Jika ada yang bertanya tentang seseorang yang paling anda kenal, kira-kira…siapakah seseorang yang kemudian, dari lisan kita, akan dengan sangat mulus meluncur namanya. Ah, barangkali kemungkinan untuk itu akan banyak. Beberapa mungkin akan menyebut salah satu anggota keluarganya, atau suami/istrinya, atau salah seorang temannya, atau kelompok lingkarannya, atau teman sekamar ngekosnya. Tapi, kalau saya tak salah, sesorang lain mungkin akan kesulutan menyebutkan satu orang pun yang memang paling ia kenal.
Begitupun saya. Jika pertanyaan itu ditujukan ke saya, mungkin saya akan butuh waktu beberapa jenak untuk menggali semuanya dari pikiran saya, untuk kemudian menyebutkan sebuah nama, yang barangkali, meskipun sudah meluncur dari mulut saya, saya tak benar-benar yakin akan kebenarannya. Bagaimanalah, kata mengenal itu belum juga saya pahami standarnya. Karena saya boleh jadi belum benar-benar mengenal diri saya sendiri—ah, bukankah ini kecelakaan? Ketika sebuah hal yang dulu begitu saya yakini, saya sadari tentang bagaimana-bagaimananya, hanya dalam hitungan hari yang tak mencapai dua pekan, saya ragukan kembali adanya. Mungkin ini masalah fluktuasi perasaan, pemikiran, atau apalah, tapi ini juga boleh jadi mengindikasikan tentang ketaktahuan saya tentang apa-apa yang sebenarnya saya ingini dan butuhkan.
Baiklah, lupakan paragraf kedua di atas! Tentang mengenal ini, boleh jadi akan panjang. Ketika kau sudah tahu tentang kegemarannya, tentang makanan favoritnya, tentang warna kesukaannya, atau tentang kesehariannya, apakah itu sudah dikatakan telah mengenal? Atau, ketika kau sudah tahu tentang obsesi-obsesinya, harapan-harapannya, pandangan-pandangannya tentang masa depan, atau orientasi hidupnya, apakah itu juga sudah layak dikatakan telah mengenal? Entahlah! Mungkin iya, mungkin belum. Atau, mungkin dikatakan iya dengan tingkatannya; cukup, lumayan, relatif. Tapi tidak tingkatan ‘benar-benar’.
Tapi memang tak ada yang namanya benar-benar mengenal. Jika kasus ini disematkan pada mengenal makhluk, manusia pula, tentunya tak ada yang namanya ‘benar-benar’, dimana itu menunjukkan sebuah kekomplitan, atau akhir. Tentu saja, sebab manusia bukanlah sebuah makhluk yang statis yang sama sekali tak mengalami perubahan. Di setiap waktunya, akan ada yang berubah dengannya. Entah cara berpikir, pengetahuan, tingkatan iman, atau kebugaran, yang mana akan membentuk sebuah tindakan yang barangkali tidak kita bayangkan akan ia lakukan dua jaman yang lalu.
Bahkan seorang suami, atau istri, butuh sepanjang hayat untuk mengenal pasangannya. Ketika sebuah ikatan pernikahan telah menyatukan mereka, dimana rumah telah menaungi mereka dalam sebuah wadah fisik, dimana waktu telah sama-sama mereka jalani dalam kebersamaan, ternyata kata mengenal itu belum juga berujung pada ‘benar-benar’. Ada saja hal-hal baru yang bakalan tertemui, yang boleh jadi menjadikan satu sama lain tercengang, kaget, atau yang sejenisnya. Sebab kita memang makhluk yang hidup. Hanya sebuah pemahaman akan keberadaan, akan fungsi masing-masing, akan tujuan kebersamaan, menjadikan kebaruan itu hanyalah sebuah data pengaya dari bank kemengenalan satu sama lain.
