Friday, November 25, 2011

-pengalungan medali-

Sukakah kau melihat prosesi pengalungan medali? Saya suka. Entah itu seagames, asiangames, terlebih olimpiade, saya akan selalu suka menyaksikan detik-detik itu kala medali dikalungkan dan lagu Indonesia raya mulai dikumandangkan seiring merah putih yg perlahan dikibar naik. Ya, atlit Indonesia yang menanglah yang menjadi syarat berlipatnya kesukaan saya melihat prosesi itu. Sebab, ikatan emosional sebagai orang sebangsa, akan membuat saya lebih masuk ke dalam prosesi itu.

Bahkan ketika saya masih kanak-kanak dulu, seusia SD atau bahkan SMP, saya kerap kali berandai-andai bahwa suatu saat saya lah yang bakalan di podium itu, menerima kalungan medali, lalu berdiri takjim menatap merah putih sembari mulut melirihkan Indonesia raya. Lalu, andai-andai saya akan berlanjut dengan andai-andai lain. Yaitu, ketika saaya menerima kalungan medali itu, maka orang-orang terdekat saya, mungkin keluarga, akan menyaksikannya dengan haru, meski hanya lewat tayangan televise. Maka meski hanya sebuah andai-andai, saya tahu, saya akan sangat bahagia saat itu. Terkadang memang, yang paling membahagiakan itu bukan karena kau bangga atas prestasimu, tapi kesadaran bahwa orang-orang terdekatmu, orang-orang yang mencintaimu, akan ikutan banggalah yang menjadi penyebabnya.

Tapi memang, menonton prosesi pengalungan medali itu, adalah saat-saat yang melankolis. Saat kau mencoba masuk ke apa yang kau lihat, saat kau mencoba memaknai yang kau tatap, saat kau menyadari mata atlit itu perlahan berkaca, saat itulah kau akan menemukan dirimu mendongak ke langit-langit ruangan demi mencegah apa yang sudah berkaca itu berlarut-larut. Tapi tak apa. Ada saat ketika itu baik, ada saat ketika itu tak baik. Maka mencoba menempatkannya sesuai koridor dan kadarnya adalah sesuatu yang mesti diupayakan.

Ya, ini tak apa. Saat kau bisa memastikan bahwa apa yang mengaca itu adalah janji, bahwa kau akan melakukan hal dengan capaian yang sama atau bahkan lebih dari apa yang kau lihat, maka itu menjadi tak apa. Tentu saja tak harus lewat saluran dengan yang kau lihat. Akan ada banyak jalannya. Jalan yang lebih dekat dengan kita. Dengan efek membanggakan yang sama, dengan tingkatan membahagiakan orang-terdekat yang tak jauh beda.

Maka yang perlu kita pastikan, menonton prosesi pengalungan medali adalah menonton diri kita sendiri. Menonton kita di masa depan. Kita akan berada di posisi itu. Menjadi pemenang, menjadi juara, atas diri kita sendiri. Meski tidak untuk dikalungi medali, meski tidak melalui seremoni, meski tidak disiarkan televisi. Jika tidak esok, itu pasti esoknya lagi. Pasti.



Kecubung 17
26nop

11 comments:

Prita Kusumaningsih said...

belasan atau puluhan tahun kemudian, tak sedikit yg kemudian menggadaikan atau menjual medalinya demi menyambung hidup. Karena itu seorang Rheynald Kasali perlu hadir di malam anugerah atlet guna memberikan pencerahan tentang penggunaan/investasi harta (uang). Diperlukan juga kepedulian pemerintah agar tidak ada yg merasa 'habis manis sepah dibuang'

iqbal latif said...

Hehe. Iya, dok. Kemarin sy nonton d tvri. Sjyange atlitnya bnyak yg mæn hp dan ngantuk pas pak kasali tampil

fauziyyah arimi said...

ini masnya, telat posting atw sengaja engga ambil momen pas-setelah-ending seagames?

al fajr "fajar" said...

koq dadi mikir yaumul hisab ya...

tintin syamsuddin said...

ku ga sempet berandaiandai dan sudah pernah ngerasai podium saat menang menembak dan karate.. jaman kecil dulu..

jaman sekarang atlit kita kaya habis manis sepah dibuang ya.. itu tergantung atlitnya pinter mengolah diri.. jangan tergantung sama pemerintah dan bonus..

iqbal latif said...

@ziyy....hehe...Gtw, tercetus hari ini saja. Kan beritanya masih banyak di tv
@fajar....wuoh. Dikasih tangan kanan apa tangan kiri?
@tintin...uih, ternyata saya berhadapan dengan penembak dan karateka.. Ngeri :p

tun hidayah said...

Iya, haru.
Tapi...

... Semua berubah ketika negara api menyerang..
Hha..

Dulu, melo sy parah. Prosesi apapun dmana dperdengarkan indonesia raya, mata lgsung berair -kecuali upacara d sekolah ding.

iqbal latif said...

jadi, ute yg sedkarang yg bagaimana ya? he he...bagaimana kah perjalanan menjadi yg sekarang itu, yg telah meninggalkan apaapa yg sudah diceritakan di komen di atas..hehe

samsiah iah said...

iya, jangan sampai medali yg sudah didapat tergadaikan di masa tua...

al fajr "fajar" said...

kanan.. aamiin *ngareeeeep banget

anas isnaeni said...

jiyaaaan beneran karena pekerjaan pun diriku terluputkan oleh segala tetek bengek berita perolahragaan...

*halah padahal nek nonton yo palingo diriku ndak bakalan nonton deng hehehe