Wednesday, November 17, 2010

(catatan perjalanan2) sby-ponorogo

(baca tulisan sebelumnya, ya? he he)


Tapi aku ragu untuk menyatakan keberatanku lewat kata. Jadinya, aku hanya mengibas-ngibaskan tangan dengan gerakan berlebihan untuk memancingnya merasakan keberatanku. Entah bapak tua itu nyadar atau tidak. Aku tak tahu. Hanya saja, batang-batang rokoknya berlanjut sambung menyambung dengan jeda yang tak terlalu lebar. Tak beruntungnya juga, bapak tua ini bukanlah penumpang jarak pendek yang segera turun. Nantinya, seingatku, ia baru turun di sekitaran nganjuk.

Teman dudukku pertama adalah seorang bapak yang tak terlalu antusias saat aku pancing ngobrol. Jadinya, kami hanya berdiam diri dalam pikiran masing-masing. Saat itu aku belum berminat untuk membuka buku yang memang aku bawa. Bahkan, ketika aku membeli Jawa Pos dan kutawarkan dia untuk ikut membacanya, ia juga menolak. Dengan halus.

Teman duduk pertama turun dan diganti seorang anak kecil yang memang mebersamai ibunya. Tingkahnya lucu dan malu-malu saat aku tawari tahu sumedangku. Pertama kali menggeleng, namun segera saja ia comot juga sepotong tahu yangmemang aku sodorkan dengan cara sedikit mendesak. kebersamaan dengan bocah cilik ini, sebentar saja, sebab tak lama setelah itu ia kembali bergabung dengan ibunya yang duduk dua kursi di belakang.

Lalu orang ketiga yang duduk adalah seorang ibu bersama puteranya. Tak butuh waktu lama untuk memancingnya berbicara banyak. Banyak sekali, seolah aku adalah orang yang sudah lama dikenalnya. Menceritakan anaknya yang berjumalah dua dengan yang sulung sudah duduk di bangku SMK. Menceritakan tentang suaminya yang menjadi karyawan di sebuah pabrik di mojokerto (ia meneyebut pekerjaan suaminya dengan sebuah kosakata yang tak terlalu nyaman di telinga : buruh). Menceritakan bibinya yang juga berada di Kalimantan, Balikpapan tepatnya (ia bercerita setelah dengan terpaksa aku sebutkan kalimantan sebagai tempat dimana aku bekerja). Dan, puncaknya, ketika dengan sertamerta ia bertanya, ‘sudah menikah?’. Haha..ini adalah pertanyaan yang kesekian yang ditanyakan oleh orang yang bahkan baru pertama aku temui. Aku tersenyum menidakkan. “nunggu apalagi, mas?”, ibu itu membalasnya dengan sebuah pertanyaan yang aku tahu tak membutuhkan jawaban.

Di mojo agung, Jombang, kemudian ibu itu turun. Aku menyesalkan kenapa ia segera turun sebab selama rentang ibu itu duduk di sampingku lah perjalanan menjadi lebih menyenangkan meski dalam cuaca yang mengalirkan keringat. Segera, setelah ibu itu berpamitan untuk turun, tempat duduk sebelah kembali kosong. Akupun kembali membuka lowongan. Menjuadi penguasa kursi untuk sementara. Tapi, itu kemudian tak lama.

Lagi-lagi, ibu-ibu. Aku lupa detailnya sebab tak terlalu bercakap-cakap dengannya. Subyektivitas mungkin yang membuat aku bahkan malas untuk membuka percakapan. Sebuah alasan yang sama yang mungkin dimiliki oleh bapak pertama yang tak terlalu antusias ketika aku ajak bicara.

Tak ada yang menarik, selain apa-apa yang bisa terlihat di luar jendela. Rute ini jarang-jarang aku lalui maka setiap tempat yang terlewatil menjadi menarik untuk dilihat sebab memang jarang terinderai. Sesuatu yang jarang itu memang menarik. Berkali-kali asongan naik turun dan berkali-kali pula pengamen jalanan manggung. Juga, tak lupa, seorang yang mengedarkan sebuah amplop putih lusuh dengan bubuhan tulisan pengundang iba, berucap sebentar, lalu kembali memungutinya dari para penumpang berharap tangan-tangan derma telah menyisipkan rupiah-rupiah ke amplop-ampolop yang semula kosong tadi. Kuhitung ada tiga orang yang memakai metode itu tadi. Yang pertama seorang yang terlihat cacat dengan tulisan tangan tak rapi (untuk tak mengatakannya cakar ayam). Tulisannya lumayan panjang dengan kemampuan meletakkan tanda baca yang sangat-sangat lemah.

