Friday, July 8, 2011

; kepada abang

Apakah aku keterlaluan, bila tulisan ini terlahir setelah hampir sebulan telah lewat dari hari kau mengucap janji, dengan kalimat yang kau tegas-tegaskan di antara haru -juga grogi- yang mungkin menelisik, di ruangan kecil itu ; Mitsaqon Gholizo..

Ah, aku sedang tidak menyalahkan pekerjaan kecilku kala itu, yang memaksa menenteng dua kamera digital di kanan-kiri tanganku. Mengabadikan saat-saat dalam megabyte kenangan dalam sudut jepret lain. Melangkah, hilir mudik, serta penuh gerakan, bahkan ketika orang-orang lebih banyak terdiam syahdu. Adakah aku telah melewatkan prosesi sakral itu dalam pemaknaan seperti biasanya; diam, menelan lamat-lamat tiap kalimat, juga mendoa.

“sah?”, begitu tanya yang sangat khas itu meningkahi ruangan.

“sah!”, jawab orang-orang. Serempak, tegas. Menjadikan tunai segalanya. Mungkin setan langsung terjengkang kala itu, terbirit-birit menjauhi majlis. Tersadarkan akan satu jalan menjerumuskan anak adam telah terkunci. Terserah kalau ia kembali menyusun strategi, terserah kalau ia masih menghimpun kekuatan. Sebab pagar telah begitu rapat terjalin, dengan pintu yang terkunci.

Tapi di manakah pengantinmu, Kang? Aku belum jua melihatnya selain sekelebatan sebelum acara janji dalam pakaian warna krem –atau putih tulang- yang menutup rapat seluruh auratnya. Mungkin ia masih terkunci di kamarnya dalam irama dagdigdug. Mungkin menunduk. Mungkin haru. Mungkin meneguh-neguhkan hati bahwa ia akan memiliki imam baru dimana cinta, detik itu, kepadanyalah mesti bermuara.

Oh, aku belum juga sadar, kau menghadirkan satu lagi perempuan. Menyemarakkan keluarga kita yang begitu maskulin. Ya, ba’da janjimu itu, bukankah satu lagi kakak perempuan kau tambahkan dalam daftarku. Membuat aku sekali lagi memberi embel-embel ‘mbak’ di depan sebuah nama baru, yang, entahlah, menjadi terasa menyenangkan. Ah, aku tak juga tahu apakah ini sebentuk obsesi sederhana seorang laki-laki yang bersaudarakan empat lelaki. Kadang, keinginan kerap kali tak kita mengerti sampai kita dihadapkan sendiri dengan apa yang kita ingini itu.

Jemputlah pengantinmu, Kang! Bukankah itu yang diminta oleh bapak penghulu kala itu. Memintamu membawa buku kecil formalitas negara, juga lembar-lembar yang tak kutahu pasti, untuk dipintakan tanda tangan pengantinmu. Aku, sebagaimana tugasku memang, akan membekukan saat-saat itu. Agar kau terus mengingat, agar kau tetap terkenang (lalu berazzam), bahwa pertama kali kau menjemputnya, bahwa saat kau menghalalkannya, adalah dengan cara yang baik. Dimana nama Allah diagungkan dalam sebuah majlis suci. Hingga semoga akan tetap baiklah kelanjutannya, hingga semoga  baiklah kesudahannya. Maka kau pasti tahu, apakah kesudahan terbaik itu? Adalah surga, Kang.

Hari itu, ingin sekali kuputar segala kenangan tentang segala yang telah terjadi. Menjenguk masa lalu, hingga ingatan kita kembali menukik pada satu titik masa lampau, pada saat-saat bersama dalam petak yang tukang pos tak pernah menjangkaunya. Lalu kita merunut kembali perjalanan itu, kebersamaan itu, saat demi saat, hingga perlahan-lahan kebersamaan itu melerai secara fisik. Aku dalam duniaku, kau dalam duniamu. Lebih kerap tersambungkan lewat teknologi nirkabel yang melipat jarak. Itu terjadi mulai kapan? Rasa-rasanya sudah 7-8 tahun yang lalu.

Waktu telah menunaikan tugasnya, Kang. Maka ba’da kau sempurnakan yang separuh diin ini, kau telah mendirikan peradabanmu sendiri. Tak melepas dari keluarga besar kita memang, tapi setidaknya telah membuat garis batas dengan independensinya sendiri. Aku berharap, ini bukanlah akhir dari sebuah kebersamaan yang memang kian menjarang. Aku, seperti kepada keponakanku yang lain, masih menginginkan menjadi paman yang bisa diandalkan, yang mereka tak sungkan bergelanjut di pundak, bahkan meski sepupu terkecil mereka telah menyapa.

***

Barakallahu laka wabaraka ‘alayka wajama’a Baynakuma fii khair.

Apakah kalimat itu yang pada hari itu begitu sering kau dengar? Doa luar biasa itu. Doa yang diajarkan oleh nabi kita untuk sepasangan pengantin baru. Bahwa, semoga Allah memberkahi terhadap apa-apa yang kita sukai, juga memberkahi apa-apa yang kurang kita senangi. Begitu juga doaku, kang!

