Friday, November 25, 2011

-pengalungan medali-

Sukakah kau melihat prosesi pengalungan medali? Saya suka. Entah itu seagames, asiangames, terlebih olimpiade, saya akan selalu suka menyaksikan detik-detik itu kala medali dikalungkan dan lagu Indonesia raya mulai dikumandangkan seiring merah putih yg perlahan dikibar naik. Ya, atlit Indonesia yang menanglah yang menjadi syarat berlipatnya kesukaan saya melihat prosesi itu. Sebab, ikatan emosional sebagai orang sebangsa, akan membuat saya lebih masuk ke dalam prosesi itu.

Bahkan ketika saya masih kanak-kanak dulu, seusia SD atau bahkan SMP, saya kerap kali berandai-andai bahwa suatu saat saya lah yang bakalan di podium itu, menerima kalungan medali, lalu berdiri takjim menatap merah putih sembari mulut melirihkan Indonesia raya. Lalu, andai-andai saya akan berlanjut dengan andai-andai lain. Yaitu, ketika saaya menerima kalungan medali itu, maka orang-orang terdekat saya, mungkin keluarga, akan menyaksikannya dengan haru, meski hanya lewat tayangan televise. Maka meski hanya sebuah andai-andai, saya tahu, saya akan sangat bahagia saat itu. Terkadang memang, yang paling membahagiakan itu bukan karena kau bangga atas prestasimu, tapi kesadaran bahwa orang-orang terdekatmu, orang-orang yang mencintaimu, akan ikutan banggalah yang menjadi penyebabnya.

Tapi memang, menonton prosesi pengalungan medali itu, adalah saat-saat yang melankolis. Saat kau mencoba masuk ke apa yang kau lihat, saat kau mencoba memaknai yang kau tatap, saat kau menyadari mata atlit itu perlahan berkaca, saat itulah kau akan menemukan dirimu mendongak ke langit-langit ruangan demi mencegah apa yang sudah berkaca itu berlarut-larut. Tapi tak apa. Ada saat ketika itu baik, ada saat ketika itu tak baik. Maka mencoba menempatkannya sesuai koridor dan kadarnya adalah sesuatu yang mesti diupayakan.

Ya, ini tak apa. Saat kau bisa memastikan bahwa apa yang mengaca itu adalah janji, bahwa kau akan melakukan hal dengan capaian yang sama atau bahkan lebih dari apa yang kau lihat, maka itu menjadi tak apa. Tentu saja tak harus lewat saluran dengan yang kau lihat. Akan ada banyak jalannya. Jalan yang lebih dekat dengan kita. Dengan efek membanggakan yang sama, dengan tingkatan membahagiakan orang-terdekat yang tak jauh beda.

Maka yang perlu kita pastikan, menonton prosesi pengalungan medali adalah menonton diri kita sendiri. Menonton kita di masa depan. Kita akan berada di posisi itu. Menjadi pemenang, menjadi juara, atas diri kita sendiri. Meski tidak untuk dikalungi medali, meski tidak melalui seremoni, meski tidak disiarkan televisi. Jika tidak esok, itu pasti esoknya lagi. Pasti.



Kecubung 17
26nop

Disambangi orang tua itu, rumah berantakan langsung rapi..haha

Benar, lebih banyak hal yg tidak kita lakukanlah yg kita sesali. Bukan yg kita lakukan, meski itu sebuah kesalahan.

Saturday, November 19, 2011

-melompat-

Ada saat dimana aku ingin waktu melompat saja. Menghapus beberapa tanggal ke depan untuk kemudian seketika berada di saat yang diingini. Entah tertidur (yang terasa) sejenak, selayaknya ashabul kahfi, untuk kemudian terbangun dengan tanggal yang tertera di kalender telah meloncat sepekan, sebulan, atau hanya beberapa hari saja.

Tapi tidak. Betapa waktu di depan begitu menggelisahkan, betapa bentangan saat-saat yang bakal dilalui terasa bakal begitu memberatkan, tetap saja itu mesti dilalui. Belum ada keajaiban. Tak ada lompatan-lompatan waktu seperti yang kuinginkan.

Sebab itu lah memang jalannya. Waktu itu lah memang yang akan menuakan. Tapi renik-renik hidup yang mengisi tiap satuan waktu itu, masalah-masalah yang terasa memberatkan itu, kala terselesaikan dan terlalui dengan baik, adalah anak tangga menuju kedewasaan. Maka aku harus terus melaluinya, merasainya, menerabasnya, sertakmengenakkan apapun itu. Mengabaikan lintasan-lintasan pikiran untuk berharap waktu meloncat saja sebab itu hanyalah sisi lain kekerdilan diri.


