Saturday, May 24, 2008

Cermin Diri (yang Tersisa dari Pagelaran HUT K-44)

Ceritanya, beberapa hari yang lalu, teman saya Khaerudin mengajak saya menjadi salah satu tim kontemplasi pada acara hari ulang tahun K-44 yang ketiga. Saya kurang tahu tugasnya apa, tapi saya iyakan saja ajakan itu. Acaranya berlangsung sabtu malam ahad tapi sampai sabtu saya belum tahu juga tugas saya. Beberapa kali memang berencana akan diadakan rapat tapi selalu tertunda karena memang tim kontemplasi disibukkan oleh kelompoknya masing-masing. Sebagai catatan saja kalau 120 orang teman satu angkatan saya dibagi menjadi enam kelompok yang harus menampilkan satu hal saat acara ulang tahun itu. Untuk menampilkan sesuatu itu tentunya harus mengonsep apa yang akan ditampilkan untuk seterusnya mengadakan latihan. Nah, latihan ini yang kemudian ternyata mengganggu jadwal rapat tim kontemplasi.

Namun akhirnya sabtu siang, pukul setengah sebelasan, Khaerudin akhirnya muncul juga di lab saya dengan tugas yang sudah terrsusun rapi di kepalanya buat saya. Saya akan baca puisi di sesi kontemplasi itu. Kaget juga sih, merasa belum siap. Acaranya nanti malamnya dan baru siangnya diberi tahu. Ini kan bukan puisi biasa tapi puisi kontempalasi yang harus bisa membawa aura puisi itu ke hati pendengar (*benar tidak ya pembahasaannya?).

Masalah selanjutnya adalah puisi apa yang akan saya baca. Dan, ternyata Khaerudin ternyata sudah mempersiapkan jawabannya. Dari sekian ratus judul yang masuk(*berlebihan kalau yang ini*) akhirnya Khaerudin memilih puisinya Aa Gym yang berjudul cermin diri untuk dibacakan. Dari sini, masalah lagi muncul. Puisinya Aa Gym itu kan kental sekali nuansa Islaminya sedangkan angkatan saya terdiri atas multi etnis dengan berbagai macam agama (*yang belum tahu puisi cermin dirinya Aa Gym silahkan baca disini*). Kami harus bisa mengakomodir semuanya. Jadilah saya yang kemudian harus bisa mengedit puisinya (maaf ya Aa kalau puisinya jadi kacau atau pesan yang ingin Aa sampaikan jadi terasa kabur. Itu karena saya saja yang terbatas kemampuannya). Dan, setelah memelototi komputer, menerawang, serta bermuhassabah sendiri akhirnya jadilah puisi cermin diri versi HUT K-44 dalam waktu yang super kilat. Ada banyak penyesuaian yang harus saya lakukan agar nantinya pas membacanya jadi enak.

Ini nih puisi hasil editannya.

 

CERMIN DIRI

 

Tatkala kuhampiri sebuah cermin
Tampak sosok yang sangat lama kukenal dan sangat sering kulihat
Aneh, namun aneh

Sesungguhnya aku belum mengenal siapa yang kulihat

 

Tatkala kutatap wajah, hatiku bertanya,
Apakah wajah ini kelak bercahaya dan bersinar indah di surga?
Ataukah wajah ini yang akan hangus legam di neraka jahanam

 

Tatkala kutatap mata, nanar hatiku bertanya,
Mata inikah yang akan menatap teduh,…..

kelezatan dan kerinduan yang membentang…
Menatap kekasihMu Tuhan!!

memandang haru wajah ayah ibu , menatap sahabat

menatapMu
Atau….

Akankah mata ini yang terbeliak, melotot, menganga

Memburai air mata

 Menatap jahanam menganga….
Tuhan.!!!!!!

Akankah mata penuh maksiat ini akan mampu menyelamatkan?

 Apa... apa gerangan yang aku tatap selama ini?

 

Tatkala kutatap mulut

Akankah mulut ini akan memungkasi hidup dengan kalimat suci

 kala sakaratul maut berarak menggerayangi….
Ataukah mulut ini yang akan mengecap bara jahanam..

merasakan getir menghanguskan, menghancurkan….
Betapa banyak....... yaaaa betapa banyak

 hati yang remuk oleh pisau kataku yang mengiris ngilu….

 

Tatkala kupandang tubuhku….
Akankah tubuh ini yang akan berpeluk haru

Dalam reuni abadi….
Penuh hangat cahaya surga…
Ataukah akan terpasung menggelepar

Tanpa ampun menahan dera di neraka yang bergolak?

 

Tatkala kupandang lebih dalam ke hatiku
Betapa hati tak segagah otot yang tampak di cermin,

Tak secantik wajah yg terlihat ayu..
Betapa beda… betapa beda… betapa beda Tuhan!!
Apa yang dicermin dan apa yang tersembunyi

Betapa yang di dalam hanyalah kebusukan…
Aku tertipu oleh topeng… topeng

betapa pujian dan semua yang terlihat hanyalah topeng..

topeng belaka
Betapa yang indah adalah topeng …


aku… hanyalah sekelumit karunia yang aku make up kemunafikan….

Tuhan, dengan wajah apa aku kan menghadapMu?

Dengan raut muka mana aku akan menatapMu?

 

 

****

Malam harinya, pas mau tampil, saya masih ragu apakah saya bisa ya. Sebenarnya Khaerudin sudah memperingatkan saya untuk persiapan fisik dan ruhiyah, tapi tak tahu juga, merasa kurang siap saja. Walaupun saya sering membuat pusi tapi jarang sekali say membaca puisi. Terakhir kali paling sekitar dua tahun lalu saya membaca puisi di depan umum. Kalau tidak salah waktu itu puisinya Chairil Anwar yang Karawang-Bekasi.

Dan, saat itupun tiba. Khaerudin pertama-pertama memberi pngantar untuk mengondisikan teman-teman untuk tenang. Setelah itu barulah giliran saya. Musik instrumen mengalun syahdu. Teman-teman hening. Api unggun menyala. Sayalah yang memegang alur semua ini. Dan...kata pertama saya muncul. C-E-R-M-I-N D-I-R-I. Saya tak tahu bagaiman perasaan teman-teman, sampai tidak pesannya ya. Tapi saya menikmati itu semua, akhirnya semau terasa mudah. Saya seolah bermuhassabah sendiri, memang sayalah yang dibicarakan dalam puisi itu. Benar, diri ini bertopeng. Topeng. Semua yang terlihat baik itu adalah topeng.Dan di bait-bait terakhir itulah akhirnya saya tak mampu membendung air mata saya sendiri.

Tuhan, dengan wajah apa aku kan menghadapMu?

Dengan raut muka mana aku akan menatapMu?

Akhir pembacaan puisi itu semuanya masih hening. Hati inipun juga. Hening. Nyaman. Jam menunjukkan pukul 10.30 malam. Dua belas jam sejak saya mengedit puisi itu.

 

1 comment:

khaerudin sip said...

BarakaLLah akhi...Semoga Hidayah dan inayah Allah senantiasa menaungimu,,,Jangan kendur semangatmu untuk mencerahkan generasi Rabbani...(ga terlalu hiperbola kan)