Sunday, November 7, 2010

Perkenalkan, Namanya Dona Windy Astuti


 “Iqbal, kalau ada perlu, dipanggil saja, tak usah dicolek”

Bagaimana aku akan lupa kalimat itu. Pertama kali terucap, sekitar enam tahun yang lalu. Seorang perempuan mengatakannya. Namanya, Dona Windy Astuti.

Kami dipertemukan oleh sebuah pilihan pada bulatan-bulatan yang kami isi di kolom pilihan jurusan pada kertas pendaftaran SPMB. Diuji oleh soal-soal pilihan ganda pada waktu yang sama dan tempat yang berbeda. Kemudian bertemu di sebuah kampus pinggiran Surabaya dengan status sebagai mahasiswa. Tapi tidak! Bukan karena kami sejurusan sematalah yang membuat kemudian aku lebih jauh mengenalnya.

Kalimat di atas tadi, adalah kalimat yang ia ucapkan saat berada di sebuah kelas yang bukan ruang kelas jurusan kami. Memang, saat itu bukan kuliah jurusan, hingga orang-orang yang berada di dalamnya juga bukan semuanya adalah teman sejurusan. Sebagai mahasiswa baru, kami memang wajib mengikuti kuliah bersama dengan jurusan-jurusan lain. Namanya adalah Tahap Persiapan Bersama. Akan ada berbagai macam jurusan di dalam satu kelasnya, meski tetap saja ada teman sejurusan juga di dalamnya. Dalam jumlah sedikit. Ada dua orang saja teman sejurusan dalam kelasku kala itu. Salah satunya, ya Dona tadi. Di dalam kelas itulah kalimat itu terucap.

Adalah menjadi hal biasa jika teman sejurusan lebih cenderung untuk mengelompok sendiri. Duduk berdekatan sebab memungkinkan lebih mudah untuk bertanya satu dan lain hal. Karena lebih dulu akrab. Apalagi, untuk kuliah-kuliah perdana dimana tak banyak anak lain yang lebih diakrabi. Dan itulah kita, yang bertiga kala itu. Sama-sama duduk di baris terdepan. Atau di baris terdepan dan kedua, tapi untuk satu kolom yang sama atau berhimpit. Untuk beberapa pertemuan awal.

Aku ada perlu kala itu. Padanya. Entah ingin menanyakan hal apa. Aku juga telah lupa. Mungkin tentang masalah angkatan yang memang menjadi begitu runyam bagi seorang mahasiswa baru. Dan dia, Dona, lebih aktif di sana. Hingga akan banyak informasi yang didapat dengan menanyainya. Ia selalu bersenang hati menceritakan semuanya dengan semangat.

Aku kemudian mencoleknya dengan sebatang pena. Ya, tentu, aku tahu, aku tak melakukannya dengan tangan telanjangku. Aku tahu ia seorang wanita, dan aku pria. Tak boleh. Apalagi melakukannya pada seorang perempuan yang begitu santun, rapat pula menutup auratnya.

 

Tapi ternyata, ia tetap terganggu; “Iqbal, lain kali kalau ada perlu, dipanggil saja. Jangan dicolek”. Lihatlah, pemilihan katanya adalah bukti kesantunannya. Tak ada intonasi menyalahkan. Hingga membuatku malu bahkan untuk memberi sebuah argumen pembenar tindakanku. Hari itu pelajaran pertamaku dimulai.

Di lain hari ia menegur begini :”Iqbal, duduknya bisa agak ke sanaan!”. Itu adalah kalimatnya ketika ia mulai risih dengan jarak duduk kami yang terlalu dekat. Bukan benar-benar maksudku sebenarnya untuk berimpit meski dalam kursi yang berbeda.  Beberapa kali aku bertanya dan ia menjawab, sering pula ia menanyakan sesuatu dan aku berkewajiban menjelaskannya. Dan tentang kuliah yang hitung-hitungan, maka tak enaklah rasanya jika menjelaskannya tidak dalam satu kertas dimana konsentrasi kita sama-sama di situ. Maka aku pun mungkin sedikit lalai mengindahkan aturan itu. Hingga kalimat itu muncul yang membuat aku kembali mengatur posisi dudukku sampai batas aman.

Itu adalah dua pelajaran awal yang membekas. Ah, membekas memang bukan melulu tentang sebuah hal besar. Membekas kadang juga tentang persoalan yang terlihat kecil tapi begitu jernih tertuang. Membekas kadang juga tentang sebuah mula. Dan untuk dua hal tersebut, dia, Dona, adalah seorang guru yang baik untuk membekaskan pelajaran pada muridnya. Kelak aku menyukuri bahwa interaksi awalku di dunia kampus ini diisi oleh orang-orang baik macam Dona ini.

Dua semester usia pertemanan dalam ikatan sekelas Tahap Persiapan Bersama itu. Dua kali dalam seminggu, Selasa dan Kamis. Dua mata kuliah tiap kalinya. Memang, kita masih satu jurusan, tapi memiliki kesamaan dalam sebuah perbedaan macam sejurusan dalam komunitas multi jurusan itu, memberi nilai lebih dalam hubungan pertemanan itu.