Maka kemudian, ada saat dimana aku khusyuk berdoa, di detik-detik menuju perjuangan. Untuk sebuah penenang, untuk sebuah keyakinan, untuk sebuah pegangan; ‘Ya Robbi, jadikan punggung ini lebih kokoh dari sebelumnya, sehingga akan ringan saja, beban yang begitu berat mulanya”

Demikialnlah. Ini lah aku kini. Tersusun atas jutaan peristiwa, terbentuk dari ribuan hari. Bukanlah manusia kuat memang, sebab beberapa kali masih limbung dihantam peristiwa. Tapi bolehkah aku berkata, bahwa kini aku telah  mampu tersenyum lebar, kala  menghadapi peristiwa yang dulu begitu memberati. Maka semoga saja, itu hasil dari pembelajaran melewati hari-hari.  Yang mematangkan, yang mendewasakan. Hingga akan sampailah di sebuah titik, dimana aku akan mampu tersenyum, tiap kali menghadapi renik-renik hidup, apapun tingkatannya, seberapapun dosisnya. Semoga.



#tulisan sugesti
#sedang galau dalam arti general, bukan spesialisasi

Friday, November 11, 2011

tarbiyatul aulad dalam sebungkus nasi pecel

Tempat itu memang sudah menjadi langganan saya untuk dihampiri tiap paginya. Ketika saya tak puasa, sejak saya memutuskan untuk mewajibkan diri sarapan, saya akan selalu berhenti di depan bangunan sederhana itu untuk menunaikan rutinitas pagi saya. Memarkir motor, lalu saya akan melangkah menuju seorang perempuan yang , ketika saya menghampirinya, lebih sering sibuk membungkus pesanan-pesanan yang memang kerap ia dapatkan. Dengan bungkus daun pisang, ia kemudian mulai melayani saya, menanyai apa lauk yang saya inginkan, untuk kemudian ia akhiri pembungkusan itu dengan mengunci bungkus daun pisang itu dengan potongan lidi di kedua ujungnya.  Bungkusan berpindah ke tangan saya, sepuluh ribu rupiah berpindah ke tangan si ibu penjual.

Ibu itu menjual nasi pecel, tapi bukan tentang itu saya ingin menuliskan ini. Sudah dua harian yang lalu saya ingin menuliskannya, tapi baru sekaranglah kehendak itu terlalu kuat mendesak-desak untuk diledakkan di atas keyboard. Adalah sebuah pemandangan. Ya, adalah sebuah pemandangan yang saya temui ketika saya membeli nasi pecel itu lah yang begitu mengganggu saya hingga saya mesti menuliskan ini.

Dulu-dulunya, televisi berukuran besar itu, yang memang berada di ruangan yang sama dengan dagangan itu digelar, lebih sering menampilkan tayangan televisi macam berita atau program olahraga. Tapi dua-tiga hari ini tidak. Entah kenapa, saya juga tak terlalu tahu. Toh, saya hanya sebentar saja. Paling lama mungkin sepuluh menit kala pelanggan begitu banyaknya. Lainnya, hanya selintasan saja. Lalu pergi. Maka saya tak sampai taraf terlalu jauh seperti menanyakan tentang kenapanya.

Televisi itu sekarang menampilkan game. Entah game apa, yang pasti pukul-pukulan; ada jagoan, ada premannya. Dan seorang bocah kecil, dengan raut yang sepertinya belum sempurna benar terbebas dari aura kasur, tengah khusuk memegangi piranti dimana tombol-tombol yang memungkinkannya untuk mengatur si jagoan yang sedang ia lihat berada. Sekitaran pukul setengah tujuh saat saya berada di kedai nasi pecel itu, dan saya tahu, itu adalah jadwal dimana seorang anak seharusnya sudah sibuk mandi dan mempersiapkan diri untuk menuju ke sekolahnya. Tapi ia tidak.

Ah, terus terang saya juga tak tahu apakah ia memang tak bersekolah. Bukan maksudnya tak bersekolah dalam artian tak bersekolah sama sekali. Saya yakin ia punya sekolah. Maksud saya, mungkin ia sedang masuk siang karena keterbatasan ruang kelas. Mungkin, meski itu sangat kecil untuk kota Bontang ini---saya tak pernah mendengar cerita tentang hal demikian. Tapi pemandangan itu, pemandangan seorang anak tengah sibuk sendiri dengan gamenya di pagi hari dimana pikiran harusnya begitu fresh, adalah pemandangan yang menerbitkan dua hal yang seharusnya bertolakbelakang; miris dan syukur.

