Tuesday, November 30, 2010

(catatan Perjalanan3) Kepulangan

Ada yang berubah dari kota ini. Lekak-lekuknya yang dulu –semasa SMA—begitu aku akrabi kini perlahan mulai asing dan manglingi. Ada jajaran ATM kini di sudut areal kantor pos (mungkin ini sudah menjadi sebuah tuntutan). Alun-alunnya pun sudah dipermak cantik meski ukurannya mengecil. Toko-toko di kanan kiri jalan juga mulai banyak yang tak dikenali lagi.

Pasuruan dalam kacamata seorang perantau yang pulang kampung. Jelang pukul tiga dini hari. Beberapa sudut masih remang sebab tak terlalu terang tersentuh cahaya. Sebentar lagi fajar. Mungkin. Entahlah, tiba-tiba berada di daerah dengan perbedaan waktumemang  kerap kali membingungkan.

Turun dari bus antar kota dengan sedikit kebablasan itu, tak ada yang bisa kulakukan selain melangkahkan kaki menuju pusat kota. Menyeret tas yang roda-rodanya menimbulkan irama kala bergesekan dengan aspal. Suasana sepi, tapi beberapa orang nampak mulai berangkat menuju pasar. Berada di kota sendiri nampaknya memang benar-benar menimbulkan rasa nyaman, meski dalam waktu yang tak tepat seperti ini.

“kalau mau nyampai sms!’, demikian bunyi sms itu. Berjam-jam lalu, agar bisa segera dijemput. Tapi, bahkan sampai turun dari bus ini, aku masih enggan merogoh ponsel. Lebih memilih terus melangkah menuju alun-alun.

Semakin menuju alun-alun, yang persis di depannya berdiri dengan megah masjid jami’ Pasuruan, orang-orang mulai terlihat lebih banyak. Tentu saja dengan pakaian khas Pasuruan, bersarung dan berkopyah. Beberapa terlihat berangkat sambil naik motor, sedangkan satu dua yang lain lebih memilih naik becak. Juga yang berjalan saja. Yang terakhir, sepertinya rumahnya dekat saja, di gang-gang tersebut—ah, ya, kampung kauman orang-orang biasa menyebut.

Dua ratus meteran melangkah, kemudian kurogoh sakuku. Meraih ponsel lalu memencet sebuah nama. Beberapa jenak menunggu, lalu tersambung.

Berbicara….

“tak enteni nang alun-alun”

“ok”

Memutuskan sambungan dan meneruskan langkah. Beberap meter lagi hingga bayangan yang tertangkap retina adalah sebuah pemandangan yang mengingatkan kepada keduluan. Aih, dari sekian banyak perubahan itu, ini yang tak berubah ; pedagang kaki lima dengan meja panjang menjual minuman dan ketan hangat serta beberapa pengunjung bersarung  santai mengobrol. Di sanalah kemudian aku menepi.

“STMJne wonten, bu?”, pintaku pada ibu penjual. Memang pilihan itu lah yang paling masuk akal. Kopi, selain tak suka-suka amat, aku sudah merencanakan untuk segera tidur setiba di rumah demi menebus waktu tidur yang terenggut di jalanan. Sedang teh, agaknya kurang spesial untuk hari yang spesial ini.

“wonten”

“setunggal, nggih?”

Kembali duduk di bangku panjang. Menikmati Pasuruan jelang fajar. Orang-orang mulai berdatangan ketika STMJ segera tersaji. Cukup cepat. Cukup cepat pula menghangatkan badan yang terguncang-guncang sepanjang Ponorogo-Pasuruan. Hingga cepat saja menyisakan setengahnya.

“Ketane setunggal, Pak”, kali ini pertmintaan ditujukan ke yang laki-laki. Ada dua orang yang melayani penjualan itu.

Ketan! Inilah sebenarnya yang khas. Ketan dengan taburan koya dalam wadah-wadah kecil. Koya adalah serbuk yang terbuat dari kedelai sangrai dengan bumbu-bumbu tertentu yang tak terlalu kuketahui. Penjual ketan ini, yang boleh jadi bapak ibu yang sekarang melayani ini, sudah ada di sekitaran masjid jami’ ini bahkan sejak waktu yang mampu saya ingat.

Enak! Definisi inilah yang kemudian aku temukan kala telah menyantap ketan itu. Subyektif sangat mungkin. Adalah suasana, adalah tempat, adalah kenangan memang sering kali mengintervensi masalah rasa ini. Dan jelang fajar itu, aku memang memutuskan momen makan ketan itu,

Tak butuh lama untuk menandaskan ketan dan STMJ itu. Tinggal menyisakan wadah-wadah kosong yang teronggok di meja. Orang-orang pun kian berdatangan, meski berat untuk dikatakan banyak.