Yang kedua kemudian adalah seorang remaja tanggung yang terlihat segar bugar. Catat: remaja tanggung. Amplopnya lusuh juga dengan tulisan tangan yang boleh dikata lebih rapi dari yang pertama. Yang ia tulis di amplop itu sungguh-sungguh singkat yang bahkan aku masih menghafal potongannya : untuk makan dan membantu orang tua. Terakhir, yang ketiga, adalah seorang ibu-ibu. Masih dengan amplop putihnya, hanya saja kali ini ia tak memamerkan tulisan tangannya yang mungkin saja juga tak rapi. Kali ini tulisan yang aku baca di amplop itu adalah tulisan produk komputer dengan font standar. Isi tulisannya, tak jauh beda.

Di terminal nganjuk, kemudian seorang pelajar puteri naik. Murid MAN, itu yang kutahu nanti dari badge yang terpasang di lengan bajunya. Sebentar celingukan menyeksamai bus yang lumayan penuh. Kemudian, ia memutuskan duduk di sampingku. Saat itu aku telah asyik dengan DDU-nya Salim (dengan beberapa kali ketiduran)hingga tak terlalu ingin ngobrol. Si pelajar, nampak diam saja. Dari gelagatnya, nampak betul kalau ia sudah hafal detail bus yang ia tumpangi. Mungkin tiap harinya ini adalah kendaraan pengantar ia menempuh mimpi.

Tak lama, kondektur menghampiri si pelajar. Ia, si pelajar, menyerahkan selembar lima ribuan dengan menyebutkan sebuah tempat yang tak kudengar. Kemudian, tiga lembar uang ribuan sebagai kembaliannya. Entahlah, aku sering kali tertarik hal begituan. Naik kendaraan umum hingga lulus SMA sedikit banyak berandil atas kesukaanku ini. Ongkosku tadi 28.000 (atau 22.000, ya?), yang berarti berkali lipatnya dari ongkos si npelajar berkacamata.
Yang menjadi masalah kemudian adalah ternyata si pelajar ini mulai terkantuk-kantuk. Berkali-kali kepalanya tertekuk-tekuk ke depan dan ini isyarat kalau tekukannya bakalan menyamping juga. Aih, jika yang disamping itu adalah seseorang perempuan yang bapaknya kau jabat erat dengan kalimat qobul setelah sebelumnya ia mengucapkan kalimat Ijab, maka kau akan dengan senang hati menyerahkan pundakmu, meski kepalanya memberati. Tapi ini?
Aku pun terpaksa memajukan dudukku dan merelakan diri untuk tak menyandarkan punggung yang sebenarnya telah kelelahan.

Sebentar saja si pelajar itu. ia pun turun dan keadaan mulai lowong hingga aku menguasai kursi yang sebenarnya berisi dua itu.
Menjelang Madiun (atau setelah, ya?), bus berhenti di depan sebuah pabrik rokok Sampoerna. Beberapa pekerja perempuan naik. Aku tak tahu apa karena tampilanku terlihat orang baik-baik hingga orang nyaman duduk di sampingku atau karena alasan tempat dudukku yang strategis hingga seorang karyawan perempuan memilih duduk di sampingku. Padahal bus sudah lowong.

Tapi kemudian aku membuka percakapan;

“Mlilir masih jauh nggak, mb?” Kuperlihatkan karcis busku dengan kata Mlilir yang tercoret spidol.
“masih jauh.”
“satu jam lagi?” Demikian kejarku. Kata jauh tentu saja lebih sulit untuk diterjemahkan.
“Oh, nggak nyampai”
Ouw, dekat berarti. “Mbak turun mana?”
“Ponorogo.”
“kalau begitu, kalau mau nyampai mlilir tolong diingatkan”. Ponorogo adalah tempat yang lokasinya berada setelah Mlilir. Begitulah informasi yang kudapatkan dari potongan karcis bus itu.

Mbaknya hanya tersenyum.

Ngepos Mlilir, demikianlah tempat turun bus yang diinfokan teman yang akan menikah ini. Tempat itu pula yang aku katakan pada kondektur bus, yang kemudian dibalas dengan anggukan. Aku sudah merangsek duduk di baris terdepan. Di luar, gerimis mulai turun. Bahkan cenderung membesar. Tentu, itu kabar buruk.

Ngepos mlilir yang dimaksud adalah sebuah pos polisi. Di situlah kemudian aku turun. Kupencet sebuah nomor dan tersambunglah aku dengan teman yang punya hajatan itu. Ia memerintahkan untuk naik ojek yang katanya mangkal di sekitar situ. Dan benar, tampa perlu kucari, seorang tukang ojek menghampiri bahkan ketika aku masih berbicara via telepon dengan temanku.