Syukur! Entahlah, hal seperti ini kerap datang justru untuk pemandangan sebaliknya. Melihat anak kecil begitu asyik main game itu, membuat saya kemudian melihat diri saya sendiri. Aduh, ternyata benar, apa-apa yang dulu begitu berat kita lakukan, banyak sekali yang kini justru kita syukuri begitunya. Saat seusia anak itu, saya begitu memimpikan punya game watch. Amat menginginkannya hingga ketika saya pergi ke kota, dan mampir di sebuah toko yang menjual game watch ini, saya akan memandangnya lama sembari melirik harganya yang kemudian membuat ciut hati—ah, berapa lama kiranya seratus rupiah yang saya dapatkan tiap berangkat sekolah itu harus saya kumpulkan untuk dapat memboyongnya. Saya memnag tak pernah merengek ke orang tua untuk hal-hal sekunder macam begini.

Waktu berjalan, dan anda bisa menebaknya, game watch itu tak pernah saya miliki. Hingga sampai pada sebuah titik dimana saya sudah tak menginginkan game watch itu lagi. Kemudian, berwaktu-waktu setelah itu, saya menyukuri keadaan itu. Meski dulu terasa berat,  ternyata kini saya malah bersyukur tak pernah kesampaian membeli game watch ini. Saya bersyukur saya tak pernah merengek minta dibelikan. Karena jika itu kesampaian, boleh jadi saya akan seperti bocah yang saya ceritakan di awal. Saya mungkin akan sibuk dengan mainan itu. tak sempat lagi untuk berpanas-panasan di sawah, atau bermain air, atau berlarian di halaman main bentengan sama teman.

Itu lah kemudian yang membuat saya miris. Anak sekecil itu, saat banyak hal menyenagkan lain yang bisa ia lakukan, malah sibuk di depan kotak ajaib sambil main game. Tidak, bukannya saya tidak membolehkannya sama sekali main game. Tapi, ah, itu masih pagi. Hari efektif pula. Apa jadinya jika sebelum berangkat sekolah saja, asupan yang pertama memenuhi otaknya adalah tentang gambar-gambar maya tokoh jagoannya.

Tapi orang tuanya mendiamkannya saja. Itu yang membuat miris. Entah, apakah ia menganggap itu baik-baik saja sebab dengan begitu ia tak perlu banyak mengganggu aktivitasnya melayani pelanggan. Entah, apakah ia menganggap itu bukanlah sebuah persoalan sebab belum ada ilmu apapun pada dirinya yang mempermasalahkan apa yang dilakukan anaknya itu. Entahlah. saya tak berani menduga-duga lebih lanjut. Mungkin ia punya alasan baik untuk hal itu.

Didiklah anakmu, sebab ia akan hidup di jaman yang berbeda dengan jamanmu. Duh, Gusti, benar apa yang disampaikan Ali ra. Jaman kanak-kanak kami tak ada kesenangan main HP, tak ada godaan main game komputer, tak ada begitu banyak acara televisi seperti sekarang. Sedangkan jaman anak-anak kami nanti…….., ah, kami mesti terus belajar untuk itu. Tak pernah henti. Tak pernah selesai. Sembari tak lupa, untuk senantiasa meminta pertolongan, kepada dzat pemilik segala; Kau.
 


 

Thursday, November 10, 2011

Ada tawaran ikut sertifikasi selam. Katanya sih murah. *menggoda

bookaholic : oktober '11

Aku bisa saja menyertakan banyaka kalimat-kalimat baik untuk membuat kalian manggut-manggut untuk kemudian memaklumi. Aku bisa juga membuat daftar kegiatan lain sebagai pembanding kalau akau melakukan hal hebat lain selain hal hebat ini. Tapi tak ada guna. Bahwa berapa banyak buku yang aku baca tiap bulannya, bukan tentang itu hingga aku menulisnya di sini.

