Friday, November 11, 2011

tarbiyatul aulad dalam sebungkus nasi pecel

Tempat itu memang sudah menjadi langganan saya untuk dihampiri tiap paginya. Ketika saya tak puasa, sejak saya memutuskan untuk mewajibkan diri sarapan, saya akan selalu berhenti di depan bangunan sederhana itu untuk menunaikan rutinitas pagi saya. Memarkir motor, lalu saya akan melangkah menuju seorang perempuan yang , ketika saya menghampirinya, lebih sering sibuk membungkus pesanan-pesanan yang memang kerap ia dapatkan. Dengan bungkus daun pisang, ia kemudian mulai melayani saya, menanyai apa lauk yang saya inginkan, untuk kemudian ia akhiri pembungkusan itu dengan mengunci bungkus daun pisang itu dengan potongan lidi di kedua ujungnya.  Bungkusan berpindah ke tangan saya, sepuluh ribu rupiah berpindah ke tangan si ibu penjual.

Ibu itu menjual nasi pecel, tapi bukan tentang itu saya ingin menuliskan ini. Sudah dua harian yang lalu saya ingin menuliskannya, tapi baru sekaranglah kehendak itu terlalu kuat mendesak-desak untuk diledakkan di atas keyboard. Adalah sebuah pemandangan. Ya, adalah sebuah pemandangan yang saya temui ketika saya membeli nasi pecel itu lah yang begitu mengganggu saya hingga saya mesti menuliskan ini.

Dulu-dulunya, televisi berukuran besar itu, yang memang berada di ruangan yang sama dengan dagangan itu digelar, lebih sering menampilkan tayangan televisi macam berita atau program olahraga. Tapi dua-tiga hari ini tidak. Entah kenapa, saya juga tak terlalu tahu. Toh, saya hanya sebentar saja. Paling lama mungkin sepuluh menit kala pelanggan begitu banyaknya. Lainnya, hanya selintasan saja. Lalu pergi. Maka saya tak sampai taraf terlalu jauh seperti menanyakan tentang kenapanya.

Televisi itu sekarang menampilkan game. Entah game apa, yang pasti pukul-pukulan; ada jagoan, ada premannya. Dan seorang bocah kecil, dengan raut yang sepertinya belum sempurna benar terbebas dari aura kasur, tengah khusuk memegangi piranti dimana tombol-tombol yang memungkinkannya untuk mengatur si jagoan yang sedang ia lihat berada. Sekitaran pukul setengah tujuh saat saya berada di kedai nasi pecel itu, dan saya tahu, itu adalah jadwal dimana seorang anak seharusnya sudah sibuk mandi dan mempersiapkan diri untuk menuju ke sekolahnya. Tapi ia tidak.

Ah, terus terang saya juga tak tahu apakah ia memang tak bersekolah. Bukan maksudnya tak bersekolah dalam artian tak bersekolah sama sekali. Saya yakin ia punya sekolah. Maksud saya, mungkin ia sedang masuk siang karena keterbatasan ruang kelas. Mungkin, meski itu sangat kecil untuk kota Bontang ini---saya tak pernah mendengar cerita tentang hal demikian. Tapi pemandangan itu, pemandangan seorang anak tengah sibuk sendiri dengan gamenya di pagi hari dimana pikiran harusnya begitu fresh, adalah pemandangan yang menerbitkan dua hal yang seharusnya bertolakbelakang; miris dan syukur.

Syukur! Entahlah, hal seperti ini kerap datang justru untuk pemandangan sebaliknya. Melihat anak kecil begitu asyik main game itu, membuat saya kemudian melihat diri saya sendiri. Aduh, ternyata benar, apa-apa yang dulu begitu berat kita lakukan, banyak sekali yang kini justru kita syukuri begitunya. Saat seusia anak itu, saya begitu memimpikan punya game watch. Amat menginginkannya hingga ketika saya pergi ke kota, dan mampir di sebuah toko yang menjual game watch ini, saya akan memandangnya lama sembari melirik harganya yang kemudian membuat ciut hati—ah, berapa lama kiranya seratus rupiah yang saya dapatkan tiap berangkat sekolah itu harus saya kumpulkan untuk dapat memboyongnya. Saya memnag tak pernah merengek ke orang tua untuk hal-hal sekunder macam begini.