Kemudian, kusebutkan sebuah alamat yang diberitahukan temanku tadi. Pak tukang ojek mengangguk tanda mengerti. Ia, yang merasa di atas angin sebab ia seorang lah tukang ojek di situ serta merta menuju motor bututnya tanpa perlu mengajakku serta. Ia sudah yakin kalau langkahnya pasti akan aku ikuti.

“berapa pak?”. Kesalahan. Aku memakai bahasa indonesia yang mengesankan orang jauh dan ngota.
“lima belas ribu.”
“nggak sepuluh ribu?”
“lima belas ribu.” Mengucapkan itu, sambil memakai helm.

Baiklah. “saya nggak pakai helm nggak papa, Pak?”

Sedikit tersenyum. “nggak apa-apa.”

Ah, Bapak. Helm bukan karena ada polisi, Pak.

Kami tak jua berangkat. Pak tukang ojek masih juga terlihat sibuk. Malah kemudian sibuk mengambil mantel dari jok motornya demi melihat gerimis yang sepertinya lumayan juga membasahi baju. Gerak-geriknya nampak grogi seolah ini adalah kali pertama ia mengojek. Mungkin, dan ini analisaku yang baru terpikirkan kemudian, aku adalah penumpang pertamanya setelah menunggu seharian. Amat membucahkan hatinya lah pasti. Analisa serampanganku itu, tak pelak cukup membuatku tenteram bahkan jikalau toh ongkos naik ojek itu harusnya lima ribu saja.

Motor terstarter. Kami pun berangkat, dengan aku berlindung dari balik ponco pak tukang ojek. Gelap pastinya. Tak ada yang bisa dilihat. Tapi itu adalah konsekuensi jika aku ingin terlindung dari hujan.

Motor pak tukang ojek terus membelah jalan. Kulihat, waktu menunjukan jelang jam empat sore.

43 comments:

desi puspitasari said...

tsaaaah ..

Pemikir Ulung said...

kenapa terpaksa mas?

Pemikir Ulung said...

aku juga mau nanya gituuuu

nunggu apalagi, mas?

hehehehehe

Pemikir Ulung said...

hahahah..ketawa baca bagian ini, jadi inget diri sendiri..suka gitu juga kalo tidur di bis, memalukan

iqbal latif said...

@malambulanbiru...biasanya kalau di film-fil sambil ngibasin rambut.. :)

@pemikirulung...terpaksa? karean tak terlalu nyaman menceritakan diri di tempat umum.. Tapi suka ndengerin..hehe
"nunggu apalagi, mas?" he he...nunggu calonnya lah. :D

iqbal latif said...

@pemikirulung...haha. memalukan. :p

HayaNajma SPS said...

mas iqbal tu nyatet semua kejadian di notes ya? lengkap aamat ;D

Pemikir Ulung said...

jangan ditunggu laaah..tapi dicari..rejeki aja begitu kan? :)

Pemikir Ulung said...

untungnya orang-orang yang ada di sebelahku ga pernah cari-cari kesempatan..coba kalo mereka "nakal"..duh, bisa kaya lagi syuting drama korea, hihihihihi

eh tapi mas, itu memang susah lho, kalo udah ngantuk, ngarahin kepala jadi susah :p

iqbal latif said...

@berry89...hehe..nggak segitunya. Beberapa dialog nggak sama persis... hanya yg 'penting2' ingat
@pemikirulung....tepatnya menjemput yang dinanti.. Begitu kata achan
kalo ngantuk makan permen... bahaya perempuan tdr di bus

Pemikir Ulung said...

baiklah, aku ini kerjanya ngompor-ngomporin orang, tapi yang kukompirin belom ada yang nikah juga sampe sekarang :p

aku jarang-jarang sih naik bus..
iya sih bahaya, tapi emang pelor, susah :D
eh, eh, emangnya saya perempuan? :p

Siska Rostika said...

Lho mas iq ini blm nikah? Kirain udah pny anak 2...

iqbal latif said...

@pemikirulung...eh sesama jomblowati dilarang ngomporngomporin.. Haha,kalau g dikasih tw ai kayake sampai skrg kukira dirimu lelaki..

iqbal latif said...

@bundananda...anaknya siapa sj itu, mb?

iqbal latif said...

@bundananda...anaknya siapa sj itu, mb?

al fajr "fajar" said...

wekekekeke,, berarti wis dianggep cocok dadi bapak2, bal.. qeqeqe..

iqbal latif said...