Baiklah, ada dua buku yang terselesaikan untuk bulan ini:
  • Living Islam - Herry nurdi
  • 111 Kolom bahasa Kompas --banyak penulis
itu saja. Harap jauh-jauh dari postingan ini, sedang futur (membaca)

Wednesday, November 9, 2011

Tuesday, November 8, 2011

--mengenal--

Jika ada yang bertanya tentang seseorang yang paling anda kenal, kira-kira…siapakah seseorang yang kemudian, dari lisan kita, akan dengan sangat mulus meluncur namanya. Ah, barangkali kemungkinan untuk itu akan banyak. Beberapa mungkin akan menyebut salah satu anggota keluarganya, atau suami/istrinya, atau salah seorang temannya, atau kelompok lingkarannya, atau teman sekamar ngekosnya. Tapi, kalau saya tak salah, sesorang lain mungkin akan kesulutan menyebutkan satu orang pun yang memang paling ia kenal.

Begitupun saya. Jika pertanyaan itu ditujukan ke saya, mungkin saya akan butuh waktu beberapa jenak untuk menggali semuanya dari pikiran saya, untuk kemudian menyebutkan sebuah nama, yang barangkali, meskipun sudah meluncur dari mulut saya, saya tak benar-benar yakin akan kebenarannya. Bagaimanalah, kata mengenal itu belum juga saya pahami standarnya. Karena saya boleh jadi belum benar-benar mengenal diri saya sendiri—ah, bukankah ini kecelakaan? Ketika sebuah hal yang dulu begitu saya yakini, saya sadari tentang bagaimana-bagaimananya, hanya dalam hitungan hari yang tak mencapai dua pekan, saya ragukan kembali adanya. Mungkin ini masalah fluktuasi perasaan, pemikiran, atau apalah, tapi ini juga boleh jadi mengindikasikan tentang ketaktahuan saya tentang apa-apa yang sebenarnya saya ingini dan butuhkan.

Baiklah, lupakan paragraf kedua di atas! Tentang mengenal ini, boleh jadi akan panjang. Ketika kau sudah tahu tentang kegemarannya, tentang makanan favoritnya, tentang warna kesukaannya, atau tentang kesehariannya, apakah itu sudah dikatakan telah mengenal? Atau, ketika kau sudah tahu tentang obsesi-obsesinya, harapan-harapannya, pandangan-pandangannya tentang masa depan, atau orientasi hidupnya, apakah itu juga sudah layak dikatakan telah mengenal? Entahlah! Mungkin iya, mungkin belum. Atau, mungkin dikatakan iya dengan tingkatannya; cukup, lumayan, relatif. Tapi tidak tingkatan ‘benar-benar’.

Tapi memang tak ada yang namanya benar-benar mengenal. Jika kasus ini disematkan pada mengenal makhluk, manusia pula, tentunya tak ada yang namanya ‘benar-benar’, dimana itu menunjukkan sebuah kekomplitan, atau akhir. Tentu saja, sebab manusia bukanlah sebuah makhluk yang statis yang sama sekali tak mengalami perubahan. Di setiap waktunya, akan ada yang berubah dengannya. Entah cara berpikir, pengetahuan, tingkatan iman, atau kebugaran, yang mana akan membentuk sebuah tindakan yang barangkali tidak kita bayangkan akan ia lakukan dua jaman yang lalu.

Bahkan seorang suami, atau istri, butuh sepanjang hayat untuk mengenal pasangannya. Ketika sebuah ikatan pernikahan telah menyatukan mereka, dimana rumah telah menaungi mereka dalam sebuah wadah fisik, dimana waktu telah sama-sama mereka jalani dalam kebersamaan, ternyata kata mengenal itu belum juga berujung pada ‘benar-benar’.  Ada saja hal-hal baru yang bakalan tertemui, yang boleh jadi menjadikan satu sama lain tercengang, kaget, atau yang sejenisnya. Sebab kita memang makhluk yang hidup. Hanya sebuah pemahaman akan keberadaan, akan fungsi masing-masing, akan tujuan kebersamaan, menjadikan kebaruan itu hanyalah sebuah data pengaya dari bank kemengenalan satu sama lain.

Jika seorang pasangan yang sudah menjalani bertahun-tahun kehidupan bersama saja belum juga bisa dikatakan telah benar-benar mengenal, maka apa jadinya kita terhadap seorang teman kuliah, atau rekan kerja, atau teman jalan, yang mana intensitasnya kalah jauh bila dibandingkan dengan sepasangan itu. Ya, tentu saja masih jauh dari kata mengenal. Tapi tidak mustahil juga untuk mencapai taraf ‘cukup mengenal’. Pernah menginap bersama tiga hari berturut-turut, melakukan perjalanan bersama, serta pernah melakukan transaksi ekonomi, adalah pedoman yang bagus untuk standar kemengenalan kita akan seseorang. Sebab ketiga hal tersebut memang telah benar-benar mengurangi potensi kepura-kepiraan kita satu sama lain. Ya, mungkin ‘topeng’ itu belum sepenuhnya lepas, tapi sudah tak terlalu tebal, hingga satu sama lain akan dengan mudah mengintip sedikit wajah.