Apalagi yang perlu kuceritakan. Ia seorang yang tekun. Jujur sejujur-jujurnya, minimal sepengetahuanku. Tak pernah kulihat ia tolah-toleh saat ujian berlangsung. Kau mungkin mengira ia lancar mengerjakan soal-soal ujian itu hingga tak perlu repot celingukan mencari kesempatan. Tidak! Tidak selalu. Aku tahu jelas hal itu. Setahun sekelas, dengan intensitas bertukar pikiran tentang mata kuliah yang kerap, sedikit banyak memahamkanku, juga mungkin memahamkannya.

Suatu saat, saat aku tengah menonton nilai akhir mata kuliah Tahap Persiapan Bersama-ku di sebuah tempelan papan pengumuman, ia muncul dengan teman perempuannya, teman sejurusanku juga. Saat itu aku baru balik dari pulang kampung untuk mengisi liburan semester. Seperti biasa, lepas itu, aku akan tergopoh-gopoh menuju kampus untuk menengok nilai-nilai yang keluar.

Ia menyapaku, membuatku memalingkan muka dan sejenak mengalihkan pandang dari tabel berisi nama-nama dan huruf-huruf di sampingnya. Dengan senyum-senyum kemudian ia berucap, “Nilaimu bagus ya, Bal? Cuma ada tiga orang yang dapat A.”

Aku tersenyum juga. Tapi pahit. Aku tentu tahu benar, baru saja aku melihatnya. Dengan mata kepalaku sendiri. Bersanding di namanya dalam tabel nilai itu, sebuah huruf ‘D’. Dan itu artinya ia tak lulus mata kuliah ini. Tapi lihatlah, tak ada kesedihan yang terlalu, ia justru tersenyum. Kemudian menyampaikan selamat dengan kekhasannya. Hati siapa yang tak teriris-iris. Ah, yang menggetarkan sebenarnya bukanlah kesedihan itu, tapi kekuatan menghadapi kesedihan itulah yang justru mengoyak-ngoyak nurani. Hari itu ia memberiku pelajaran yang ketiga.

Selanjutnya, kami justru serting berinteraksi dalam wadah organisasi. Dari pertemuan sebatas ruang kuliah menjadi ruang rapat. Dari tentang kulaih menjadi tentang strategi organisasi. Ia masih seperti yang dulu. Masih santun, dengan kalimat yang terpelihara. Jauh dari menyakiti. Hingga tak heran ia menjadi orang yang bisa diterima di banyak golongan. Tak terlalu mengherankan pula jika kemudian ia terlihat dimana-mana. Langkah kakinya memang cepat, dengan gaya berjalan yang selalu terlihat terburu-buru. Kakinya seakan tak cukup cepat untuk mengakomodasi kehendaknya yang melesat.

Dan waktu, memang benar-benar melesat. Di semester-semester akhir perkuliahan, di sebuah siang, aku terkejut ketika ia tiba-tiba berkata ini kala kami bertemu, “Iqbal, ibunya sakit rematik ya?"

Aku, sambil tersenyum mengiyakan. Sejenak heran darimana ia mengetahuinya, namun secepat kilat tersadarkan kalau info itu pasti ia dapatkan dari membaca blogku. Beberapa waktu lalu aku memang menulis tentang ibu meski tak spesifik tentang penyakit rematik itu.

"Itu, soalnya ibu saya juga pernah. Dan alhamdulillah sekarang sudah sembuh. Minum parutan sayur manisa. Yang biasa dibuat sayur itu"

Aku tersenyum lagi. Duh, aku tak tahu energi kebaikan apa yang begitu baik ia simpan. Untuk ia tebarkan kemanfaatannya kepada siapa saja di sekelilingnya. Saat menulisnya, aku sama sekali tak mengharapkan tanggapan tentang solusi mengatasi rematik itu. Tidak! Tapi, lihatlah! Ia menjelmakan tulisan itu sebagai peluang untuk berbagi kemafaatan ke sekitarnya. Berbagi kebaikan. Membuat orang akan senantiasa nyaman membersamainya.

Dan, melesat. Benar-benar melesat.

 

Hingga 2 Juni 2009 itu. Di suatu pagi. Saat itu aku telah terpisah jauh dari tempat kami dulu bertemu. Memang, setelah merantau untuk tunututan kerja, aku tak banyak lagi mengikuti perkembangan teman-teman, termasuk Dona ini. Yang kutahu, satu semester setelah aku lulus, iya lulus juga. Itu saja. Tak lebih. Tak tahu, atau bahkan tak tahu menahu tentang aktivitasnya setelahnya.

Tapi sms itu, kemudian mengabarkan segalanya:

“Innaalillahi wa innaa ilayhi rojiun”, bukankah itu pembuka untuk sebuah sms pemberitahuan tentang kematian, “telah meninggal teman kita, Dona Windy Astuti, hari ini di jakarta”

Entah apa yang ada di persaanku kala itu. Sempat terbengong tak percaya. Berharap SMS ini keliru. Berharap SMS ini hanya main-main belaka. Tapi, ternyata tidak! SMS lain kemudian datang menyerbu untuk memberitahukan hal yang sama. Maka secepat kilat kemudian aku sign in yahoo messenger, log in Face book. Menyapa teman-teman, mempertanyakan kebenaran.