@jaraway...memang dr dulu bapakbapak.. jangan sampe deh ibuibu :)

al fajr "fajar" said...

btw, makane... biasakan njawani.. ben ga canggung ketemu pak ojek.. hihihi

iqbal latif said...

kebiasaan nang bontang, ki! meski akeh wong jowone tetep seringe bhs indonesiaan

desi puspitasari said...

aku ngiranya Iqbal ini malah udah punya cucu #lebay

iqbal latif said...

@malambulanbiru...kalo aku sudah punya cucu, la tante sudah punya apa? :p

Pemikir Ulung said...

beda mas, kalo saya jomblo tapi ga pernah ditanya "nunggu apa". soalnya wajar kalo saya masih jomblo, jadi orang ga bertanya-tanya, hihihihi

ai dudul..kenapa pake dikasi tau yaa, harusnya diemin ajaa..aku seneng ko kalo ada yang nyangka aku cowo, hoho

iqbal latif said...

iya, kan pertanyaannya jadi "nunggu siapa?".. haha

bahkan diah sdh konferensi pers kalo dirimu perempuan kok!

iqbal latif said...

iya, kan pertanyaannya jadi "nunggu siapa?".. haha

bahkan diah sdh konferensi pers kalo dirimu perempuan kok!

Pemikir Ulung said...

ga juga ko..seriusan gada yang mempertanyakan kalo saya masih jomblo, soalnya saya keliatan sebagai single yang happy, hihihi

penting amat diah sampe konferensi pers, kesannya pemikirulung tenar gitu
banyak yang udah salah sangka sih, sekalinya komen yang menunjukkan kalo saya perempuan saya malah pernah dibentak "jangan pura-pura jadi cewek", gitu kata yang punya blog, haha, serba salah..

baca ini deh mas..http://pemikirulung.multiply.com/journal/item/289
nyambung sama obrolan tentang gender ini soalnya, hehe, maap kalo ga berkenan

iqbal latif said...

masalahnya kalian kan romantis2an gt...jd membuat orang berpikiran yang iyaiya...hehe


pertama kenal pemikir ulung kan pada manggil ludi.... Menurutku Ludi itu nama cowok. Kan deket sm yudi atau rudi atau dudi hoho

Pemikir Ulung said...

mana saya tau kalo situ gatau kalo saya cewe..hahaha..soalnya perasaan diblog-blog terakhir yang mas iqbal baca, tergambar dengan jelas deh saya ini perempuan
ckckck..laki-laki memang bukan mahluk yang menyimak

http://pemikirulung.multiply.com/journal/item/306
:D

iqbal latif said...

eh, tapi yang mbaca di situ kan bukan saya doank! banyak orang lain, kan? :)

Pemikir Ulung said...

ampun bang ampun bang
saya sudah bilang ko ke salah satu istri saya, jangan mengumbar kemesraan di depan umum lagi, hohoho
tenang..aspirasi rakyat bawah saya dengarkan :p

iqbal latif said...

jiah...! aspirasi rakyat baah dia sebut....

Pemikir Ulung said...

daripada saya bilang rakyat jelata

iqbal latif said...

apalagi kaum proletar.. ;)

Pemikir Ulung said...

sudah pintar rupanya
*makin oot*
udahan ah

akuAi Semangka said...

hadeuh, panjang amat neh tulisan.

Owh, jadi pertanyaannya untuk melengkapi tulisan ini. Hoho.

Pemikir Ulung said...

*baca lagi*
ternyata bagian ojek waktu itu ga kubaca..cuma baca yang make ponco-nya tukang ojek, padahal ternyata kisah tukang ojek menarik
*sebagai sesama tukang ojek harus saling menghormati

iqbal latif said...

melengkpi tulisan apa?

iqbal latif said...

ktahuan kalo diskip2....


dirimu tk ojek jg kah?

Pemikir Ulung said...

hehehe..aku baca detail cuma setengah..abis itu skimming :p
kayanya pernah kubilang deh, aku suka bosen baca sejenis novel begini

iya..hehehe..pelanggannya ibu, kakak :D

Pemikir Ulung said...

lebih tepatnya aku baca detail sampe cerita anak sekolah yang ngantuk selesai :D

iqbal latif said...

memang sih tak buat model begini..kalo bergaya curhat g sreg.....

Pemikir Ulung said...

*merasa tersindir* :p

iqbal latif said...

g sreg membuatnya....
mesti bisa jd tak berlaku utk membacanya


:)

*yes, bs nyindir

Pemikir Ulung said...

yow..masing-masing gayanya aja