Salam.




46 comments:

Salman Rafan Ghazi said...

Aamiin..

Koe kapan, Bal? Ben nambah 'mbak' eneh.

APRILLIA EKASARI said...

kalau pas penghulu mulai ngomong dan pengantin pria mulai bercuap-cuap
biasaya aku gak perhatiin krn sibuk berdoa sendiri
kan pas itu katanya sekat antara manusia dengan Tuhan gak ada
jadi doa lebih cepat terkabul hihihihi

rifi zahra said...

Jadi...abang atau akang? Atau abang yang dipanggil akang? *pertanyaan yang tampaknya ga penting :D*

iqbal latif said...

lek nanti bukan mbak-lah, tapi 'dik'..ha ha


soale aku nggak duwe adik :p

iqbal latif said...

tidak dua-duanya, rifi...

di tulisan dmemakai kata ganti 'Kang' karena lebih enak saja mendengarnya...

saya memnaggilnya cak..panggilan khas jatim

Nia Robie' said...

Mas dayat? Sahabatku luar biasa :D

iqbal latif said...

wah, begitu ya? bisa dicoba..he he...


biasanya sih saya mendengarkan dengan seksama tiap kalimat yg meluncur..:)

iqbal latif said...

hoho... begitu ya?


kok HS-nya g ada?

Nia Robie' said...

Dy saklek tapi juga fleksibel, kami pernah niat mbolanagan bareng, tapi nanti ditunda keknya setelah aku punya suami dan dy ngajak istrinya hihi
Tapi baru rencana.
Blom aku ganti mals ke warnet

akuAi Semangka said...

harusnya berjudul: Surat Untuk Cak Dayat
biar orangnya ngeh juga :D

desi puspitasari said...

Ya ampun. Tulisanmu, Kang..

desi puspitasari said...

Apik!

Lalu Abdul Fatah said...

Tulus.

Ungkapan sayang seorang adik pada cak-nya :)

Semoga kebaikan itu juga segera terhimpun buat sampeyan, Mas Iqbal.

samsiah iah said...

Tulisannya bagus... Barakallah buat kakaknya.. ^_^

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

ikut berbahagia dengan pernikahan anggota keluargamu ...

cak Dayat said...

aku mencintaimu karena Allah..

semoga kau juga segera menghadirkan seorang adik perempuan untukku..
untuk keluarga besar kita

iqbal latif said...

@akuai...ngerti lah. InsyaALlah. Sudah aku tag
@mlmblnbr..wah, aku dielem penulis :p

iqbal latif said...

@lafatah...amin. Terimakasih doanya, fatah..
@iansunshine..terimaksh. Amin. Barakah jg atas kemunculan guestbooknya

akuAi Semangka said...

*komennya cak dayat so sweet banget, haha..

akuAi Semangka said...

*komennya cak dayat so sweet banget, haha..

iqbal latif said...

@hwwb...terimakasih, kang hendra
@cakdayat..eh, yg diomongn muncul. Jawab: begitu jg aku. Amin

iqbal latif said...

@akuai..tdk semua orang mampu memunculkan kemanisannya :)

rifi zahra said...

Ooo...
Tulisan yang berarti bwt sang kakak :)

iqbal latif said...

Seperti halnya tlsanmu kmarin jg sangat berarti buat si adik

cak Dayat said...

nihaw.....
kapan neh undanganya dikirim?
dikau g minta mahar puisikan?
atau malah minta biola biru..hehehe

rahmah ... said...

Mas iqbal adiknya cak dayat eska? *lirik nia nihaw :)

cak Dayat said...

ini rahma yg mana ya?

#lirik nahaw juga..

HayaNajma SPS said...

doa yang sama buat abangnya ya :D

Sukma Danti said...

aamiin...

smg segera menyusul Bal, biar ada yg dipanggil "dik" beneran :D

samsiah iah said...

iya... akhirnya muncul juga itu guestbook :)

iqbal latif said...

huum..betul sekali

iqbal latif said...

terimakasih, bery....

iqbal latif said...

hmmm....


didoakan ya..:).....

iqbal latif said...

semoga brmanfaat guestbooknya...

samsiah iah said...

amiin...

Daicy Mahia DG said...

bagus..
kalau baca tulisan mas iqbal, jadi ingat Aa..

iqbal latif said...

Aa siapa, mahia? Yg mp-er itukah?

ukhti hazimah said...

Potone endi?

iqbal latif said...

Njaluk wonge dw..
Aku ra ono

Ar Rifa'ah said...

Masya Allah...

iqbal latif said...

ada apa rifah?

Ar Rifa'ah said...

Masya Allah...

Daicy Mahia DG said...

iya, yang mp-er juga..hehe

iqbal latif said...

uow..kayake kontak saya juga..he he

agie botianovi said...

dulu pas baca ini di facebook aku langsung nangis bombay...hehe (pas belum jadi aktivis multiply...^^v)

iqbal latif said...

asal mbacanya tidak sedang di angkot saja...he he