Jika seorang pasangan yang sudah menjalani bertahun-tahun kehidupan bersama saja belum juga bisa dikatakan telah benar-benar mengenal, maka apa jadinya kita terhadap seorang teman kuliah, atau rekan kerja, atau teman jalan, yang mana intensitasnya kalah jauh bila dibandingkan dengan sepasangan itu. Ya, tentu saja masih jauh dari kata mengenal. Tapi tidak mustahil juga untuk mencapai taraf ‘cukup mengenal’. Pernah menginap bersama tiga hari berturut-turut, melakukan perjalanan bersama, serta pernah melakukan transaksi ekonomi, adalah pedoman yang bagus untuk standar kemengenalan kita akan seseorang. Sebab ketiga hal tersebut memang telah benar-benar mengurangi potensi kepura-kepiraan kita satu sama lain. Ya, mungkin ‘topeng’ itu belum sepenuhnya lepas, tapi sudah tak terlalu tebal, hingga satu sama lain akan dengan mudah mengintip sedikit wajah.
Siapakah yang lebih dulu mengajak sholat, bagaimanakah cara dia membuka keran air, kaki apa yang ia dahulukan saat masuk toilet, apakah dia terbiasa tak menghabiskan makanan di piringnya, jam berapa ia bangun, apa reaksinya ketika dalam keadaan panik, apa pula yang ia serukan pertama ketika melihat keindahan, bagaimana cara dia menghadapi kondisi diri yang tidak benar-benar dalam keadaan semangat, apa yang lebih sering ia lakukan untuk mengisi kesenggangan, apakah ia selalu menghabiskan air minum dalam segelas air mineral, adalah hal-hal kecil yang barangkali akan secara intens dapat kita amati dari seseorang yang kita ajak melakukan perjalanan dan menginap bersama. Hal-hal kecil mungkin, tapi dengan sedikit kejernihan akan menunjukkan tentang kebesaran. Tentang bagaimana seseorang membuka keran air saat wudhu, apakah lebar-lebar ataukah secukupnya, adalah sebuah fragment yang sedikit banyak akan menunjukkan kepada kita tentang concern seseorang tersebut –tentang lingkungan, tentang kaidah tak berlebihan, tentang keistiqomahannya meneladani nabinya. Begitu juga lainnya.
Begitulah, frase ‘mengenal seseorang’ pada akhirnya berbeda dengan frase lain semisal ‘makan nasi’. Bila makan nasi, kita bisa saja mengatakan ‘sedang makan nasi’ atau ‘telah makan nasi’. Tapi ‘mengenal sesorang’ agaknya tak akan pernah sampai pada taraf ‘telah mengenal’. Sebab itu adalah sebuah proses yang tak akan berkesudahan dan terus-menerus, sebab memang ada variabel waktu sebagai pembentuknya.
Terakhir, sebagai pamungkas jurnal iseng-iseng ini, apakah kau telah mengaku mengenal saya? Bila kau telah menjadi kotak saya sejak awal saya membuat MP ini, dan telah membaca sekian banyak jurnal-jurnal saya yang boleh jadi menyiratkan harapan, obsesi, dan pemikiran-pemikiran saya, mungkin kau akan mengatakan ‘cukup mengenal’. Tapi menurut saya, sepertinya kau sama sekali tak mengenal saya. Kau cukup mengenal ‘mylathief’ mungkin iya, tapi kau cukup mengenal saya sepertinya tidak. Sebab antara saya dan mylathief memang ada pemisah bernama kata-kata. Dan saya, amat mungkin menyembunyikan banyak dibalik kata-kata itu, yang boleh jadi amat busuk. Maka bila kau ingin tahu tentang saya, mungkin kau bisa bertanya pada teman serumah saya, atau teman sekamar ngekos dulu, atau teman tempat membagi resah. Tapi sepertinya itu juga belum cukup. Sangat belum cukup.
Salam!