“Pinten, Bu?”, pada akhirnya aku menghampiri penjual itu untuk membayar.

“wolung ewu”, si Bapak, justru yang menjawabnya.

Kuserahkan selembar sepuluh ribu. Beberapa saat kutunggu hingga si bapak menyerahkan kembaliannya. Terima kasih.

Kembali duduk. Kembali menikmati kota dalam balutan remang.

Pasuruan, mungkin aku sudah tak terlalu mengenalmu. Tak lagi akrab dengan detail-detailmu lagi. Jika suatu saat ada yang bertanya tentang dimanakah letak penjual makanan yang enak, aku bakalan berpikir panjang untuk kemudian menggeleng. Tak tahu.

Lihatlah, alun-alun yang dulu penuh PKL itu kini telah cantik. Meski belum benar-benar cantik. Aku bahkan tak tahu proses pembangunannya, kapan memulainya, dan berapakah anggaran yang dibutuhkan untuknya. Benar-benar tak tahu bagaimana kota ini bertumbuh. Dengan cara apa. Tak tahu pula bagaimanakah penduduknya kini. Seperti apa.

Jalan-jalan kini penuh dengan kendaraan. Itu yang kutahu dari kepulangan dulu. Motor-motor telah meraung-raung meningkahi hari. Khas kota-kota indonesia. Kredit-kredit kepemilikan motor sepertinya semakin mudahnya. Dealer-dealer sepeda motor semakin menggila menetapkan target penjualan. Entah! Entah bakal seperti apa kota ini bertumbuh. Aku sepertinya sudah tak menjadi bagian dari itu, sayangnya. Aih, bahkan namaku telah tercoret dari catatan sipil sebagai penduduk kota ini.

Sebuah motor kemudian tepat berhenti di depanku. Bertukar senyum. Menuntaskan rindu. Aku angkat tasku. Untuk kemudian melaju. Tentu saja, aku telah menjadi salah satu dari dua orang yang melaju itu.

 

 

 baca juga : catatan perjalan 1dan catatan perjalanan 2

      

23 comments:

desi puspitasari said...

tihiiy .. pagi-pagi boncengan

Pemikir Ulung said...

udah berapa lama di bontang emangnya?

iqbal latif said...

jelang dua tahun he he...


sejak kuliah sdh jarang pulang....

iqbal latif said...

tihiy.....adem2 soale ;)

akuAi Semangka said...

ga ada alih bahasa untuk percakapan2nya yaa?

HayaNajma SPS said...

ketan apa tuh? berasa kaya ketan pencok bumiayu deh :D

iqbal latif said...

@ai...belajar atuh!
@haya...ketan koya! ditaburkan di atasnya

akuAi Semangka said...

harusnya dirimu memfasilitasi orang lain utk belajar bahasa jawa dengan menyediakan translasinya. :D

iqbal latif said...

dirimu blm punya kamus jawa-indo kah?
:)
ya ya ya

akuAi Semangka said...

adanya kamus jepang-indo dan eng-indo, hehe..

iqbal latif said...

tak enteni = tak tunggu (ngoko)
setunggal = satu
wonten = ada
nggih = ya
wolung ewu = dlpn ribu

akuAi Semangka said...

pinten?: berapa?

Ok. Sip.

iqbal latif said...

pinter... :)

al fajr "fajar" said...

keren.. qeqeqe

al fajr "fajar" said...

STMJ larang yo.. 8 ewu..
sakporsi ma'em we susuk iku..
hahaha
tapi yo momen istimewa sie..

iqbal latif said...

wolung ewu iku sak ketane..
bg orang bontang yg tibatiba ke jawa, banyak hal terlihat lbh murah bahan utk ukran mahal utk orang jawa sendiri

al fajr "fajar" said...

oiyo ding ya.. hehehe
humm.. ujug2 mulih..

iqbal latif said...

g ujugujuglah! sdh terencanakn jauhjauh hari

Lani Imtihani said...

aku mau ketan dtabur koyanya bal..enak keto'e

iqbal latif said...

ok...ntar tak belikan beras ketane, mb lani yg masak

Lani Imtihani said...

sepakat..
Tapi koyanya iqbal yg bikin :D

iqbal latif said...

yakin nyuruh sy yg bikin? :D

Lani Imtihani said...

waduh..ya sebenarnya ga yakin..tapi sepertinya lebih paham dari saia..jadi ya diserahkan ke yang lebih ahli :D