi trotoar untuk pejalan kaki ... semua diisi oleh pedagang kaki lima, bahkan mengambil sebagian badan jalan raya ...

Diah Pitaloka said...

Enakan lewat trotoar,jadi kaga' kna macet,hahah. Ato offroad,hoho.

rinda erinda said...

jakarta memang tidak manusiawi..

Fatah Manohara said...

Jakarta bukan pilihan..tapi kenyataan.C#

sefano fafa said...

emang enak dibontang

iqbal latif said...

nah, ini lah yg sebenare mesti dicermati...Bagaimana yg benar itu menjadi berdaya

iqbal latif said...

hmmm...saya agak terganggu dengan kosakata ;misuh' ini ai.... Di jatim, misuh itu artinya mengumpat. Bukan sembarang umpatan... Tapi umpatan yg kasar sekali.. salah satunya,bilang 'J*NC*K' itu disebut misuh...

iqbal latif said...

warna putih, mbak.. Ada tulisannya alfamart :)

iqbal latif said...

kalau masih ada kesempatan yang lain mending tdk memenuhi ibu kota, tah..he he

iqbal latif said...

#kejar
#bawa pentungan


tapi kalo untuk jalan2 yg sesekali saja, enak saja, tuh, jakarta

iqbal latif said...

hoho..apakah ini kabar baik buat bontang?

iqbal latif said...

iya,...pas ke bandung beberaoa minggu yg lalu memang begitu...

hmmm....
negeri yg tak ramah buat pejalan kaki

iqbal latif said...

wow! mantap sekali bumil yang satu ini...

ngetik itu dedeknya ngerasain, lo! :)

iqbal latif said...

bagi saya, jakarta pilihan, kok..he he

dan saya (masih) memilih Bontang

tun hidayah said...

#sejak kamis kemarin merasakan macetnya jakarta, entah untuk berapa taun ke depan, puluh tahun ke depan, atau detik ke depan...
#ikut stres

iqbal latif said...

wah, di jakarta sekarang? kerjanya di sini kah?

%kalau tak salah STAN ya?

tun hidayah said...

hehe, iya. baru penempatan 15juli kemarin....

iqbal latif said...

wah, itu bakalan tetap di sini....


selamat berdesak2an, deh!

dedy subandi said...

iki masti nginapnya di hotel bintang ^ - ^....

iqbal latif said...

he he..kok nggak nebak di bluesky?

carrot soup said...

baik dooonk

iqbal latif said...

mau ke sana lagi, nggak?

carrot soup said...

asal ada yg ongkosin sih, mauuuuuu

kali ini pengen ketemu gadisamnesia, huehehehe

iqbal latif said...

jadi nggak pengen ketemu aku? haha..

kalo pengen ketemu aku sih mau tak ongkosin tadi...:p

#aku saja belum ketemu yg sesama bontang

carrot soup said...

padahal kemaren kudunya hadiah bwt gadisamnesia titipin iqbal aja yah? biar ada alasan ketemuan, hehehe

iqbal latif said...

ha ha... dapat apa dia?

paling tak bilang: "aduh, menuh2in bagasi, nih!" :)

Lina Komarudin said...

dan pagi ini... na dan bapak, hampir saja kecelakaan... :)

Diah Pitaloka said...

emang beneran pernah offroad ama misua kok...lewat trotoar juga, tapi aman :D

iqbal latif said...

yee... nggak bagus, nih.... Nggak patut dicontoh...

Diah Pitaloka said...

:))
klo belum pernah ngerasain situasi yang sama, pasti bakal ngejawab gitu..

waktu itu dah maghrib mepet isya,,klo "sabar" terus, malah kaga' bakal bisa sholat..

iqbal latif said...

Nah, siapa suruh nekat nerabas lalu lintas macet di wakt mepet bgtu..:p