Siapakah yang lebih dulu mengajak sholat, bagaimanakah cara dia membuka keran air, kaki apa yang ia dahulukan saat masuk toilet, apakah dia terbiasa tak menghabiskan makanan di piringnya, jam berapa ia bangun, apa reaksinya ketika dalam keadaan panik, apa pula yang ia serukan pertama ketika melihat keindahan, bagaimana cara dia menghadapi kondisi diri yang tidak benar-benar dalam keadaan semangat, apa yang lebih sering ia lakukan untuk mengisi kesenggangan, apakah ia selalu menghabiskan air minum dalam segelas air mineral, adalah hal-hal kecil yang barangkali akan secara intens dapat kita amati dari seseorang yang kita ajak melakukan perjalanan dan menginap bersama. Hal-hal kecil mungkin, tapi dengan sedikit kejernihan akan menunjukkan tentang kebesaran. Tentang bagaimana seseorang membuka keran air saat wudhu, apakah lebar-lebar ataukah secukupnya, adalah sebuah fragment yang sedikit banyak akan menunjukkan kepada kita tentang concern seseorang tersebut –tentang lingkungan, tentang kaidah tak berlebihan, tentang keistiqomahannya meneladani nabinya. Begitu juga lainnya.

Begitulah, frase ‘mengenal seseorang’ pada akhirnya berbeda dengan frase lain semisal ‘makan nasi’. Bila makan nasi, kita bisa saja mengatakan ‘sedang makan nasi’ atau ‘telah makan nasi’. Tapi ‘mengenal sesorang’ agaknya tak akan pernah sampai pada taraf ‘telah mengenal’. Sebab itu adalah sebuah proses yang tak akan berkesudahan dan terus-menerus, sebab memang ada variabel waktu sebagai pembentuknya.

Terakhir, sebagai pamungkas jurnal iseng-iseng ini, apakah kau telah mengaku mengenal saya? Bila kau telah menjadi kotak saya sejak awal saya membuat MP ini, dan telah membaca sekian banyak jurnal-jurnal saya yang boleh jadi menyiratkan harapan, obsesi, dan pemikiran-pemikiran saya, mungkin kau akan mengatakan ‘cukup mengenal’. Tapi menurut saya, sepertinya kau sama sekali tak mengenal saya. Kau cukup mengenal ‘mylathief’ mungkin iya, tapi kau cukup mengenal saya sepertinya tidak. Sebab antara saya dan mylathief memang ada pemisah bernama kata-kata. Dan saya, amat mungkin menyembunyikan banyak dibalik kata-kata itu, yang boleh jadi amat busuk. Maka bila kau ingin tahu tentang saya, mungkin kau bisa bertanya pada teman serumah saya, atau teman sekamar ngekos dulu, atau teman tempat membagi resah. Tapi sepertinya itu juga belum cukup. Sangat belum cukup.

Salam!




mylathief itu........

Monday, November 7, 2011

'dekaplah aku lebih erat'

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita tidur saling memunggungi
tapi jiwa berpeluk peluk
senyum mendekap senyum

suatu saat dalam sejarah cinta kita
raga tak lagi saling membutuhkan
hanya jiwa kita sudah lekat menyatu
rindu mengelus rindu

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita hanya mengisi waktu dengan cerita
mengenang dan hanya itu
yang kita punya

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta kan berakhir
di saat tak ada akhir.


Dalam sebuah kesempatan ngobrol pas ramadhan kemarin, Pak Cah, yang kebetulan saat itu diundang sebagai salah satu mubaligh untuk mengisi ceramah tarawih, menukilkan puisi Ust Anis Matta ini sebagai pembanding.  Tak kesemuanya memang, hanya bait pertama dari puisi di atas. Mungkin karena beliau tak hafal juga hingga tak menyebutkan keseluruhan.

Awal mulanya sepertti ini. Entah bagaimana caranya ketika perbincangan antara saya, seorang teman, Pak Cah, dan seorang ustad dari Semarang kala itu kemudian membahas Ust Salim A Fillah. Mulanya membahas tentang keproduktifan penulis muda ini, juga cerita kami yang pernah mengundangnya hadir di kampus, sampai kemudian Pak Cah bercerita tentang beliau yang pernah bertukar pikiran tentang gaya penulisan ust Salim di buku ‘Bahagianya Merayakan Cinta’. Saya tak ingat benar redaksionalnya, tapi pada intinya seperti ini.