“Benarkah?”

“Bagaimana bisa?”

“Ceritanya bagaimana?”

Tak ada yang benar-benar tahu dengan pasti. Semuanya serba simpang-siur. Tapi yang pasti, aroma duka menyeruak. Kalimat-kalimat bela sungkawa sontak memenuhi status FB, milist angkatan ramai membicarakan kronologis. Tak jelas, tapi dari keterangan yang patah-patah, kemudian aku mendapatkan kronologis seperti ini:

Dona diterima kerja di jakarta. Kemudian mengikuti orientasi kerja semi militer. Menginap. Saat itu lepas sholat subuh, teman  sekerjanya menjemput ke kamarnya untuk bersiap-siap mengikuti acara, tapi ia mempersilhakan temannya itu untuk duluan. Saat itulah, saat temannya sudah di luar untuk duluan, terdengar sebuah benda berat jatuh berdebam dari dalam kamar. Saat dilihat, Dona sudah ditemukan ambruk di dalam kamarnya.

 

++++++

 

Dan, di sujud itu, beberapa jam setelah kabar itu, aku tergugu. Pertahanan selama beberapa jam itu akhirnya jebol juga. Tak tertahankan lagi. Sungguh, ia terlalu baik, terlalu banyak hal-hal baik yang ia catatkan, mengingatnya adalah mengingat kebaikan. Maka, jika air mata ini adalah kesaksian akan kebaikannya di muka bumi ini, maka ijinkanlah Ya Allah, bulir-bulir air mata ini menjelma menjadi butir-butir yang memperberat amal kebajikannya. Ijinkanlah!

20 comments:

Yudith Fefabiola said...

inna lilaahi wa inna ilaihi roojiuun...

Dyah Ayu Ratnasari said...

hmmm...kangen juga sih sama dona.. setidakya setelah melalui berbagai proses...

febbie cyntia said...

turut berduka

Lani Imtihani said...

membekas sekali kayaknya..

semoga diberi tempat kembali terbaik

iqbal latif said...

pas Dona meninggal, ingin langsung menulis tentang dia...tp diurungkan



-nulis ini dikutkan antologi, tp g masuk..he he-

Ummu Gaza El Rahman said...

Innaalillahi wa innaa ilayhi rojiun

Tian OT said...

Innaalillahi wa innaa ilaihi rojiun. pengalaman yang -sungguh- menyentuh, mas iqbal.

Nia Robie' said...

meninngalnya berkaitan dengan kerjaannya kah?
atau sakait jantung?
ko enarik sekali ya...

antung apriana said...

innalillahi wa inna ilaihi roji'un...

iqbal latif said...

hmmm...padahal sudah setahun lebih lewat

iqbal latif said...

masih simpang siur... katanya sih nggak punya catatan medis yg mengkhawatirkan. Tp di satu sisi orangnya memang nggak suka ngeluh kan apa yg terjadi padanya ke teman2nya...


teman2 dulu berencana mengusut, tapi keluarga mengikhlaskannya....

Nia Robie' said...

pm-in dong di instansi apa dy terakhir kerja...

iqbal latif said...

ho ho... ada apa nih?

Sukma Danti said...

Innalillahi... turut berduka... :(

*spechless*

al fajr "fajar" said...

smoga khusnul khotimah..

masyaAllaah..=)

khoirunnaas anfauhum linnas....

desti . said...

innalillahi wa inna ilaihi roji'un...

membayangkan kecantikan mbak Dona
pasti banyak orang yg merasa kehilangan

ikutan mb jar : khoirunnaas anfauhum linnas

iqbal latif said...

sepertinya begitu....

hmmm...ada dua teman angkatan saya yang sudah berpulang. yang pertama meninggal sakit... saya menjadi salah satu saksi detikdetik terakhir hidupnya.....


samasama membekas

khaleeda killuminati said...

Oalah, mb dona (allohummaghfirlaha) itu temen seangkatanmu tho bal? Saya 1 organisasi ma beliau, di dakwah sekolah Uswah Student Center Surabaya. Memang benar, mb dona itu.. mujahidah tangguh!

dina riandani said...

inna lillahi wa inna ilaihi rajiún... subhanallah..ana juga jadi teringat teman ana yang meninggal setahun yang lalu, seminggu sebelum puasa Ramadhan tahun lalu.. dan ana sendiri yang menerima di UGD saat jaga. mari kita doákan teman2 kita tsb. agar Alloh SWT mengampuni dosa2 dan menerima amal ibadahnya...

iqbal latif said...

@akhwatzone.....> iya..temen seangkatn. Dona memang aktif di Uswah... sepertinya setipe dengan ida. Samasama angkoter
@drdee....>> temen sy yg satunya juga meninggal di depan saya