Di sebuah kolom surat kabar, beberapa waktu sebelum jembatan suramadu diresmikan, saya pernah membaca tentang kekhawatiran penulis kolom tersebut tentang serbuan moderenitas ke Madura Surabaya secara tak terbendung pasca diresmikannya jembatan tersebut. Bukan tentang moderenitasnya yang benar-benar dikhawatirkan si penulis, tapi kesiapan penduduk local tersebut menghadapinyalah yang ia resahkan. Ia membayangkan, bagaimana jadinya penduduk yang lebih banyak hidup dalam kesederhanaan dan keluguan tersebut, tiba-tiba dibanjiri gaya hidup modern yang dibawa orang-orang yang melintas suramadu. Adanya Suramadu, mau tak mau, menjadikan pertukaran budaya itu berlangsung jauh lebih cepat dan massif, yang boleh jadi tak terkontrol. Apabila salah satu pihak belum siap, bisa tak baik akibatnya.
Kemarin, pertanyaan yang sama menyentil pikiran saya ketika saya telah resmi bercokol di bumi karimunja jawa untuk beberapa hari ke depan. Melihat keseharian orang-orang local, melihat tingkah pola anak-anaknya, lalu melihat para pendatang yang tak ada hentinya, pikiran itu datang dengan sendirinya; apa saja kiranya yang mereka serap dari para pendatang ini. Terbiasa dengan pergaulan itu-itu saja, dengan budaya itu-itu saja, terpisah sejarak 6 jam perjalanan laut dari kota Jepara, apakah yang kemudian berubah drastis pada kehidupan mereka ketika dua tahun belakangan ini, pulau tempat mereka tinggal tiba-tiba ramai diperbincangkan di komunitas backpacker internet untuk kemudian ramai-ramai jadi tujuan wisata orang-orang dari penjuru negeri dengan berbagai budayanya.
(sebagian dari) mereka mungkin memetik keuntungan dari itu. Kamar-kamar kemudian mereka sewakan untuk dijadikan tempat menginap para pendatang. Meski untuk itu, mereka harus mengorbankan diri dengan tidur di pojokan dapur seranjang berempat, tapi setidaknya ada uang tambahan sebagai penyambung hidup. Beberapa juga bekerja menjadi pramu wisata, beberapa mendirikan kios-kios penjualan cinderamata. Ekonomi menjadi tergerakkan. Tapi, ada sesuatu, pasti, yang perlahan-lahan tergeser. Masih jelas tergambar, di dermaga itu, ketika seorang pria local paruh baya menatap nanar dengan jakun naik turun ke sebuah objek. Saya bahkan tak perlu memastikan ke arah manakah sorot mata itu tertuju untuk menjadi tahu apa kiranya yang sedang ia pandang.
Selalu ada baik-buruknya memang. Keadaan semacam ini, memang selalu menjelma sebagai pisau bermata dua. Maka semoga saja, mereka, atau mungkin pemerintah, tak terlalu sibuk mengurusi satu mata yang terlihat menggiurkan, sehingga menjadi abai terhadap satu mata yang membinasakan. Sehingga menjadi seimbang—tak timpang.
Kabar baiknya memang ini; berduyun-duyunnya pelancong yang mengunjungi pulau ini, mau tak mau menyadarkan pemerintah setempat, bahwa pulau ini ada, dan juga bernilai. Sehingga kemudian fasilitas untuk mendukung itu dibangun. Pembangunan fisik terlihat di sana-sini. Maka semoga, seperti halnya harapan tentang seimbangnya mengurus dua mata pisau itu, mereka juga masih sempat untuk pembangunan karakter masyarakat, pengokohan mental, juga pemantapan keagamaannya. Maka jika tidak, beralasankah kekhawatiran ini? Jika panggilan sholat dari corong pengeras suara musholla yang bertebaran di seantero kampung ini, hanya akan berbalas satu dua langkah tertatih milik orang-orang renta produk Karimun Jawa purba. Terlalu berlebihan mungkin ini cerita, tapi bukan tak mungkin untuk menjadi nyata.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
27 comments:
percontohan konservasi budaya lokal: di sekitaran ka'bah... eh, budayanya bertahan, tapi sayangnya sejarahnya sengaja dihancurkan...
apa yang salah dengan perubahan budaya? Terkadang kita menganggap bahwa pengaruh modernitas menghancurkan atau memusnahkan budaya lokal. Tapi bukankah semua orang berhak memperoleh akses yang sama terhadap kemajuan? Kalau mereka belum siap mungkin karena terlalu tiba-tiba, namun semua orang akan beradaptasi..dan percayalah..hal itu tidak akan melunturkan begitu saja nilai-nilai positif yang sudah dimiliki
:nyimak
wuih, kali ini renik pjlnnnya serius :-)
@beautyborneo...hmm, iya, mb. G ada yg salah. Ketertibatibaannya dg tanpa melalui tahapan alamiahnya it yg sering merusak. Seperti kita sekarang ini, dari budaya lisan, tanpa melalui budaya literasi, tibatiba diserang budaya digital-internet. Kita kemudian dpt melhat akibatnya..
ku malah mikir, ada pariwisata ada teknologi ada modernisasi, pasti ada sampah.. sampah fisik juga sampah moral..
Selalu ada baik-buruknya memang ====> umumnya begitu
@trewelu...wuoh. Jd pengen ke makkah (*bukane sejak dulu?)
@utewae...nyimak mbayar :p
@faraziyya...berarti yg sbelum2nya nggak serius, ya? :)
@trewelu...wuoh. Jd pengen ke makkah (*bukane sejak dulu?)
@utewae...nyimak mbayar :p
@faraziyya...berarti yg sbelum2nya nggak serius, ya? :)
Wah, matja bahasan ngene kie iki marakno aku pengen ngobrol ro kowe maneh.
*gae basa Jawa le komen demi mas Fajar*
@tintin...sempat terpikir, 'disini ada TPA g, ya?' hehe.
@jampang...ho'o. Umumnya bgtu
@malambulanbiru...insyaALlah suatu saat bs ngobrolkan ini. Di waktu dan kesempatan yg lbh baik. Hehe
Local or lokal?
Lokal atau local?
Hmm..
*Ih ternyata ak isa nggaya*
Haha. It akibat autocorect, dant. G tak matikan.
pembelaan tak diterima
*makin nggaya*
Para pemuka agama disana sebaiknya juga harus berani mengingatkan.
Di Batam dulu pernah ada program dari pusat untuk membuat tempat spt Genting Highland (mengambil contoh komplek kasino-nya). Alhamdulillah program tsb digagalkan berkat kepedulian para tokoh masyarakat setempat.
Ati2 ya, akan aku bls d postnganmu barusan :p
@masiwan...hoho. Iya. Sblm terlanjur, sepertnya memang perlu dibuat aturan yg mengatur hal ini
postingan yg mana ya? :D
nek misale mas sing dadi penduduk asli terus ana pembangunan ngono, nyikapine kepriye?
@danti...wes tuh
@nanazh...lek aku dadi penduduk lokal, kayake g ono jurnal iki :p
pemasukan bg pariwisata kita
lebih tepatnya masukan tanpa 'pe'...he he
satu mata pisau ditajamkan, mata pisau yang lain ditumpulkan ... he he he ...
Jujur, saya lebih menyukai catatan perjalanan kontemplatif seperti ini, Mas :)
Bravo!!!!
Itu juga yang sering terlintas di pikiran saya saat melihat tempat-tempat yang "terisolasi" kemudian menjadi "terbuka secara mendadak". Miris.....
Post a Comment