“Akh, nanti, ketika antum sudah tua, antum akan tersenyum-senyum sendiri membaca tulisan antum yang sekarang. Karena antum masih muda, masih muda juga usia pernikahannya, bahasa yang antum pakai kebanyakan bahasa fisik; dekaplah, rangkul. Kalau antum sudah dewasa, sudah matang dalam perkawinan, sudah tua, maka akan seperti puisinya anis matta ini; kita tidur saling memunggungi-tapi jiwa erat berpeluk-peluk ”

Hmmm…waktu itu saya kebanyakan mengangguk-angguk membenarkan pernyataan Pak Cah tersebut. Benar, sepanjang ingatan saya membaca buku-bukunya Salim A Fillah yang tentang pernikahan,  judul-judul bab yang mengandung kata aktivitas fisik memang cukup banyak seperti yang diungkapkan pak Cah tersebut. Kalimat yang sebenarnya oke-oke saja sebab nyatanya begitu provokatif buat pembaca muda seperti saya.

Lepas dari itu, saya memang tak memastikannya dengan membuka-buka kembali bukunya ust Salim tersebut. Terlupa. Baru lah beberapa hari kemarin, ketika saya berkesempatan membukanya, saya jadi teringat percakapan dengan Pak Cah tersebut, dan membenarkan apa yang diucapkan beliau. Dekaplah aku lebih erat, itu adalah salah satu bab yang masih saya ingat –saat menuliskan ini, buku ini tidak di samping saya. Dekaplah, sebuah kalimat yang menunjukkan aktivitas fisik.

Entahlah, saya sebenarnya tak terlalu mengerti benar maksud kalimat fisik tersebut. Benar, memang kalimatnya ust Salim mengandung kata kerja yang menunjukkan aktivitas fisik, tapi yang dicontohkan sebagai pembanding yang merupakan kebalikannya, bagi saya lebih kepada maksud tulisannya, bukan bentuk kalimatnya,  tentang sepasangan dalam menjalani harinya lebih dipenuhi oleh interaksi jiwa, tak lagi fisik. Lalu, lepas dari itu, jika tulisan merepresentasikan orangnya, apakah itu berarti orang-orang muda dalam memandang sebuah pernikahan memang yang lumayan banyak dibayangkan adalah aktivitas-aktivitas fisik seperti ini?

Hmmm..bila saya mengambil contoh diri saya sendiri, saya memang kerap kali terkompori ketika melihat sepasangan muda ikhwan-akhwat berjalan mesra dengan saling memegang tangan. Tapi, saya juga terkompori ketika melihat seorang bapak tekun membimbing anaknya memasuki masjid. Bila kasus terkompori pertama lebih karena melihat aktivitas fisik, bolehkah saya sebut kasus terkompori kedua itu lebih kepada aktivitas nonfisik--lebih kepada ke kedalaman? Entahlah! saya juga tak mampu menjawabnya.

Atau, apakah seperti ini? Bila saya membaca buku pernikahan yang ditulis Ust Salim A fillah, efek kompornya memang begitu terasa hingga membuat menggebu untuk menyegerakan, tapi berbeda ketika membaca buku pernikahannya Ust Fauzil Adhim. Membaca bukunya Ust Fauzil, alih-alih mengompori, malah kerap membuat kita berpikir apakah kita memang siap, apakah kualifikasi yang disebutkan itu sudah ada di diri kita. Bila orang yang mulanya tak terlalu meikirkan pernikahan bisa terkompori untuk menikah lepas baca bukunya ust Salim, sepertinya saya tidak terlalu yakin hal yang sama berlaku jika ia membaca bukunya ust fauzil. Apakah karena ust Salim relatif muda sedangkan ust fauzil lebih senior? Ataukah karena sayanya saja yang mengmbil sudut pandang kalangan muda. Atau… Entahlah!

Tapi mungkin memang begitu. Tujuan penulisan bukunya lah yang memang berbeda. Mungkin bukunya ust salim tujuannya lebih untuk mengompori anak-anak muda untuk segera menikah sehingga kalimat fisik lah yang dipakai—itu pun jika pernyataan kalau anak muda lebih cenderung kepada hal-hal fisik itu memang benar. Sedangkan bukunya ust Fauzil tidak. Atau tidak sepenuhnya. Lebih kepada pemahaman-pemahaman dan sejenisnya.