Waktu berjalan, dan anda bisa menebaknya, game watch itu tak pernah saya miliki. Hingga sampai pada sebuah titik dimana saya sudah tak menginginkan game watch itu lagi. Kemudian, berwaktu-waktu setelah itu, saya menyukuri keadaan itu. Meski dulu terasa berat,  ternyata kini saya malah bersyukur tak pernah kesampaian membeli game watch ini. Saya bersyukur saya tak pernah merengek minta dibelikan. Karena jika itu kesampaian, boleh jadi saya akan seperti bocah yang saya ceritakan di awal. Saya mungkin akan sibuk dengan mainan itu. tak sempat lagi untuk berpanas-panasan di sawah, atau bermain air, atau berlarian di halaman main bentengan sama teman.

Itu lah kemudian yang membuat saya miris. Anak sekecil itu, saat banyak hal menyenagkan lain yang bisa ia lakukan, malah sibuk di depan kotak ajaib sambil main game. Tidak, bukannya saya tidak membolehkannya sama sekali main game. Tapi, ah, itu masih pagi. Hari efektif pula. Apa jadinya jika sebelum berangkat sekolah saja, asupan yang pertama memenuhi otaknya adalah tentang gambar-gambar maya tokoh jagoannya.

Tapi orang tuanya mendiamkannya saja. Itu yang membuat miris. Entah, apakah ia menganggap itu baik-baik saja sebab dengan begitu ia tak perlu banyak mengganggu aktivitasnya melayani pelanggan. Entah, apakah ia menganggap itu bukanlah sebuah persoalan sebab belum ada ilmu apapun pada dirinya yang mempermasalahkan apa yang dilakukan anaknya itu. Entahlah. saya tak berani menduga-duga lebih lanjut. Mungkin ia punya alasan baik untuk hal itu.

Didiklah anakmu, sebab ia akan hidup di jaman yang berbeda dengan jamanmu. Duh, Gusti, benar apa yang disampaikan Ali ra. Jaman kanak-kanak kami tak ada kesenangan main HP, tak ada godaan main game komputer, tak ada begitu banyak acara televisi seperti sekarang. Sedangkan jaman anak-anak kami nanti…….., ah, kami mesti terus belajar untuk itu. Tak pernah henti. Tak pernah selesai. Sembari tak lupa, untuk senantiasa meminta pertolongan, kepada dzat pemilik segala; Kau.
 


 

21 comments:

Sukma Danti said...

Awalnya ak membaca ad bbrp kalimat tak efektif bal, jane kl dipress malah lbh efektif & indah.
Ttg topik yg km bicarakan, good2 aja :D

Sukma Danti said...

Btw, tumben sepi nih, tema ginian emang g menarik! *ngesot bali, sedih, nangis2 ning kamar

desi puspitasari said...

Apa aku harus mengulangi kalimat yang sama: "tulisanmu apik, Bal"? Kan ora?

Aku tadi hampir komen tergantung tgkat pendidikan si ibu tapi enggak jadi. Karena aku ingat, ada seorang ibu, S2, dosen di unversitas negeri, 'membiarkan' anaknya, 2 atau 3 taun, 'menonton' sinetron. Kuliat alasan utamanya mungkin kayak ibu penjual pecel: biarin aja selama enggak mengganggu atau merepotkan. Bahwa golden age ini dan itu, bahwa otak seorang bgaikan spons.. kamu pasti tau. Jadi? Kayaknya bukan tingkat pendidikan yg berpengaruh, tapi tingkat pengetauan.


nb: jane kie aku males komen dawa tur deskriptif kyk ngene kie. ... Abaikan.

nb 2: aku pindah Bontang, ah! Bakulan pecel! Larang tenan sak bungkuse!

desi puspitasari said...