Begitupun saya. Jika pertanyaan itu ditujukan ke saya, mungkin saya akan butuh waktu beberapa jenak untuk menggali semuanya dari pikiran saya, untuk kemudian menyebutkan sebuah nama, yang barangkali, meskipun sudah meluncur dari mulut saya, saya tak benar-benar yakin akan kebenarannya. Bagaimanalah, kata mengenal itu belum juga saya pahami standarnya. Karena saya boleh jadi belum benar-benar mengenal diri saya sendiri—ah, bukankah ini kecelakaan? Ketika sebuah hal yang dulu begitu saya yakini, saya sadari tentang bagaimana-bagaimananya, hanya dalam hitungan hari yang tak mencapai dua pekan, saya ragukan kembali adanya. Mungkin ini masalah fluktuasi perasaan, pemikiran, atau apalah, tapi ini juga boleh jadi mengindikasikan tentang ketaktahuan saya tentang apa-apa yang sebenarnya saya ingini dan butuhkan.
Baiklah, lupakan paragraf kedua di atas! Tentang mengenal ini, boleh jadi akan panjang. Ketika kau sudah tahu tentang kegemarannya, tentang makanan favoritnya, tentang warna kesukaannya, atau tentang kesehariannya, apakah itu sudah dikatakan telah mengenal? Atau, ketika kau sudah tahu tentang obsesi-obsesinya, harapan-harapannya, pandangan-pandangannya tentang masa depan, atau orientasi hidupnya, apakah itu juga sudah layak dikatakan telah mengenal? Entahlah! Mungkin iya, mungkin belum. Atau, mungkin dikatakan iya dengan tingkatannya; cukup, lumayan, relatif. Tapi tidak tingkatan ‘benar-benar’.
Tapi memang tak ada yang namanya benar-benar mengenal. Jika kasus ini disematkan pada mengenal makhluk, manusia pula, tentunya tak ada yang namanya ‘benar-benar’, dimana itu menunjukkan sebuah kekomplitan, atau akhir. Tentu saja, sebab manusia bukanlah sebuah makhluk yang statis yang sama sekali tak mengalami perubahan. Di setiap waktunya, akan ada yang berubah dengannya. Entah cara berpikir, pengetahuan, tingkatan iman, atau kebugaran, yang mana akan membentuk sebuah tindakan yang barangkali tidak kita bayangkan akan ia lakukan dua jaman yang lalu.
Bahkan seorang suami, atau istri, butuh sepanjang hayat untuk mengenal pasangannya. Ketika sebuah ikatan pernikahan telah menyatukan mereka, dimana rumah telah menaungi mereka dalam sebuah wadah fisik, dimana waktu telah sama-sama mereka jalani dalam kebersamaan, ternyata kata mengenal itu belum juga berujung pada ‘benar-benar’. Ada saja hal-hal baru yang bakalan tertemui, yang boleh jadi menjadikan satu sama lain tercengang, kaget, atau yang sejenisnya. Sebab kita memang makhluk yang hidup. Hanya sebuah pemahaman akan keberadaan, akan fungsi masing-masing, akan tujuan kebersamaan, menjadikan kebaruan itu hanyalah sebuah data pengaya dari bank kemengenalan satu sama lain.
Jika seorang pasangan yang sudah menjalani bertahun-tahun kehidupan bersama saja belum juga bisa dikatakan telah benar-benar mengenal, maka apa jadinya kita terhadap seorang teman kuliah, atau rekan kerja, atau teman jalan, yang mana intensitasnya kalah jauh bila dibandingkan dengan sepasangan itu. Ya, tentu saja masih jauh dari kata mengenal. Tapi tidak mustahil juga untuk mencapai taraf ‘cukup mengenal’. Pernah menginap bersama tiga hari berturut-turut, melakukan perjalanan bersama, serta pernah melakukan transaksi ekonomi, adalah pedoman yang bagus untuk standar kemengenalan kita akan seseorang. Sebab ketiga hal tersebut memang telah benar-benar mengurangi potensi kepura-kepiraan kita satu sama lain. Ya, mungkin ‘topeng’ itu belum sepenuhnya lepas, tapi sudah tak terlalu tebal, hingga satu sama lain akan dengan mudah mengintip sedikit wajah.