Terakhir, tulisan ini hanyalah gathuk-gathukan saya saja. Jangan terlalu diambil hati. Bila ada benarnya, itu tentu saja datangnya dari Allah. Semoga yang belum menikah segera menemukan jodohnya, dan semoga yang sudah menikah dilanggengkan ikatannya, diberkahi kebersamaannya.

Wallahu a’lam




#tulisan ini, saya sadari sendiri, sepertinya permukaan sekali, tak tuntas. Tapi tak apalah. Mumpung saya sedang mau mosting tulisan macam ini.






Tuesday, November 1, 2011

(catatan perjalanan) : akhir

Entah mengapa suara peluit mengawali keberangkatan sebuah kereta. Serupa lengkingan uap panas yang meniup-niup celah sempit pada teko saat tekanannya menyamai tekanan sekitar--mendidih. Adakah memang perlu suara-suara untuk menandai keberangkatan? Gerbong yg perlahan melaju dan uap air yg sedikit demi sedikit membebaskan diri dari liquidanya.

Tapi mengapa mesti senyap mulanya? Stasiun masih di depan dan waktu menuju ke sana kita reka-reka dari gerak tak stabil jarum pengukur kecepatan. 'cepat, cepat! Sudah menjelang jam tujuh'. Tapi tak ada yg mengucap itu, kan? Seolah keterlambatan bukan sebuah soal sebab kita menjadi bebas untuk tak patuh pada lengkingan peluit penjaga stasiun.

Apakah kita memang menunda berkata-kata untuk diledakkan di garis batas yg dengan tak bergairah kini kita kejar? Kalimat-kalimat seloroh mungkin telah terpencil sebab kemunculannya hanya kian menambah pahit keadaan. Roda-rodapun berputar dalam bimbang seolah semuanya telah bermufakat menggagalkan sebuah rencana yang niscaya. Kita bahkan tak tahu apakah kita benar-benar sedang menginginkan untuk sampai.

Ah, pada akhirnya seorang dari kita berlari. Meninggalkan pintu mobil yg masih terbuka, membiarkan seorang lagi berbesar hati menutupnya. Lalu lari juga. Hai, mengapa semakin kita buat dramatis ini semua? Tidakkah ini harusnya berlangsung lambat, seperti fragmen perpisahan baik-baik dalam layar kaca.

Kereta belum juga berangkat, kita tahu benar hal itu. Belum ada tiupan peluit, maka harusnya kita tak perlu berlari. Tapi kita sadar, kita belum membeli sebuah hak untuk dua tempat pada gerbong yang telah berjajar.

Lalu, adakah sebuah kebodohan, atau keseruan yang lain, kala mbak penjaga loket menggeleng. Menabrak-nabrakkan jemari lentiknya pada keyboard, lalu sekali lagi menggeleng. Aha, aku tak tahu dengan pasti apakah kita menyesal atau terbahak menemukan fakta ini. Mungkin kita perlu bertanya pada diri masing-masing, adakah yang telah mendoa agar ini menjadi nyata.

Kita beringsut. Membiarkan putaran jarum jam menjatuhkan vonisnya. Memandang tabel keberangkatan, yang kemudian kita tahu, sama sekali tak memberikan jawaban. Seseorang kemudian berbisik, mestikah ini kita gagalkan, lalu kita pacu motor ke selatan, seperti rencana di sebuah pagi, di antara debur ombak karimunjawa?

Tapi mbak penjaga kemudian tersenyum. Ini kode, kan? Kode untuk sebuah kepastian buat hamba yang dengan sepenuh hati bersabar. Hingga meledaklah kita, hingga berlarilah kita. Aha, kita jadi bingung sendiri, apa yang sebenarnya sungguh-sungguh kita maui.

Ransel telah ditempatkan, tempat duduk diduduki, gerbong belum juga ada tanda-tanda diberangkatkan, saat kita tersadarkan, seseorang masih di luar. Ah, kita terlalu kerap membaca dan menulis cerita, bahwa keberangkatan itu mesti ada yang terpandang sedang tertinggal di luar lalu yang lain melambai-lambai di balik kaca dalam gerbong yang melaju. Hinga saat menyadari tak ada sesiapa di luar kereta sebab masih di luar sana, menjadi kuranglah rasanya.