Apa aku harus mengulangi kalimat yang sama: "tulisanmu apik, Bal"? Kan ora?

Aku tadi hampir komen tergantung tgkat pendidikan si ibu tapi enggak jadi. Karena aku ingat, ada seorang ibu, S2, dosen di unversitas negeri, 'membiarkan' anaknya, 2 atau 3 taun, 'menonton' sinetron. Kuliat alasan utamanya mungkin kayak ibu penjual pecel: biarin aja selama enggak mengganggu atau merepotkan. Bahwa golden age ini dan itu, bahwa otak seorang bgaikan spons.. kamu pasti tau. Jadi? Kayaknya bukan tingkat pendidikan yg berpengaruh, tapi tingkat pengetauan.


nb: jane kie aku males komen dawa tur deskriptif kyk ngene kie. ... Abaikan.

nb 2: aku pindah Bontang, ah! Bakulan pecel! Larang tenan sak bungkuse!

iqbal latif said...

@kbahgia...kowe ok saiki sering merhatikan susunan kalimat, pemakaina kata..he he. Kemajuan... Iyo yo, kok moro g ono seng komen saiki. G menarik memang :)

@mlmblnbr....mmmm..komen opo yo? iya, sedih juga melihat orang yg sepertinya dr luar mengerti tp ternyata sama saja

iqbal latif said...

opo, jar?

siti maemunah said...

menarik tulisannya wlw perlu diperbaiki alurnya,tp gpp itu spontan, tarbiyatul aulad bkn dialihkan d sekolah,teman,atw kotak ajaib itu baik hp maupun tv, tp ada pd ortu selaku yg dititipi amanah oleh Alloh, bkn bahasa inggris pula yg prtma kali diajarkan tp lafadz laailahaillalloh.
Ada web menarik yg prnah sy baca isinya sputar parenting,cahayasiroh.com,
afwan klw ngoceh sembarangan dan kepanjangan, good article

al fajr "fajar" said...

gapopo teringat sebuah kisah.....

dadi kur iso mesem.. hehe

iqbal latif said...

wah, ada nonkontak komen panjang..he he..
iya, awal tulisan ini dibuat sebenare bukan tentang tema tarbiyatul aulad,,,he he

#suka dengan komennya

iqbal latif said...

kisah apakah itu? hoho

lek mesem ngono luwih apik, lo, jar, tinimbang ngakak..he he

samsiah iah said...

orangtua jaman sekarang (walau tidak semuanya), menganggap kotak ajaib itu segalanya... pemecah masalah.. padahal...hhmm.. ada sesuatu dibaliknya...

iqbal latif said...

sesuatu banget kah? he he

iya...saya masih meikirkan apakah nantinya g usah pake tv saja, ya..hehe

samsiah iah said...

banget... banget gak baik...hehe..

tv bisa aja dipake, asalkan hanya untuk nonton yang bermanfaat...

HendraWibawa WangsaWidjaja said...

banyak pelajaran di sekeliling kita, ya ...

anas isnaeni said...

kapan ya berkeluarga? *dreaming*

iqbal latif said...

@iansun...iya, memang bgtu. Sm dtaruh d tmpt tak strategs :)
@hww...bnyak bnget, bang
@nanazh...jiah! Ngegalau di sini

Lani Imtihani said...

teknologi..apapun itu..pasti ada manfaatnya ketika orangtua bijak dalam penggunaannya :) menjadi orang tua yang bijak itu yang sulit :D

Ar Rifa'ah said...

Kira2 bakal gmana yah kacaunya jaman generasi setelah kita? M'bayangkanx saja sudah ngeri..

Baca ini, jadi ingat nasi pecel samping SMA dulu..*tiba2lapar*

iqbal latif said...

ini mha kayake sdh bawaannya rifa : mudah lapar sulit kenyang..ha ha. Bukan kepengaruh tulisan.

Ar Rifa'ah said...

Iyakah? Kenapa bisa b'pikir bgtu? *cekpostinganlama*

iqbal latif said...

G, rif! Asal saja it