Siapakah yang lebih dulu mengajak sholat, bagaimanakah cara dia membuka keran air, kaki apa yang ia dahulukan saat masuk toilet, apakah dia terbiasa tak menghabiskan makanan di piringnya, jam berapa ia bangun, apa reaksinya ketika dalam keadaan panik, apa pula yang ia serukan pertama ketika melihat keindahan, bagaimana cara dia menghadapi kondisi diri yang tidak benar-benar dalam keadaan semangat, apa yang lebih sering ia lakukan untuk mengisi kesenggangan, apakah ia selalu menghabiskan air minum dalam segelas air mineral, adalah hal-hal kecil yang barangkali akan secara intens dapat kita amati dari seseorang yang kita ajak melakukan perjalanan dan menginap bersama. Hal-hal kecil mungkin, tapi dengan sedikit kejernihan akan menunjukkan tentang kebesaran. Tentang bagaimana seseorang membuka keran air saat wudhu, apakah lebar-lebar ataukah secukupnya, adalah sebuah fragment yang sedikit banyak akan menunjukkan kepada kita tentang concern seseorang tersebut –tentang lingkungan, tentang kaidah tak berlebihan, tentang keistiqomahannya meneladani nabinya. Begitu juga lainnya.
Begitulah, frase ‘mengenal seseorang’ pada akhirnya berbeda dengan frase lain semisal ‘makan nasi’. Bila makan nasi, kita bisa saja mengatakan ‘sedang makan nasi’ atau ‘telah makan nasi’. Tapi ‘mengenal sesorang’ agaknya tak akan pernah sampai pada taraf ‘telah mengenal’. Sebab itu adalah sebuah proses yang tak akan berkesudahan dan terus-menerus, sebab memang ada variabel waktu sebagai pembentuknya.
Terakhir, sebagai pamungkas jurnal iseng-iseng ini, apakah kau telah mengaku mengenal saya? Bila kau telah menjadi kotak saya sejak awal saya membuat MP ini, dan telah membaca sekian banyak jurnal-jurnal saya yang boleh jadi menyiratkan harapan, obsesi, dan pemikiran-pemikiran saya, mungkin kau akan mengatakan ‘cukup mengenal’. Tapi menurut saya, sepertinya kau sama sekali tak mengenal saya. Kau cukup mengenal ‘mylathief’ mungkin iya, tapi kau cukup mengenal saya sepertinya tidak. Sebab antara saya dan mylathief memang ada pemisah bernama kata-kata. Dan saya, amat mungkin menyembunyikan banyak dibalik kata-kata itu, yang boleh jadi amat busuk. Maka bila kau ingin tahu tentang saya, mungkin kau bisa bertanya pada teman serumah saya, atau teman sekamar ngekos dulu, atau teman tempat membagi resah. Tapi sepertinya itu juga belum cukup. Sangat belum cukup.
Salam!
65 comments:
hanya menulis, ya, hanya menulis, yang mampu menahan saya untuk taj segera pulang di akhir kerja :P
bila ada salah2 ketik, ketaklogisan berpikir, maaf ya, soale nggak sempat ngedit lagi ..:)
ada yang bilang you are what your write.. tapi ya writenya doang.. but can't know you well right, kan ya?
Ah iya, tulisan bisa juga seperti topeng. Ingin mengesankan seperti ini seperti itu..
Tapi mungkin bisa dirasa2 dibeda2 ketulusan tulisan..
emh... emh... emh... kalaupun aku pny pemikiran ttgmu, lathief, aku hny akan membatin saja, haha :D
huaa komennya mb ute, bikin kepalaku angguk-angguk. :)
umm...masnya, seperti komen sblm sy, kalaupun ada slintas pndpt ttg 'mylathief' mgkn sy hnya akan membatin saja..
itupun hanya sebatas tahu, belum sampai mengena.
wkwkwk *ngguyu ah
Halo, Masnya. Meski aku belum bisa meliat pola sistematis, ternyata kamu 'lawan' yang sebanding. Salam kenal.
