Thursday, May 22, 2008

Saat ilmu tak menjelma amal

“maaf ya air”

Clupp.

Ucapan itu baru saja saya temui di sela-sela menghadap dosen penguji untuk poster paper skripsi saya. Sepintas anggun sekali kdengarannya, tapi kemudian saya langsung melongo melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata kalimat itu diucapkan sambil menjatuhkan wadah air mineral ke selokan depan lab yang memang penuh air. ‘Maaf’ di situ sepertinya sama halnya saat kita minta maaf tepat saat akan melayangkan pukulan ke wajah seseorang. Aneh.

Dan tahukah anda siapa orang yang melakukan itu? Adik angkatan saya. Itu artinya dia adalah seorang mahasiswa, yang menduduki strata tinggi masyarakat kita, yang merupakan sedikit persen dari ratusan juta penduduk kita, orang-orang terpelajar yang sudah mampu memecahkan soal-soal rumit SPMB, sudah pernah lulus UAN, dan tentunya nilai mata pelajaran PPKN-nya sudah lebih dari sama dengan enam pas sekolah.

Saya mungkin agak maklum jika yang melakukan itu adalah orang-orang desa yang tidak berpendidikan (*walaupun  dalam beberapa kasus kita harus belajar banyak pada orang-orang desa ini*). Tapi sekarang? Saya tak habis pikir, ia sudah sekolah hampir 15 tahun. Enteng saja ia melakukan itu. Saya yakin ia telah pernah  mengerjakan soal pas SD dulu dengan pertanyaan : buanglah sampah pada........ Ia pasti tahu, pasti mengerti. Buktinya ia masih sempat mengatakan ’maaf’ pas melakukan itu. Ia sadar sesadar-sadarnya.

Kesimpulan apa yang bisa diambil dari sini? Ternyata, banyak sekali pengetahuan kita, bejibun pula ilmu yang sudah kita serap, teori-teori. Tapi sayang, tidak semuanya menjelma amal. Semuanya hanya memenuhi kepala-kepala kita dan jarang sekali mewujud laku. Tak perlu jauh-jauh saya mengambil contoh ini. Di lingkungan kampus saya saja (dan otomatis saya mungkin juga yang termasuk melakukannya) kesimpulan saya tadi amat sangat berlaku. Semuanya mengerti konsep termodinamika, semuanya mengerti konsep transfer panas, tapi masih saja sering terlihat ruang-ruang ber-AC yang pintunya dibiarkan terbuka. Dan bahkan mungkin saja  di dalam kelas itu sedang dibicarakan isu pemanasan global. Sambil terkantuk-kantuk. Lalu, saat kuliah berakhir, tak perlu repot-repot untuk mematikan AC dan lampu. Kan bukan gue yang mbayar. Lagi-lagi meninggalkan kelas dengan pintu terbuka.

Di kos-kosan pun sama. Mandi jebar-jebur seenaknya. Tak pernah mikir berapa jumlah air yang dihabiskan, yang penting puas. Padahal, jika mandi digunakan untuk memperoleh kesegaran, yang artinya biar terjadi transfer panas antara tubuh dengan air, maka seharusnya pelan saja. Diguyur perlahan, tak perlu menghabiskan banyak air. Bukannya transfer panas akan efektif jika aliran fluida pendinginnya lambat. Orang-orang kuliahan pasti tahu itu semua, apalagi jurusan saya.

Saya geleng-geleng sendiri kalau pas memikirkan ini. Tak banyak ternyata  ilmu kita yang berbuah amal.

 

 

 

6 comments:

Abu Busthom said...

...
Merenung
....

Dewi Martha Indria said...

Kita memang banyak tahu tp tdk benar2 PAHAM :(

iqbal latif said...

ya, lagi2 harus merenung

linda mayarni said...

jadi ngliat diri lagi, secara sadar atao gak mungkin pernah melakukan hal yang sama, tfs yah..

iqbal latif said...

yup.....akhirnya ya seperti yg saya ceritakan tadi

iqbal latif said...

saya yg nulis tulisan di atas, yg memaki2 adik angkatan sy itu, juga g terbebas dr itu. tp yg penting g secara sadar sesadar2nya melakukannya.