'aku nggak boleh masuk'. Pada akhirnya kalimat itu yang berbicara. Entahlah, kemudian tak ada yang menyalahkan tentang kenapa ia tak sedikit saja berbohong kalau sedang mengejar kereta. Tak ada, tak perlu. Kita sadar. Kita akhiri saja hanya dengan suara, lalu huruf-huruf. Hingga lengkingan peluit meningkahi suasana. Lalu.... Selamat tinggal, jogja!


-di sebuah kursi bus yang bergerak menuju surabaya-

Kulit lengan akhire podo ngglodhoki

(catatan perjalanan) ;infiltrasi budaya

Di sebuah kolom surat kabar, beberapa waktu sebelum jembatan suramadu diresmikan, saya pernah membaca tentang kekhawatiran penulis kolom tersebut tentang serbuan moderenitas ke Madura Surabaya secara tak terbendung pasca diresmikannya jembatan tersebut. Bukan tentang moderenitasnya yang benar-benar dikhawatirkan si penulis, tapi kesiapan penduduk local tersebut menghadapinyalah yang ia resahkan. Ia membayangkan, bagaimana jadinya penduduk yang lebih banyak hidup dalam kesederhanaan dan keluguan tersebut, tiba-tiba dibanjiri gaya hidup modern yang dibawa orang-orang yang melintas suramadu. Adanya Suramadu, mau tak mau, menjadikan pertukaran budaya itu berlangsung jauh lebih cepat dan massif, yang boleh jadi tak terkontrol. Apabila salah satu pihak belum siap, bisa tak baik akibatnya.

Kemarin, pertanyaan yang sama menyentil pikiran saya ketika saya telah resmi bercokol di bumi karimunja jawa untuk beberapa hari ke depan. Melihat keseharian orang-orang local, melihat tingkah pola anak-anaknya, lalu melihat para pendatang yang tak ada hentinya, pikiran itu datang dengan sendirinya; apa saja kiranya yang mereka serap dari para pendatang ini. Terbiasa dengan pergaulan itu-itu saja, dengan budaya itu-itu saja, terpisah sejarak 6 jam perjalanan laut dari kota Jepara, apakah yang kemudian berubah drastis pada kehidupan mereka ketika dua tahun belakangan ini, pulau tempat mereka tinggal tiba-tiba ramai diperbincangkan di komunitas backpacker internet untuk kemudian ramai-ramai jadi tujuan wisata orang-orang dari penjuru negeri dengan berbagai budayanya.

(sebagian dari) mereka mungkin memetik keuntungan dari itu. Kamar-kamar kemudian mereka sewakan untuk dijadikan tempat menginap para pendatang. Meski untuk itu, mereka harus mengorbankan diri dengan tidur di pojokan dapur seranjang berempat, tapi setidaknya ada uang tambahan sebagai penyambung hidup. Beberapa juga bekerja menjadi pramu wisata, beberapa mendirikan kios-kios penjualan cinderamata. Ekonomi menjadi tergerakkan. Tapi, ada sesuatu, pasti, yang perlahan-lahan tergeser. Masih jelas tergambar, di dermaga itu, ketika seorang pria local paruh baya menatap nanar dengan jakun naik turun ke sebuah objek. Saya bahkan tak perlu memastikan ke arah manakah sorot mata itu tertuju untuk menjadi tahu apa kiranya yang sedang ia pandang.

Selalu ada baik-buruknya memang. Keadaan semacam ini, memang selalu menjelma sebagai pisau bermata dua. Maka semoga saja, mereka, atau mungkin pemerintah, tak terlalu sibuk mengurusi satu mata yang terlihat menggiurkan, sehingga menjadi abai terhadap satu mata yang membinasakan. Sehingga menjadi seimbang—tak timpang.

Kabar baiknya memang ini; berduyun-duyunnya pelancong yang mengunjungi pulau ini, mau tak mau menyadarkan pemerintah setempat, bahwa pulau ini ada, dan juga bernilai. Sehingga kemudian fasilitas untuk mendukung itu dibangun. Pembangunan fisik terlihat di sana-sini. Maka semoga, seperti halnya harapan tentang seimbangnya mengurus dua mata pisau itu, mereka juga masih sempat untuk pembangunan karakter masyarakat, pengokohan mental, juga pemantapan keagamaannya. Maka jika tidak, beralasankah kekhawatiran ini? Jika panggilan sholat dari corong pengeras suara musholla yang bertebaran di seantero kampung ini, hanya akan berbalas satu dua langkah tertatih milik orang-orang renta produk Karimun Jawa purba. Terlalu berlebihan mungkin ini cerita, tapi bukan tak mungkin untuk menjadi nyata.