@tin...iya. Ada deviasi. Deviasi antara mylathief dan iqbal latif. Sy sih berharap it tak bnyak
@ute...hehe. Komennya bgs
@danti...hayya, knapa akhr2 ini dikau jadi manggil aku dg latif? Hanya beberapa saja yg manggil aku dg penggalan it
@farazziy...hehe. Iya. Dibatin boleh. Asal g jadi aliran kebatinan saja
@bery...aduh, apa pula yg kau ketawai?
@mlmblnbr...sayangnya aku tak bgtu paham maksud komenmu :)
Oh. Ya sudah.
Jiah..
Btw, kayake jurnal ini bkalan rame kalo sy ksh judul seperti jdl yg terbersit d awal: 'tak kenal maka ta'aruf'
*nyatanya belum mengenL diri sendiri
mw tak kenalin? :)
Oh. Ya, terserah.
#ngambek
#nggak nanggepin
:D
mellow deh..
*sebuah kesimpulan yang lahir karena tak cukup mengenalmu :D
ini pertanyaan atau sekedar kalimat keheranan? kl pertanyaan aku g pny jawabannya, ahahaha... :D
@ai..apanya aia?
#keponakan yg durhaka ini.. Masa tak mengenal
@danti...la, menurutmu? mungkin perpaduan antara pertanyaan dan keheranan
ya sikapmu. ya tulisanmu. metal. mellow total. haha...
Sikapmu? Ini terlhat lewat apa ya??
Kalo tlsn bgni apakah memang terlhat melow?
tiap2 orang dibesarkan dengan cara yang berbeda, memiliki pengalaman yang berbeda, hanya dipertemukan dalam kerjap2 waktu dengan caranya sendiri. bagaimana mungkin satu sama lain bisa betul2 saling kenal, apalagi manusia itu adaptif dan sangat mungkin berubah?
peristiwa >> sikap >> tulisan
simpelnya gitu lah :D
Hoho. Ya, makanya itu?
@ai...oh, gt, ya? Sederhana saja!
betul, saya juga belum mengenalmu ... he he he ...
saya rasa jurnal ini muncul karena sesuatu :p
apa pun yang mendasari terbitnya jurnal ini, semoga lancar, happy ending... :)
Pernah baca di mana, ya kutipan tentang, "kamu baru bisa mengenal seseorang bila kamu menjadi bagian dari dirinya, bla bla bla." Dari buku kalau nggak salah. Ntar deh kalau nemu
Intinya, jangan asal ambil kesimpulan tentang orang yang merasa benar2 kamu kenal.
Aku pikir, ketika berusaha mengenal seseorang di sekitar kita, akan ada banyak kejutan. Entah itu kejutan menyenangkan atau menyebalkan. Makanya susah menarik kesimpulan.
Eh mbulet nggak, sih? :D
saya juga belum mengenal, bung hendra...:)
hehe..ya pasti lah! pasti ada sesuatu dibalik sesuatu...
hoho--
hoho..
apa pula ini?
tapi tetep diamini...
Amin
iya.....mbulet! :)
"bagaimana kau tahu aku jika kau bukan aku"
ehmm..pernah temanku bilang, kalau mau "cukup mengenal" sifat seseorang, ajak dia ke tempat yang sulit, misalnya hutan, dimana fasilitas amat sangat terbatas, susah makan, susah tidur, nah disitu akan terlihat karakter seseorang yang sesungguhnya.. apakah ia egois, murah hati, penyabar, penolong... dsb.. :)
salam knal aku cawah XD
@akunovi:
You never really understand a person until you consider things from his point of view... until you climb into his skin and walk around it. - Harper Lee, To Kill a Mockingbird.
jadi pengen ke gunung? (lo?)
iya, keadaan yg ideal membuat orang mudah untuk melakukan pengidealan2..he he
ASL, donk?! :)
hweee.. aku urung moco 'to kill......'...
urung tuku juga
Mengapa judulnya dalam bahasa Indonesia? Akankah sama interpretasinya jika dalam bahasa Arab? :))
baca komen sebelum2nya! :p
iyaaaaaaaa itu
betul betul betul :D
aku baru mau baca bukunya, hehe...
ke gunungnya kapan2 aja, sekarang dah mulai musim ujan... *cari alesan* :)
kalo gitu ke hutan...he he
di hutan banyak monyet.. takut dikejar...haha.. *makin cari alesan*
kalo gitu di rumah saja tidur :p
baiklah... *pemalas :p*
jangankan orang lain, membaca tulisan sendiri saja kadang merasa bukan diri sendiri.., "Ooh..ini saya yah yang nulis?" "Wah, bisa-bisanya saya bikin tulisan seperti ini". *atau hanya saya saja yah?*
Dan, tidak begitu senang dengan frase 'Saya mengerti apa yang kamu rasakan' atau orang yang sudah merasa cukup mengenal hanya karena mengetahui beberapa hal kecil saja, apalagi yang sampai menjadikannya indikator untuk membuat suatu keputusan penting.. *ini ngomong apa sih* -___-"
he he..aku suko komenmu kok, rif..
sedalem tulisane ;)
saya mengenal anda pak Iqbal
seberapa mngenal itu, dest?
itu komen iseng iseng untuk jurnal iseng iseng :D
kalo kenal, mana mungkin pake nanya 'pake baju apa?"
waduhh.. klo itu kasusnya gini *harus dijelaskan akhirnya..
bayangan qt dari pintu itu akan keluar bejubel orang kayak piyek lepas kandang,,posisi qt awalnya gak di situ. waktu itu t'pikir mgkn saja saya nggak ngliat pak iqbal, sehingga dibutuhkan informasi khusus buat pegangan mbak Danti, paling gampang pake baju apa? hehe :D
alasan lain, kan udah setahunan ni gak ketemu, gak update, siapa tau pak iqbal jadi brewokan/berubahbentuk.
tapi pada kenyataannya eh pak iqbal muncul sendiri dan mgkin lebih dulu melihat saya..
anggaplah itu sms pertanyaan jaga2 --"
kykny it lebih mending deh, daripada qt bawa2 spanduk tulisan "MYLATHIEF"
he he..
#manggut2
iya, deh...
la wong jogja kan nggak padet penerbangane...
Jadi waktu aku keluar pertama itu kayake kalian belum sampai atau belum liat gitu...
la aku nang atm sek malahan
"pak Iqbal berubah bentuk"
mutant dong? :))
He'e, pak iqbal memang sering berubah-- :)
jadi penasaran dengan makna 'my' dalam 'mylathief'.. -__-"
Jangan terlalu berumit2, rif! Hehe. Bukankah it sderhana saja..
Yang sederhana saja itu kak Ai.. *hehehe
Lagian, saya tdk sedang berpikir rumit kok, cuma penasaran *atau sama sajakah?
-___-"
Artinya selurus kelhatanya kok, rif. Kamu mbacanya gmana. Ya it.
kalau pertanyaannya adalah paling maka tidak perlu dipikirkan apakah sudah benar-benar, toh yang ditanyakan adalah yang superlatif saja, terlepas dari kualitasnya, tapi ini masalah perbandingan dengan yang lain
kenapa dirimu jadi komen jurnal lama? hehe
kenapa dirimu tidak menganggapi komenku? hehe
ada jurnal baru kah? judul yang catchy yang ini soalnya
aku agak2 bingung dengan komenmu...lagipula aku agak2 lupa juga dengan isi jurnalku ini..heh
Post a Comment